Mantan Menhan Afghanistan Minta Interpol Tahan Eks Presiden Ashraf Ghani

Rabu, 18 Agustus 2021 - 20:54 WIB
loading...
Mantan Menhan Afghanistan...
Mantan Menteri Pertahanan Afghanistan minta Interpol menahan eks presiden Ashraf Ghani. Foto/Sputnik/Reuters
A A A
KABUL - Mantan Menteri Pertahanan (Menhan) pemerintah Afghanistan yang terguling, Bismillah Khan Mohammadi, meminta Interpol untuk menahan mantan presiden Ashraf Ghani . Mohammadi bahkan menuduh mantan presiden itu "menjual" Tanah Air-nya.

“Mereka yang memperdagangkan dan menjual tanah air harus ditangkap dan dihukum,” cuit Mohammadi, menyertai postingannya dengan tagar #InterpolArrest_Ghani seperti dikutip dari Sputnik, Rabu (18/8/2021).

Ini untuk kedua kalinya Mohammadi secara terbuka menuduh mantan presiden Afghanistan melakukan korupsi. Pada hari Minggu, hari yang sama ketika dia dan pejabat pemerintah lainnya melarikan diri dari negara itu, Mohammadi menuduh bahwa pemerintah tidak mengizinkan militer untuk melakukan tugasnya.

“Mereka mengikat tangan kami di belakang punggung kami dan menjual tanah air; sialan orang kaya dan gengnya,” tulisnya.

Mohammadi tidak menjelaskan lebih lanjut terkait cuitannya tersebut.



Tuduhan itu muncul setelah keruntuhan dramatis pemerintah Afghanistan setelah pengambilalihan Kabul pada hari Minggu, mengakhiri 19 tahun lebih pemerintahan pro- Amerika Serikat (AS) di negara Asia Barat yang dilanda perang itu.

Pada hari Senin, juru bicara dari Kedutaan Besar Rusia di Afghanistan, Nikita Ishenko, mengungkapkan kepada Sputnik bahwa Presiden Ghani melarikan diri dari Kabul dengan mobil dan helikopter penuh uang.



Lokasi Ghani saat ini tidak diketahui. Namun, sebuah sumber yang berbicara kepada outlet berita Afghanistan Kabul News mengklaim dia sekarang menetap di Abu Dhabi, ibu kota Uni Emirat Arab (UEA). Sebelum itu, ia berspekulasi telah melarikan diri ke Tajikistan atau Uzbekistan.

Sumber Bandara Kabul sebelumnya mengatakan kepada media India bahwa Mohammadi sendiri juga telah melarikan diri ke UEA, meskipun laporan ini juga belum diverifikasi.

Mohammadi menjabat sebagai tokoh kunci dalam pemerintahan Afghanistan pro-AS berturut-turut sejak awal 2000-an. Dia diangkat sebagai kepala staf Tentara Nasional Afghanistan pada tahun 2002, dan pada tahun 2010 dipindahkan untuk bertugas sebagai Menteri Dalam Negeri. Dia menjadi Menteri Pertahanan pada Juni 2021, hanya beberapa bulan sebelum runtuhnya pemerintahan Ghani.

Pada awal Agustus, rumah Mohammadi di Kabul diserang oleh gerilyawan Taliban , yang meledakkan sebuah kendaraan di dekat kompleks dan memasuki fasilitas untuk mencarinya, yang menyebabkan baku tembak empat jam dengan pasukan keamanan.

Pemerintah Afghanistan yang didukung AS dan NATO hancur kurang dari dua minggu setelah Taliban mulai menekan pusat-pusat kota besar, dengan militer Afghanistan dan pasukan keamanan secara misterius mencair, menyerahkan sebagian besar kota tanpa perlawanan, sebelum serangan hari Minggu di Kabul.

Hanya beberapa minggu sebelum penyerahan, para pejabat AS meyakinkan bahwa 300.000 pasukan pasukan keamanan Afghanistan yang kuat akan mampu bertahan melawan 75.000 anggota milisi Taliban, dan menunjukkan keunggulan pasukan keamanan, seperti angkatan udara, pelatihan NATO, serta persenjataan yang unggul.

Namun, menurut penyelidikan yang terjadi sejak kegagalan hari Minggu, dinas keamanan Afghanistan secara harfiah adalah 'macan kertas', diganggu oleh korupsi, kepemimpinan yang buruk dan moral yang anjlok, dengan puluhan ribu tentara hanya ada dalam skema akuntansi pemerintah untuk memungkinkan birokrat yang kotor mengumpulkan gaji pasukan palsu.

Awal musim panas ini, berminggu-minggu setelah penarikan NATO dari negara yang dilanda perang, seorang komandan Taliban mengatakan kepada media AS bahwa dia dan rekan-rekan pejuangnya “terkejut” dengan kecepatan kemajuan mereka melawan pasukan pemerintah Afghanistan.



Perang di Afghanistan diperkirakan telah menelan biaya sekitar USD2,26 triliun bagi AS, dan merenggut nyawa lebih dari 100.000 warga sipil Afghanistan, puluhan ribu personel pasukan keamanan Afghanistan dan pejuang Taliban, sekitar 3.500 tentara AS dan NATO, serta lebih dari 4.000 tentara bayaran Barat.

AS dan sekutunya menginvasi negara itu pada tahun 2001 setelah Taliban menolak untuk menyerahkan tersangka dalang serangan 11 September, Osama bin Laden, ke AS tanpa memberikan bukti kesalahannya. Bin Laden diduga telah melarikan diri ke Pakistan tak lama setelah invasi AS, dan menetap di lingkungan kaya yang menampung banyak pensiunan militer dan perwira intelijen Pakistan sebelum tewas terbunuh dalam operasi Tim Seal AS pada Mei 2011.
(ian)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1511 seconds (0.1#10.140)