Pengobatan Covid-19, WHO Dorong Penggunaan Obat Herbal
loading...
A
A
A
PARIS - Di tengah upaya global menemukan obat mujarab untuk penanganan Covid-19, Badan Kesehatan Dunia (WHO) membuka ruang pemanfaatan obat herbal tradisional sebagai alternatif penyembuhan. Kebijakan ini direspons positif karena beberapa obat herbal terbukti ampuh.
Di antara negara yang telah memanfaatkan obat herbal tersebut antara lain China, India, Filipina, dan sejumlah negara di Afrika. Indonesia juga memiliki sejumlah obat tradisional (empon-empon) yang telah banyak dimanfaatkan masyarakat untuk menjaga imunitas tubuh.
Di China obat herbal yang banyak digunakan adalah artemisia annua atau artemisinin. WHO pun mendorong agar penelitian terhadap obat ini dimaksimalkan supaya benar-benar teruji klinis. “Terapi dari pengobatan tradisional dan alamiah harus menjalani uji klinis untuk mengetahui aspek efektivitas dan keselamatan,” demikian pernyataan Kantor WHO wilayah Afrika, dilansir Reuters.
WHO menyatakan telah bekerja sama dengan berbagai institusi penelitian untuk memiliki produk tradisional yang bisa memberikan dampak pengobatan bagi penderita Covid-19. WHO menandaskan perlunya kehati-hatian karena banyak informasi salah di media sosial tentang efektivitas pengobatan tradisional. “Banyak tanaman dan obat yang diajukan tanpa mengetahui persyaratan minimum bukti kualitas, keselamatan, dan efektivitasnya,” demikian keterangan WHO.
Presiden Madagaskar Andry Rajoelina mendukung upaya penyembuhan pasien korona dengan artemisinin. Meskipun perpaduan obat herbal itu belum memiliki bukti hasil penelitian ilmiah, namun beberapa pemimpin Afrika telah memesan obat herbal tersebut.
Rajoelina belum lama ini meluncurkan Covid-Organics yang merupakan pengembangan dari artemisinin dan tanaman herbal lainnya dari Madagaskar yang biasanya sebagai obat untuk penyakit malaria. Obat tradisional dalam bentuk teh dan telah diujikan kepada sedikitnya 20 orang. Hanya, Rajoelina menganggap obat itu sifatnya sebagai upaya pencegahan. “Teh herbal itu bisa menunjukkan hasil selama tujuh hari. Anak-anak juga seharusnya mengonsumsi teh tersebut,” katanya, dilansir BBC.
Di China, negara virus corona bermula, pemerintah setempat mengklaim keberhasilan mengendalikan pandemi selama ini adalah berkat kemampuan mengombinasikan antara obat herbal seperti jinhua qinggang granule, lianhua qingwen, dan konvensional. Komisi Kesehatan China bahkan telah mengeluarkan dokumen untuk pengobatan pasien Covid-19 dengan menggunakan obat herbal untuk menyembuhkan keletihan dan demam. “Pemerintah telah menguji efektivitas obat herbal China,” kata Zhong Nashan, seorang epidemiolog asal China.
Menurut dia, praktik pengobatan herbal itu sebenarnya juga telah dilaksanakan selama berabad-abad. Seperti dilansir China Daily, sebanyak 91,6% pasien di Provinsi Hubei, episentrum Covid-19, berhasil sembuh dirawat dengan obat tradisional. Secara nasional, 92,4% pasien corona di China juga berhasil sembuh dengan obat herbal tersebut. “Tiga formula herbal dan tiga pengobatan konvensional bisa membuktikan melawan virus corona,” demikian keterangan Badan Pengobatan Tradisional China.
Jinhua qinggang granule dikembangkan saat pandemi influenza H1N1 pada 2009. Obat itu tersedia dalam 12 komponen herbal yang fokus utamanya menyembuhkan infeksi paru-paru. Obat herbal lain yang digunakan adalah lianhua qingwen yang lazim digunakan untuk pengobatan flu dan demam. Komposisinya terdiri atas 13 komponen herbal yang juga bisa membantu pasien virus korona bisa sembuh dan berstatus negatif.
Di India, pusat pengobatan Ayurveda yang didasarkan pada pengobatan herbal, diet dan makanan, ternyata mendukung untuk penguatan imunitas. Perdana Menteri (PM) India Narenda Modi mengatakan, di antara strategi penanganan pandemi korona adalah meminta warga mengonsumsi obat tradisional. “Masyarakat harus mengikuti petunjuk konsumsi obat herbal kadha yang bisa meningkatkan imunitas,” katanya.
