Belajar dari Tragedi Nanggala-402, RI Didesak Nonaktifkan KRI Cakra
loading...
A
A
A
JAKARTA - Para pakar militer mendesak pemerintah Indonesia menonaktifkan kapal selam KRI Cakra karena usianya sudah tua. Desakan ini disampaikan agar tragedi tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 bersama 53 awaknya tidak terulang kembali.
Zachary Abuza, seorang profesor studi Asia Tenggara di National War College yang berbasis di Washington, mengatakan KRI Cakra harus dinonaktifkan. Menurutnya, akan menjadi kelalaian untuk tidak melakukannya.
“Pemahaman saya, KRI Cakra saat ini sedang diperbaiki dan di-upgrade di galangan kapal di Surabaya,” kata Abuza.
"Cakra adalah kapal yang sangat tua dan tidak pernah sepenuhnya dipasang kembali saat Korea Selatan menjualnya ke Indonesia," ujarnya, seperti dikutip South China Morning Post, Sabtu (1/5/2021).
“Angkatan Laut dan Coast Guard Indonesia sangat kekurangan sumber daya dan tidak cukup dana untuk perawatan dan pemeliharaan,” kata Abuza.
"Setelah kematian tragis 53 pelaut di atas kapal saudaranya, akan menjadi kelalaian untuk tidak menonaktifkan KRI Cakra," ujarnya merujuk pada gugurnya 53 awak kapal selam KRI Nanggala-402 di perairan Bali pada 21 April lalu.
Abuza mengatakan perang kapal selam sangat berbahaya pada awalnya. "Bahaya itu bertambah ketika Anda memperhitungkan usia kapal, anggaran yang tidak mencukupi untuk pemeliharaan dan perawatan, dan kurangnya perombakan menyeluruh untuk kapal ketika Indonesia mengambil alih itu," imbuh dia.
KRI Nanggala-402 yang tenggelam dibuat pada tahun 1977 oleh bekas Jerman Barat pada masa Perang Dingin. Kapal tersebut mulai beroperasi pada tahun 1981. Seperti KRI Cakra, KRI Nanggala-402 adalah kapal kelas Cakra.
Sebelum tragedi KRI Nanggala-402, Indonesia memiliki lima armada kapal selam, termasuk tiga kapal baru dari Korea Selatan. Terbaru, KRI Alugoro, dirakit secara lokal dengan bantuan Korea Selatan.
Tragedi kapal selam itu telah membuat banyak prajurit TNI AL khawatir akan keselamatan mereka.
"Ya, [prajurit] khawatir dan marah, sesuatu harus berubah, terutama [mengenai] pemeliharaan,” kata sumber keamanan Indonesia kepada This Week in Asia.
"Masalah utamanya adalah bahwa komandan sering kali dipaksa untuk ditempatkan meskipun peralatan dan persneling di atas kapal tidak berfungsi 100 persen; bahkan pada 50 persen, masalah diketahui telah terjadi," lanjut sumber tersebut.
Tempo operasi, kekurangan dana dan membuat mentalitas memprihatinkan."
“Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut perlu memproyeksikan citra bahwa mereka siap berperang. Ini semakin membebani aset yang perlu menjalani pemeliharaan atau perombakan," imbuh sumber tersebut.
“Prioritas [angkatan bersenjata] adalah pada pengadaan daripada pemeliharaan. [Tenggelamnya Nanggala] ini menunjukkan dampak dari kebijakan itu," sambung dia.
Sumber tersebut mengatakan bahwa “membeli mainan baru” itu penting, tetapi yang sama pentingnya adalah merawatnya.
Collin Koh, seorang peneliti di Institute of Defense and Strategic Studies di Singapura, setuju dengan argumen bahwa kapal selam Cakra sudah tua untuk beroperasi.
Dia mencatat bahwa penilaian awal pihak berwenang Indonesia adalah bahwa "arus bawah air laut yang kuat" sebagai penyebab tenggelamnya KRI Nanggala-402.
“Tetapi penyelidikan menggunakan bukti lain akan diperlukan untuk memastikan bahwa penyebab teknis tidak dikesampingkan terlebih dahulu,” kata Koh.
