Rudal-rudal Rusia Gempur Wilayah Suriah yang Dikendalikan Turki
loading...
A
A
A
Emre Ersen, pakar hubungan Turki-Rusia di Universitas Marmara di Istanbul, mengatakan insiden terbaru sekali lagi menunjukkan rapuhnya keseimbangan geopolitik di Suriah, karena terjadi hanya beberapa hari setelah pertemuan antara para menteri luar negeri dari Turki, Rusia, dan Qatar tentang solusi krisis Suriah.
Pada 11 Maret, ketiga negara meluncurkan proses konsultasi trilateral baru untuk berkontribusi bagi solusi politik yang langgeng di Suriah.
“Ini juga mengingatkan semua orang bahwa meskipun telah berkembang hubungan khusus antara Ankara dan Moskow dalam beberapa tahun terakhir, perbedaan mereka mengenai solusi konflik regional dapat dengan mudah memicu krisis baru dalam hubungan bilateral,” kata Ersen.
Menurut Ersen, ketegangan semacam itu juga dapat memengaruhi hasil negosiasi jet tempur Su-35 Rusia, meskipun Turki sejauh ini berusaha memilah-milah masalah ini dalam hubungannya dengan Rusia.
“Kedua negara masih saling membutuhkan untuk mewujudkan tujuan mereka di Suriah. Itulah mengapa apa yang disebut 'perkawinan kenyamanan' Turki-Rusia di Suriah akan dipertahankan setidaknya dalam jangka pendek," paparnya.
Navvar Saban, dari Omran Center for Strategic Studies yang berbasis di Istanbul, mengatakan Rusia dan Turki masih memiliki front bersama di Idlib, Perisai Efrat, dan Suriah timur, dan masing-masing front memiliki karakteristik dan tujuannya sendiri.
Dia berpikir bahwa serangan terbaru Rusia bertujuan untuk menguji seberapa besar keinginan Turki untuk maju dengan menargetkan kilang-kilang tersebut.
"Ini adalah pesan langsung untuk menunjukkan apa yang dapat mereka targetkan dan untuk memahami tanggapan Turki," katanya.
“Ini adalah kesepakatan yang rapuh di berbagai bidang. Rusia memiliki keunggulan untuk saat ini dan Turki perlu mengirimkan pesan yang jelas dan langsung untuk menjaga keseimbangan kekuatan," ujarnya.
“Rusia ingin Turki memastikan keamanan jalan raya M4 dan untuk melenyapkan kelompok ekstremis di daerah itu. Di sisi timur, Rusia menginginkan perjanjian gencatan senjata untuk mencegah Turki maju lagi di daerah itu," kata Saban.
Pada 11 Maret, ketiga negara meluncurkan proses konsultasi trilateral baru untuk berkontribusi bagi solusi politik yang langgeng di Suriah.
“Ini juga mengingatkan semua orang bahwa meskipun telah berkembang hubungan khusus antara Ankara dan Moskow dalam beberapa tahun terakhir, perbedaan mereka mengenai solusi konflik regional dapat dengan mudah memicu krisis baru dalam hubungan bilateral,” kata Ersen.
Menurut Ersen, ketegangan semacam itu juga dapat memengaruhi hasil negosiasi jet tempur Su-35 Rusia, meskipun Turki sejauh ini berusaha memilah-milah masalah ini dalam hubungannya dengan Rusia.
“Kedua negara masih saling membutuhkan untuk mewujudkan tujuan mereka di Suriah. Itulah mengapa apa yang disebut 'perkawinan kenyamanan' Turki-Rusia di Suriah akan dipertahankan setidaknya dalam jangka pendek," paparnya.
Navvar Saban, dari Omran Center for Strategic Studies yang berbasis di Istanbul, mengatakan Rusia dan Turki masih memiliki front bersama di Idlib, Perisai Efrat, dan Suriah timur, dan masing-masing front memiliki karakteristik dan tujuannya sendiri.
Dia berpikir bahwa serangan terbaru Rusia bertujuan untuk menguji seberapa besar keinginan Turki untuk maju dengan menargetkan kilang-kilang tersebut.
"Ini adalah pesan langsung untuk menunjukkan apa yang dapat mereka targetkan dan untuk memahami tanggapan Turki," katanya.
“Ini adalah kesepakatan yang rapuh di berbagai bidang. Rusia memiliki keunggulan untuk saat ini dan Turki perlu mengirimkan pesan yang jelas dan langsung untuk menjaga keseimbangan kekuatan," ujarnya.
“Rusia ingin Turki memastikan keamanan jalan raya M4 dan untuk melenyapkan kelompok ekstremis di daerah itu. Di sisi timur, Rusia menginginkan perjanjian gencatan senjata untuk mencegah Turki maju lagi di daerah itu," kata Saban.