PBB Kecam Keras Penangkapan dan Pemulangan Paksa 6 Guru Turki di Kosovo
loading...
A
A
A
STOCKHOLM - The United Nations Working Group on Arbitrary Detention (WGAD) atau Kelompok Kerja PBB untuk Penahanan Sewenang-wenang (WGAD) mengecam keras penangkapan, penahanan, dan pemulangan paksa enam guru Turki oleh Kosovo dan agen negara Turki di Kosovo pada 29 Maret 2018.
Lembaga internasional itu menilai tindakan tersebut adalah kesewenang-wenangan dan melanggar norma hak asasi manusia internasional.
(Baca juga : MuslimPro Digugat Pengguna atas Tuduhan Jual Data ke Militer AS )
Kahraman Demirez, Mustafa Erdem, Hasan Huseyin GĂĽnakan, Yusuf Karabina, Osman Karakaya dan Cihan Ozkan ditangkap di Kosovo atas permintaan Turki pada Maret 2018 karena diduga terkait dengan ulama Fethullah Gulen. Mereka kemudian diangkut secara paksa dan dipulangkan paksa ke Turki di mana mereka menghadapi peradilan yang dikendalikan pemerintah. (Baca: Tank-tank Ethiopia Kepung Tigray, Ancam Warga Sipil 'Tak Ada Ampun' )
WGAD menyatakan bahwa perampasan kemerdekaan oleh otoritas Kosovo dan Turki atas enam warga negara Turki bertentangan dengan hak atas kesetaraan dan non-diskriminasi, hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan, hak atas pemulihan yang efektif, hak untuk bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, hak atas pengadilan yang adil dan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.
(Baca juga : Trump Menolak Menyerah Meski Proses Transisi Sudah Dimulai )
Kelompok kerja PBB itu meminta Ankara untuk segera membebaskan enam orang tersebut dan pemerintah Turki dan Kosovar untuk memberikan para korban kompensasi dan pemulihan hak lainnya sesuai dengan hukum internasional.
“Dalam konteks pandemi penyakit virus corona global (COVID-19) saat ini dan ancaman yang ditimbulkannya di tempat-tempat penahanan, Kelompok Kerja menyerukan kepada Pemerintah Turki untuk mengambil tindakan segera guna memastikan pembebasan segera enam orang tersebut," bunyi pernyataan pers WGAD yang dilansir dari laman Stockholm.org, Minggu (22/11/2020). (Baca juga: Biden Akan Umumkan Kabinet Pertamanya pada Selasa )
Ankara mengatakan enam orang itu telah membantu tersangka pengikut gerakan Gulen yang melarikan diri dari penganiayaan di Turki.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah menargetkan pengikut gerakan tersebut sejak investigasi korupsi pada 17-25 Desember 2013, yang melibatkan Perdana Menteri Erdogan, anggota keluarga dan lingkaran dalamnya.
(Baca juga : Porsche Taycan Sukses Cetak Rekor Drifting Marathon 55 Menit )
Erdogan mengabaikan investigasi itu serta menyebutnya sebagai kudeta Gulen dan konspirasi melawan pemerintahannya. Erdogan kemudian menuduh gerakan itu melawan pemerintahannya dan mulai menargetkan anggotanya.
Erdogan mengintensifkan tindakan keras serta menimpakan tuduhan kudeta pada 15 Juli 2016 pada kelompok tersebut. Namun, Gulen dan gerakan tersebut dengan tegas menyangkal keterlibatan dalam kudeta yang gagal atau aktivitas lainnya. Serta menilai kudeta itu merupakan rekayasa Erdogan dan kelompoknya untuk menutupi korupsi serta memberangus demokrasi.
Sebagai bagian dari tindakan keras, Erdogan memecat sekitar 130.000 pegawai negeri termasuk petugas polisi, guru, dokter dan akademisi serta 20.571 anggota angkatan bersenjata melalui undang-undang darurat, mengunci puluhan ribu dan menyita aset mereka. Selain itu, jurnalis, LSM dan aktivis demokrasi juga ditahan dengan tuduhan yang mengada-ada.