"Tanpa sepenuhnya memastikan penyebab hilangnya kapal selam, akan menjadi tidak bertanggung jawab, atau sembrono untuk sedikitnya, mengirim Cakra dan krunya ke jalan yang berbahaya," papar Koh.
Zachary Abuza, seorang profesor studi Asia Tenggara di National War College yang berbasis di Washington, mengatakan KRI Cakra harus dinonaktifkan. Menurutnya, akan menjadi kelalaian untuk tidak melakukannya.
“Pemahaman saya, KRI Cakra saat ini sedang diperbaiki dan di-upgrade di galangan kapal di Surabaya,” kata Abuza.
"Cakra adalah kapal yang sangat tua dan tidak pernah sepenuhnya dipasang kembali saat Korea Selatan menjualnya ke Indonesia," ujarnya, seperti dikutip South China Morning Post, Sabtu (1/5/2021).
“Angkatan Laut dan Coast Guard Indonesia sangat kekurangan sumber daya dan tidak cukup dana untuk perawatan dan pemeliharaan,” kata Abuza.
"Setelah kematian tragis 53 pelaut di atas kapal saudaranya, akan menjadi kelalaian untuk tidak menonaktifkan KRI Cakra," ujarnya merujuk pada gugurnya 53 awak kapal selam KRI Nanggala-402 di perairan Bali pada 21 April lalu.
Abuza mengatakan perang kapal selam sangat berbahaya pada awalnya. "Bahaya itu bertambah ketika Anda memperhitungkan usia kapal, anggaran yang tidak mencukupi untuk pemeliharaan dan perawatan, dan kurangnya perombakan menyeluruh untuk kapal ketika Indonesia mengambil alih itu," imbuh dia.
KRI Nanggala-402 yang tenggelam dibuat pada tahun 1977 oleh bekas Jerman Barat pada masa Perang Dingin. Kapal tersebut mulai beroperasi pada tahun 1981. Seperti KRI Cakra, KRI Nanggala-402 adalah kapal kelas Cakra.
Sebelum tragedi KRI Nanggala-402, Indonesia memiliki lima armada kapal selam, termasuk tiga kapal baru dari Korea Selatan. Terbaru, KRI Alugoro, dirakit secara lokal dengan bantuan Korea Selatan.
Tragedi kapal selam itu telah membuat banyak prajurit TNI AL khawatir akan keselamatan mereka.
"Ya, [prajurit] khawatir dan marah, sesuatu harus berubah, terutama [mengenai] pemeliharaan,” kata sumber keamanan Indonesia kepada This Week in Asia.
"Masalah utamanya adalah bahwa komandan sering kali dipaksa untuk ditempatkan meskipun peralatan dan persneling di atas kapal tidak berfungsi 100 persen; bahkan pada 50 persen, masalah diketahui telah terjadi," lanjut sumber tersebut.
Tempo operasi, kekurangan dana dan membuat mentalitas memprihatinkan."
“Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut perlu memproyeksikan citra bahwa mereka siap berperang. Ini semakin membebani aset yang perlu menjalani pemeliharaan atau perombakan," imbuh sumber tersebut.
“Prioritas [angkatan bersenjata] adalah pada pengadaan daripada pemeliharaan. [Tenggelamnya Nanggala] ini menunjukkan dampak dari kebijakan itu," sambung dia.
Sumber tersebut mengatakan bahwa “membeli mainan baru” itu penting, tetapi yang sama pentingnya adalah merawatnya.
Collin Koh, seorang peneliti di Institute of Defense and Strategic Studies di Singapura, setuju dengan argumen bahwa kapal selam Cakra sudah tua untuk beroperasi.
Dia mencatat bahwa penilaian awal pihak berwenang Indonesia adalah bahwa "arus bawah air laut yang kuat" sebagai penyebab tenggelamnya KRI Nanggala-402.
“Tetapi penyelidikan menggunakan bukti lain akan diperlukan untuk memastikan bahwa penyebab teknis tidak dikesampingkan terlebih dahulu,” kata Koh.
"Tanpa sepenuhnya memastikan penyebab hilangnya kapal selam, akan menjadi tidak bertanggung jawab, atau sembrono untuk sedikitnya, mengirim Cakra dan krunya ke jalan yang berbahaya," papar Koh.
(min)