Filipina pun tidak ketinggalan. Departemen Sains dan Teknologi Filipina juga mencari pembuktian keefektivan obat herbal untuk melawan Covid-19. Juru bicara Presiden Filipina, Harry Roque, mengatakan lagundi, minyak kelapa, dan tawa-tawa sedang diuji coba untuk menyembuhkan pasien yang terinfeksi virus corona. Presiden Filipina Rodrigo Duterte bahkan akan menyediakan hadiah senilai 50 juta peso bagi siapa saja yang bisa menemukan obat untuk menyembuhkan penyakit corona.
Sebelumnya Profesor Fabian Dayri, Mary Newport dari Spring Hill Neonatolody di Florida, Amerika Serikat, juga telah mengusulkan studi klinis yang sama tentang pemanfaatan minyak kelapa untuk pengobatan pasien penyakit menular. Minyak kelapa yang mengandung asam laurat baik untuk kesehatan manusia. Saat dikonsumsi, asam tersebut akan memaksa tubuh memproduksi senyawa monolaurin yang mampu memicu aktivitas penolakan virus. Sifat antivirus dalam asam laurat bekerja dalam tiga mekanisme.
Temulawak-Kulit Jeruk
Di Indonesia masyarakat melakukan berbagai cara agar terhindar dari penularan Covid-19. Di antara yang dilakukan adalah mengonsumsi empon-empon. Dari penelitian yang sudah dilakukan, di antara tanaman herbal yang berkhasiat dalam membangun daya tahan tubuh adalah temulawak (curcuma xanthorrhiza roxb). Tanaman yang mengandung curcumin ini sudah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan, dan pengobatan penyakit hingga pada masa pemulihan. Obat asli Indonesia ini disinyalir mampu mengendalikan produksi sitokin akibat dari satu sel yang terinfeksi oleh virus, baik influenza ataupun corona.
Ketua Tim Riset Korona dan Formulasi Vaksin dari Profesor Nidom Foundation (PNF) Prof Chairul A Nidom mengatakan, sitokin adalah protein yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh. “Apabila tubuh terpapar virus terus-menerus maka dapat terjadi badai sitokin yang membuat paru- paru padat dan kaku sehingga terjadi sesak napas, bahkan gagal napas dan bisa berlanjut kepada kematian,” katanya.
Dalam penelitiannya pada 2008, curcumin pada temulawak mampu mengendalikan sitokin inflamatori sehingga tidak terjadi badai sitokin. Hasil penelitian Prof Nidom ini sejalan dan memperkuat penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa temulawak memiliki efek terhadap daya tahan tubuh, yaitu sebagai imunomodulator. Melalui penelitian ini juga dinyatakan bahwa curcumin dapat memodulasi sistem daya tahan tubuh dengan cara meningkatkan kemampuan proliferasi sel T.
Penelitian bioinformatika yang dipublikasikan pada Maret 2020 dan kepustakaan terbaru telah menyebut bahwa curcumin merupakan satu di antara kandidat antivirus SARS-CoV-2. Curcumin yang terkandung pada temulawak diharapkan mampu meningkatkan ekspresi ACE2 bentuk soluble yang dapat menghambat terjadi ikatan antara protein virus dengan ACE2 bentuk fixed pada permukaan sel inang. ACE 2 merupakan sel inang bagi Covid-19.
Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) Dr Inggrid Tania mendukung hasil penelitian tersebut. Dia menjelaskan, secara fungsional ada dua bentuk ACE2, yaitu fixed (menempel pada permukaan sel) dan soluble (bentuk bebas dalam darah). “Temulawak sudah dikonsumsi masyarakat Indonesia selama berabad-abad. Berdasarkan empirical experiental evidence, scientific evidence, danclinical evidence,temulawak terbukti aman dan memberikan manfaat daya tahan tubuh,” jelasnya.
Dr Raphael Aswin Susilowidodo, VP Research and Development SOHO Global Health, menganjurkan masyarakat untuk menggunakan temulawak yang telah diekstrak karena kadar curcumin-nya lebih terukur sehingga sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Selain temulawak, bahan alami yang bisa menangkal virus korona adalah kulit jeruk. Ini merupakan hasil riset dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Farmasi UI, Pusat Studi Biofarmaka Tropika (TropBRC), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University, dan Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB University. Penelitian memfokuskan bioinformatika untuk menemukan senyawa yang berpotensi untuk melawan Covid-19. Senyawa tersebut adalah golongan flavonoid, yaitu satu di antaranya hesperidin yang bisa memberikan perlindungan terhadap mikroba dan virus.
