Ini Kesalahan Fatal AS Sehingga Jadi Negara Terparah COVID-19

Sabtu, 09 Mei 2020 - 05:33 WIB
loading...
Ini Kesalahan Fatal...
Presiden Amerika Serikat Donald John Trump. Foto/REUTERS/Leah Millis
A A A
WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) menjadi negara terparah di dunia yang dilanda pandemi virus corona baru, COVID-19 , baik dalam jumlah kasus infeksi maupun jumlah kematian. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa pandemi di Amerika tak akan separah seperti ini jika pemerintah tidak melakukan kesalahan fatal.

Data worldometers pada Sabtu (9/5/2020) pukul 05.00 WIB yang dikutip SINDOnews.com menunjukkan ada 4.001.136 kasus infeksi COVID-19 secara global dengan 275.399 kematian dan sebanyak 1.375.984 pasien berhasil disembuhkan. Dari data global itu, AS berada di urutan puncak sebagai negara terparah dengan 1.318.526 kasus, 78.494 kematian dan 221.919 pasien sembuh.

Sebuah studi baru oleh tim peneliti China dan AS—yang belum dilakukan peer-review—melihat kemanjuran dari kebijakan stay at home orders (SAHO) atau perintah tetap tinggal di rumah dan pemakaian masker wajah dalam pencegahan penyebaran COVID-19.

Para peneliti melihat tingkat infeksi dan kematian di AS dan menyimpulkan kasus menurun tajam setelah perintah penguncian seperti itu diperkenalkan oleh beberapa pemerintah negara bagian.

Studi ini menunjukkan "titik balik" kunci dalam tingkat kematian AS datang pada 19 Maret ketika negara bagian California menerapkan SAHO. California adalah salah satu negara bagian AS pertama yang memperkenalkan perintah semacam itu. Tingkat kematian juga menurun bahkan lebih banyak setelah 23 Maret ketika kebijakan SAHO diperluas di 10 negara bagian.

Seandainya lebih banyak yurisdiksi yang dipilih untuk memberlakukan perintah tersebut, studi itu memperkirakan lebih dari 2.600 kematian terkait COVID-19 di California saat ini bisa saja diturunkan menjadi kurang dari 1.000. Ini kemudian akan memiliki efek knock-on untuk tingkat kematian di seluruh negara bagian Amerika.(Baca: Salahkan China, Trump: Serangan COVID-19 Lebih Buruk dari Pearl Harbour )

Penelitian juga menyatakan pencabutan awal dari SAHO akan menyebabkan dampak yang cukup besar pada kasus baru COVID-19 secara harian dan kematian hingga lebih dari 3.000 jiwa.

Penelitian ini mirip dengan sentimen sebelumnya yang dibuat oleh direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular Anthony Fauci. Dokter dan ahli imunologi terkemuka itu mengatakan kepada CNN pada pertengahan April bahwa pencegahan yang disetujui pemerintah akan “menyelamatkan nyawa”.

"Anda dapat secara logis mengatakan jika Anda memiliki proses yang sedang berlangsung dan Anda memulai mitigasi sebelumnya, Anda bisa menyelamatkan nyawa," katanya. "Tidak ada yang akan menyangkal itu."

CNN, dalam laporannya, menyatakan para pejabat kesehatan ingin memperkenalkan langkah-langkah jarak sosial (social distancing) yang lebih ketat dari minggu ketiga Februari, namun saran itu tidak diindahkan oleh Presiden AS Donald Trump.

"Jelas jika kita benar sejak awal menutup semuanya, segalanya akan terlihat sangat berbeda tetapi ada banyak tekanan balik tentang menutup semuanya saat itu," kata para pejabat tersebut. (Baca juga: Media China: AS Kekuatan Berdarah Dingin yang Tak Becus Tangani Covid-19 )

Pakar kesehatan setempat dan internasional telah mengkritik pejabat AS karena "missed the boat" dalam mengendalikan penyakit dengan menunggu terlalu lama untuk menghentikan perjalanan domestik dan memberlakukan aturan jarak sosial.

Para ilmuwan, seperti dikutip New York Times, memperkirakan penyebaran infeksi virus dari New York menyumbang 60 hingga 65 persen di AS.

Setelah menganalisis ribuan sampel dari orang yang terinfeksi di seluruh AS, Yale School of Public Health menemukan sebagian besar kasus memiliki mutasi yang dapat ditelusuri kembali ke wabah di New York.

"Kami sekarang memiliki cukup data untuk merasa cukup percaya diri bahwa New York adalah pintu gerbang utama untuk seluruh negara," kata ahli epidemiologi Dr Nathan Grubaugh dari Yale School of Public Health.
(min)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1760 seconds (0.1#10.140)