Pejabat Trump: Indonesia dan Israel Hampir Normalisasi, tapi Waktu Habis

Rabu, 20 Januari 2021 - 05:55 WIB
loading...
Pejabat Trump: Indonesia dan Israel Hampir Normalisasi, tapi Waktu Habis
Presiden Amerika Serikat Donald John Trump (kiri) dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Foto/REUTERS
A A A
TEL AVIV - Indonesia dan Mauritania hampir menjadi negara berikutnya yang menormalkan hubungan dengan Israel yang dimediatori pemerintah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump . Namun, pemerintah Trump kehabisan waktu karena masa jabatan presiden dari Partai Republik tersebut berakhir.

Dua pejabat pemerintah AS mengungkap upaya diplomasi tersebut kepada Times of Israelyang dilansirSelasa (19/1/2021).



Kesepakatan dengan Mauritania adalah yang paling dekat untuk dicapai, di mana para pejabat AS percaya bahwa mereka tinggal berminggu-minggu lagi untuk menyelesaikan kesepakatan. Negara Afrika barat laut itu diidentifikasi oleh tim perdamaian Trump yang dipimpin oleh penasihat senior Gedung Putih Jared Kushner dan utusan khusus Avi Berkowitz sebagai kandidat yang mungkin mengikuti Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko dalam menormalisasi hubungan dengan negara Yahudi, mengingat negara itu pernah memiliki hubungan dengan Israel.

Mauritania menjadi anggota ketiga Liga Arab yang pernah menjalin hubungan diplomatik penuh dengan Israel pada 1999, tetapi memutuskan hubungan 10 tahun kemudian dengan latar belakang perang Gaza 2008-2009.

Setelah UEA setuju untuk menormalisasi hubungan dengan Israel pada bulan Agustus, Kementerian Luar Negeri Mauritania mengeluarkan pernyataan yang menawarkan dukungan hangat untuk kesepakatan itu, dengan mengatakan pihaknya mempercayai "kebijaksanaan dan penilaian yang baik" Abu Dhabi dalam menandatangani perjanjian tersebut.



Mauritania juga memiliki hubungan dekat dengan Maroko, yang juga pernah menjalin hubungan dengan Israel pada 1990-an sebelum memutuskan hubungan mereka beberapa tahun kemudian. Tim perdamaian Trump mendorong Rabat untuk mendorong tetangganya dan sekutunya untuk menjalin hubungan dengan negara Yahudi itu.

Para pejabat AS mengatakan kandidat paling mungkin berikutnya untuk bergabung dengan apa yang disebut Abraham Accords adalah Indonesia. Mereka mengklaim bahwa kesepakatan bisa dibuat jika Trump memiliki satu atau dua bulan lagi di kantor.

Dengan populasi lebih dari 270 juta, Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Seorang pejabat AS mengatakan, hal itu memberinya "kepentingan simbolis ekstra" bagi pemerintahan Trump, yang menyatakan bahwa konflik Israel-Palestina tidak perlu menjadi penghalang bagi perdamaian antara negara Yahudi dengan dunia Muslim dan Arab.

Ketika pembicaraan Kushner dan Berkowitz dengan Indonesia semakin intensif bulan lalu, seorang pejabat senior pemerintahan mengatakan kepada Bloomberg bahwa Indonesia dapat menerima bantuan pembangunan sebanyak USD2 miliar dari AS.

“Kami sedang membicarakannya dengan mereka,” kata Adam Boehler, CEO US International Development Finance Corp yang telah bekerja sama dengan Kushner.

"Jika mereka siap, mereka siap, dan jika mereka siap maka kami akan dengan senang hati bahkan mendukung secara finansial lebih dari apa yang kami lakukan.”



Pada saat itu, Presiden Indonesia Joko Widodo mencoba meredam spekulasi dengan mengatakan kepada Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas bahwa negaranya tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel sampai negara Palestina didirikan.

"Mauritania dan Indonesia berada di urutan teratas, tetapi itu berubah berdasarkan berbagai keadaan," kata seorang pejabat senior AS pekan ini yang berbicara dalam kondisi anonim. "Anda dapat memasukkan setiap negara ke dalam daftar, ke titik di mana Iran pada akhirnya akan bergabung dengan Perjanjian Abraham."

Pejabat AS lainnya mengatakan tim Trump juga dalam pembicaraan level menengah dengan Oman dan pembicaraan yang sedikit kurang maju dengan Arab Saudi mengenai topik normalisasi hubungan dengan Israel. Dia mengklarifikasi bahwa perjanjian dengan negara-negara tersebut akan memakan waktu lebih lama.

“Saya berharap pemerintahan Biden memanfaatkan ini karena ini baik untuk semua orang. Perdamaian bukanlah cita-cita Republik atau cita-cita Demokrat," kata pejabat senior tersebut.

Presiden terpilih AS Joe Biden menyatakan dukungan untuk Abraham Accords (Perjanjian Abraham) selama kampanye dan calon menteri luar negeri Tony Blinken mengatakan kepada Times of Israel pada bulan November; “Sebagai prinsip dasar, mendorong negara-negara Arab untuk mengakui dan normalisasi dengan Israel adalah sesuatu yang kami dukung selama Administrasi Obama-Biden dan akan mendukung dalam pemerintahan Biden-(Harris)."

Namun, para pejabat dalam kampanyenya telah mengakui bahwa inisiatif semacam itu tidak akan diprioritaskan oleh pemerintahan Biden, terutama pada bulan-bulan awal ketika sebagian besar fokusnya adalah menangani kesehatan dan konsekuensi ekonomi dari pandemi virus corona. Bahkan di Timur Tengah, masalah yang lebih sentral bagi Biden adalah upayanya untuk memasukkan kembali kesepakatan nuklir Iran, yang menurutnya akan dia lakukan jika Iran kembali ke kepatuhan ketat dengan perjanjian multilateral.

Pejabat senior AS yang akan lengser menambahkan; "Jika AS ingin terus memotivasi Abraham Accords, tiga hingga empat negara lagi akan menjadi penghalang rendah untuk keberhasilannya. Karena tidak dapat memberikannya akan menjadi kekecewaan yang signifikan."

“Tidak ada keraguan bahwa ketika AS ingin menuju perdamaian dan normalisasi, lebih banyak negara akan mengikuti,” imbuh dia.
(min)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1162 seconds (0.1#10.140)