Senyawa ini banyak ditemukan di kulit buah jeruk. Dengan demikian, selama berdiam di rumah, masyarakat dapat membuat jus jeruk sendiri dengan lupa menambahkan sedikit kulit jeruk yang sudah dicuci bersih. “Memang akan terasa sedikit pahit. Tapi, itu menunjukkan hesperidin ada di dalamnya,” ujar Guru Besar IPB University yang juga Kepala Pusat Trop BRC Prof Irmanida Batubara. (Andika H Mustaqim/Sri Noviarni)
Di antara negara yang telah memanfaatkan obat herbal tersebut antara lain China, India, Filipina, dan sejumlah negara di Afrika. Indonesia juga memiliki sejumlah obat tradisional (empon-empon) yang telah banyak dimanfaatkan masyarakat untuk menjaga imunitas tubuh.
Di China obat herbal yang banyak digunakan adalah artemisia annua atau artemisinin. WHO pun mendorong agar penelitian terhadap obat ini dimaksimalkan supaya benar-benar teruji klinis. “Terapi dari pengobatan tradisional dan alamiah harus menjalani uji klinis untuk mengetahui aspek efektivitas dan keselamatan,” demikian pernyataan Kantor WHO wilayah Afrika, dilansir Reuters.
WHO menyatakan telah bekerja sama dengan berbagai institusi penelitian untuk memiliki produk tradisional yang bisa memberikan dampak pengobatan bagi penderita Covid-19. WHO menandaskan perlunya kehati-hatian karena banyak informasi salah di media sosial tentang efektivitas pengobatan tradisional. “Banyak tanaman dan obat yang diajukan tanpa mengetahui persyaratan minimum bukti kualitas, keselamatan, dan efektivitasnya,” demikian keterangan WHO.
Presiden Madagaskar Andry Rajoelina mendukung upaya penyembuhan pasien korona dengan artemisinin. Meskipun perpaduan obat herbal itu belum memiliki bukti hasil penelitian ilmiah, namun beberapa pemimpin Afrika telah memesan obat herbal tersebut.
Rajoelina belum lama ini meluncurkan Covid-Organics yang merupakan pengembangan dari artemisinin dan tanaman herbal lainnya dari Madagaskar yang biasanya sebagai obat untuk penyakit malaria. Obat tradisional dalam bentuk teh dan telah diujikan kepada sedikitnya 20 orang. Hanya, Rajoelina menganggap obat itu sifatnya sebagai upaya pencegahan. “Teh herbal itu bisa menunjukkan hasil selama tujuh hari. Anak-anak juga seharusnya mengonsumsi teh tersebut,” katanya, dilansir BBC.
Di China, negara virus corona bermula, pemerintah setempat mengklaim keberhasilan mengendalikan pandemi selama ini adalah berkat kemampuan mengombinasikan antara obat herbal seperti jinhua qinggang granule, lianhua qingwen, dan konvensional. Komisi Kesehatan China bahkan telah mengeluarkan dokumen untuk pengobatan pasien Covid-19 dengan menggunakan obat herbal untuk menyembuhkan keletihan dan demam. “Pemerintah telah menguji efektivitas obat herbal China,” kata Zhong Nashan, seorang epidemiolog asal China.
Menurut dia, praktik pengobatan herbal itu sebenarnya juga telah dilaksanakan selama berabad-abad. Seperti dilansir China Daily, sebanyak 91,6% pasien di Provinsi Hubei, episentrum Covid-19, berhasil sembuh dirawat dengan obat tradisional. Secara nasional, 92,4% pasien corona di China juga berhasil sembuh dengan obat herbal tersebut. “Tiga formula herbal dan tiga pengobatan konvensional bisa membuktikan melawan virus corona,” demikian keterangan Badan Pengobatan Tradisional China.
Jinhua qinggang granule dikembangkan saat pandemi influenza H1N1 pada 2009. Obat itu tersedia dalam 12 komponen herbal yang fokus utamanya menyembuhkan infeksi paru-paru. Obat herbal lain yang digunakan adalah lianhua qingwen yang lazim digunakan untuk pengobatan flu dan demam. Komposisinya terdiri atas 13 komponen herbal yang juga bisa membantu pasien virus korona bisa sembuh dan berstatus negatif.
Di India, pusat pengobatan Ayurveda yang didasarkan pada pengobatan herbal, diet dan makanan, ternyata mendukung untuk penguatan imunitas. Perdana Menteri (PM) India Narenda Modi mengatakan, di antara strategi penanganan pandemi korona adalah meminta warga mengonsumsi obat tradisional. “Masyarakat harus mengikuti petunjuk konsumsi obat herbal kadha yang bisa meningkatkan imunitas,” katanya.
Filipina pun tidak ketinggalan. Departemen Sains dan Teknologi Filipina juga mencari pembuktian keefektivan obat herbal untuk melawan Covid-19. Juru bicara Presiden Filipina, Harry Roque, mengatakan lagundi, minyak kelapa, dan tawa-tawa sedang diuji coba untuk menyembuhkan pasien yang terinfeksi virus corona. Presiden Filipina Rodrigo Duterte bahkan akan menyediakan hadiah senilai 50 juta peso bagi siapa saja yang bisa menemukan obat untuk menyembuhkan penyakit corona.