Menurut laporan PBB, seluruh operasi direncanakan dan dilaksanakan oleh Badan Intelijen Kosovo, yang mengambil alih otoritas polisi dan mengambil kendali kantor polisi, bertentangan dengan standar prosedur hukum domestik dan internasional.
"Agen-agen juga mengeluarkan perintah kepada petugas pengawas perbatasan di bandara dan Agen, bukan Kementerian Dalam Negeri, yang memperoleh tiket pesawat dan menangani semua logistik transfer," bunyi laporan PBB.
Masih menurut laporan PBB, Demirez, Erdem, GĂĽnakan, Karabina, Karakaya dan Ozkan telah diserahkan kepada agen Turki di Bandara Internasional Pristina.
Beberapa hari setelah enam orang itu dideportasi, Perdana Menteri Kosovo; Ramush Haradinaj, memecat menteri dalam negeri dan kepala dinas rahasia negara itu karena dia tidak diberitahu keenam orang itu akan dideportasi ke Turki.
Sebuah laporan komisi parlemen menyimpulkan bahwa deportasi itu ilegal dan konstitusi telah dilanggar 31 kali selama penangkapan.
Oposisi Kosovo menuduh Presiden Hashim Thaci memerintahkan deportasi karena kedekatannya dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Thaci membantah melakukan kesalahan.
Satu dari enam orang yang dideportasi itu kini telah dijatuhi hukuman delapan tahun penjara.
Dalam pendapatnya WGAD menyatakan bahwa selama tiga tahun terakhir telah mencatat peningkatan yang signifikan dalam jumlah kasus yang dibawa ke hadapannya terkait penahanan sewenang-wenang di Turki. Mengekspresikan "keprihatinan besar" tentang pola ini, kelompok kerja itu menggarisbawahi bahwa "dalam keadaan tertentu, pemenjaraan yang meluas atau sistematis atau perampasan kemerdekaan yang parah yang melanggar aturan hukum internasional dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan."
WGAD mengatakan mereka mengamati pola penargetan mereka yang diduga memiliki hubungan dengan gerakan Gulen atas dasar diskriminasi politik atau pendapat lain. Kelompok kerja tersebut menemukan bahwa pemerintah Turki menahan enam orang berdasarkan alasan yang dilarang untuk diskriminasi dan merujuk kasus tersebut ke pelapor khusus tentang promosi dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental sambil melawan terorisme.
Lembaga internasional itu menilai tindakan tersebut adalah kesewenang-wenangan dan melanggar norma hak asasi manusia internasional.
(Baca juga : MuslimPro Digugat Pengguna atas Tuduhan Jual Data ke Militer AS )
Kahraman Demirez, Mustafa Erdem, Hasan Huseyin GĂĽnakan, Yusuf Karabina, Osman Karakaya dan Cihan Ozkan ditangkap di Kosovo atas permintaan Turki pada Maret 2018 karena diduga terkait dengan ulama Fethullah Gulen. Mereka kemudian diangkut secara paksa dan dipulangkan paksa ke Turki di mana mereka menghadapi peradilan yang dikendalikan pemerintah. (Baca: Tank-tank Ethiopia Kepung Tigray, Ancam Warga Sipil 'Tak Ada Ampun' )
WGAD menyatakan bahwa perampasan kemerdekaan oleh otoritas Kosovo dan Turki atas enam warga negara Turki bertentangan dengan hak atas kesetaraan dan non-diskriminasi, hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan, hak atas pemulihan yang efektif, hak untuk bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, hak atas pengadilan yang adil dan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.
(Baca juga : Trump Menolak Menyerah Meski Proses Transisi Sudah Dimulai )
Kelompok kerja PBB itu meminta Ankara untuk segera membebaskan enam orang tersebut dan pemerintah Turki dan Kosovar untuk memberikan para korban kompensasi dan pemulihan hak lainnya sesuai dengan hukum internasional.