Sebelumnya Profesor Fabian Dayri, Mary Newport dari Spring Hill Neonatolody di Florida, Amerika Serikat, juga telah mengusulkan studi klinis yang sama tentang pemanfaatan minyak kelapa untuk pengobatan pasien penyakit menular. Minyak kelapa yang mengandung asam laurat baik untuk kesehatan manusia. Saat dikonsumsi, asam tersebut akan memaksa tubuh memproduksi senyawa monolaurin yang mampu memicu aktivitas penolakan virus. Sifat antivirus dalam asam laurat bekerja dalam tiga mekanisme.
Temulawak-Kulit Jeruk
Di Indonesia masyarakat melakukan berbagai cara agar terhindar dari penularan Covid-19. Di antara yang dilakukan adalah mengonsumsi empon-empon. Dari penelitian yang sudah dilakukan, di antara tanaman herbal yang berkhasiat dalam membangun daya tahan tubuh adalah temulawak (curcuma xanthorrhiza roxb). Tanaman yang mengandung curcumin ini sudah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan, dan pengobatan penyakit hingga pada masa pemulihan. Obat asli Indonesia ini disinyalir mampu mengendalikan produksi sitokin akibat dari satu sel yang terinfeksi oleh virus, baik influenza ataupun corona.
Ketua Tim Riset Korona dan Formulasi Vaksin dari Profesor Nidom Foundation (PNF) Prof Chairul A Nidom mengatakan, sitokin adalah protein yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh. “Apabila tubuh terpapar virus terus-menerus maka dapat terjadi badai sitokin yang membuat paru- paru padat dan kaku sehingga terjadi sesak napas, bahkan gagal napas dan bisa berlanjut kepada kematian,” katanya.
Dalam penelitiannya pada 2008, curcumin pada temulawak mampu mengendalikan sitokin inflamatori sehingga tidak terjadi badai sitokin. Hasil penelitian Prof Nidom ini sejalan dan memperkuat penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa temulawak memiliki efek terhadap daya tahan tubuh, yaitu sebagai imunomodulator. Melalui penelitian ini juga dinyatakan bahwa curcumin dapat memodulasi sistem daya tahan tubuh dengan cara meningkatkan kemampuan proliferasi sel T.
Penelitian bioinformatika yang dipublikasikan pada Maret 2020 dan kepustakaan terbaru telah menyebut bahwa curcumin merupakan satu di antara kandidat antivirus SARS-CoV-2. Curcumin yang terkandung pada temulawak diharapkan mampu meningkatkan ekspresi ACE2 bentuk soluble yang dapat menghambat terjadi ikatan antara protein virus dengan ACE2 bentuk fixed pada permukaan sel inang. ACE 2 merupakan sel inang bagi Covid-19.
Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) Dr Inggrid Tania mendukung hasil penelitian tersebut. Dia menjelaskan, secara fungsional ada dua bentuk ACE2, yaitu fixed (menempel pada permukaan sel) dan soluble (bentuk bebas dalam darah). “Temulawak sudah dikonsumsi masyarakat Indonesia selama berabad-abad. Berdasarkan empirical experiental evidence, scientific evidence, danclinical evidence,temulawak terbukti aman dan memberikan manfaat daya tahan tubuh,” jelasnya.
Dr Raphael Aswin Susilowidodo, VP Research and Development SOHO Global Health, menganjurkan masyarakat untuk menggunakan temulawak yang telah diekstrak karena kadar curcumin-nya lebih terukur sehingga sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Selain temulawak, bahan alami yang bisa menangkal virus korona adalah kulit jeruk. Ini merupakan hasil riset dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Farmasi UI, Pusat Studi Biofarmaka Tropika (TropBRC), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University, dan Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB University. Penelitian memfokuskan bioinformatika untuk menemukan senyawa yang berpotensi untuk melawan Covid-19. Senyawa tersebut adalah golongan flavonoid, yaitu satu di antaranya hesperidin yang bisa memberikan perlindungan terhadap mikroba dan virus.
Senyawa ini banyak ditemukan di kulit buah jeruk. Dengan demikian, selama berdiam di rumah, masyarakat dapat membuat jus jeruk sendiri dengan lupa menambahkan sedikit kulit jeruk yang sudah dicuci bersih. “Memang akan terasa sedikit pahit. Tapi, itu menunjukkan hesperidin ada di dalamnya,” ujar Guru Besar IPB University yang juga Kepala Pusat Trop BRC Prof Irmanida Batubara. (Andika H Mustaqim/Sri Noviarni)
(ysw)