“Dalam konteks pandemi penyakit virus corona global (COVID-19) saat ini dan ancaman yang ditimbulkannya di tempat-tempat penahanan, Kelompok Kerja menyerukan kepada Pemerintah Turki untuk mengambil tindakan segera guna memastikan pembebasan segera enam orang tersebut," bunyi pernyataan pers WGAD yang dilansir dari laman Stockholm.org, Minggu (22/11/2020). (Baca juga: Biden Akan Umumkan Kabinet Pertamanya pada Selasa )
Ankara mengatakan enam orang itu telah membantu tersangka pengikut gerakan Gulen yang melarikan diri dari penganiayaan di Turki.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah menargetkan pengikut gerakan tersebut sejak investigasi korupsi pada 17-25 Desember 2013, yang melibatkan Perdana Menteri Erdogan, anggota keluarga dan lingkaran dalamnya.
(Baca juga : Porsche Taycan Sukses Cetak Rekor Drifting Marathon 55 Menit )
Erdogan mengabaikan investigasi itu serta menyebutnya sebagai kudeta Gulen dan konspirasi melawan pemerintahannya. Erdogan kemudian menuduh gerakan itu melawan pemerintahannya dan mulai menargetkan anggotanya.
Erdogan mengintensifkan tindakan keras serta menimpakan tuduhan kudeta pada 15 Juli 2016 pada kelompok tersebut. Namun, Gulen dan gerakan tersebut dengan tegas menyangkal keterlibatan dalam kudeta yang gagal atau aktivitas lainnya. Serta menilai kudeta itu merupakan rekayasa Erdogan dan kelompoknya untuk menutupi korupsi serta memberangus demokrasi.
Sebagai bagian dari tindakan keras, Erdogan memecat sekitar 130.000 pegawai negeri termasuk petugas polisi, guru, dokter dan akademisi serta 20.571 anggota angkatan bersenjata melalui undang-undang darurat, mengunci puluhan ribu dan menyita aset mereka. Selain itu, jurnalis, LSM dan aktivis demokrasi juga ditahan dengan tuduhan yang mengada-ada.
Menurut laporan PBB, seluruh operasi direncanakan dan dilaksanakan oleh Badan Intelijen Kosovo, yang mengambil alih otoritas polisi dan mengambil kendali kantor polisi, bertentangan dengan standar prosedur hukum domestik dan internasional.
"Agen-agen juga mengeluarkan perintah kepada petugas pengawas perbatasan di bandara dan Agen, bukan Kementerian Dalam Negeri, yang memperoleh tiket pesawat dan menangani semua logistik transfer," bunyi laporan PBB.
Masih menurut laporan PBB, Demirez, Erdem, GĂĽnakan, Karabina, Karakaya dan Ozkan telah diserahkan kepada agen Turki di Bandara Internasional Pristina.
Beberapa hari setelah enam orang itu dideportasi, Perdana Menteri Kosovo; Ramush Haradinaj, memecat menteri dalam negeri dan kepala dinas rahasia negara itu karena dia tidak diberitahu keenam orang itu akan dideportasi ke Turki.
Sebuah laporan komisi parlemen menyimpulkan bahwa deportasi itu ilegal dan konstitusi telah dilanggar 31 kali selama penangkapan.
Oposisi Kosovo menuduh Presiden Hashim Thaci memerintahkan deportasi karena kedekatannya dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Thaci membantah melakukan kesalahan.
Satu dari enam orang yang dideportasi itu kini telah dijatuhi hukuman delapan tahun penjara.
Dalam pendapatnya WGAD menyatakan bahwa selama tiga tahun terakhir telah mencatat peningkatan yang signifikan dalam jumlah kasus yang dibawa ke hadapannya terkait penahanan sewenang-wenang di Turki. Mengekspresikan "keprihatinan besar" tentang pola ini, kelompok kerja itu menggarisbawahi bahwa "dalam keadaan tertentu, pemenjaraan yang meluas atau sistematis atau perampasan kemerdekaan yang parah yang melanggar aturan hukum internasional dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan."
WGAD mengatakan mereka mengamati pola penargetan mereka yang diduga memiliki hubungan dengan gerakan Gulen atas dasar diskriminasi politik atau pendapat lain. Kelompok kerja tersebut menemukan bahwa pemerintah Turki menahan enam orang berdasarkan alasan yang dilarang untuk diskriminasi dan merujuk kasus tersebut ke pelapor khusus tentang promosi dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental sambil melawan terorisme.
(min)