China Melesat di Tengah Pandemi

Selasa, 20 Oktober 2020 - 06:01 WIB
loading...
China Melesat di Tengah Pandemi
Ekonomi China menunjukkan pemulihan signifikan pada kuartal III/2020 setelah dihantam wabah virus corona (Covid-19) hampir setahun terakhir. Foto/Koran SINDO
A A A
BEIJING - Ekonomi China menunjukkan pemulihan signifikan pada kuartal III/2020 setelah dihantam wabah virus corona (Covid-19) hampir setahun terakhir. Selain berhasil lolos dari ancaman resesi, China juga membukukan pertumbuhan ekonomi signifikan berkat sokongan sektor konsumsi yang kembali bergairah.



Laporan terkini yang dirilis otoritas Negeri Panda menyebutkan, produk domestik bruto (PDB) negara itu tumbuh 4,9% pada periode Juli—September. Angka tersebut lebih baik dibanding kuartal II/2020 yakni 3,2% dan kuartal I/2020 yang mengalami kontraksi -6,8%.

Meski demikian, angka pertumbuhan kuartal ketiga masih lebih rendah dibanding prediksi sejumlah ahli yang mengestimasikan ekonomi China bisa tumbuh hingga 5,2%. Namun, apa pun hasilnya pemulihan di kuartal ketiga merupakan capaian luar biasa bagi China yang merupakan episentrum awal pandemi Covid-19. (Baca: Agar Doa Cepat Dikabulkan, Perhatikan Tiga Hal Ini!)

“Pemulihan pada kuartal ketiga berada di bawah prediksi, tetapi masih sangat baik,” ujar Kepala Strategi Makro Asia dari Westpac Frances Cheung, seperti dikutip Reuters.

Dia menambahkan, data ekonomi China menunjukkan bahwa upaya pemulihan dari krisis ekonomi merupakan momentum yang baik, sekalipun baru menggantungkan diri pada pasar domestik. “Saya yakin China akan meraih capaian yang lebih baik pada kuartal berikutnya,” ucapnya.

Biro Statistik Nasional China (NBS) menyatakan, negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu sudah menunjukkan tanda-tanda kebangkitan setelah pasar mulai kembali ramai dikunjungi pada pertengahan tahun ini.

Pembuat kebijakan di berbagai negara juga berharap mampu memulihkan ekonomi secara cepat seperti China. Menurut NBS, PDB China naik sekitar 2,7% pada kuartal ketiga dibandingkan kuartal kedua. Berdasarkan data NBS, ekonomi China disokong faktor konsumsi di mana penjualan pusat-pusat ritel dilaporkan naik 3,3% pada September, lebih baik dibanding 0,5% pada Agustus.

Pertumbuhan juga dicatatkan sektor industri dengan kenaikan output sebesar 6,9%. Hal itu menunjukkan sektor manufaktur mengalami pemulihan dan menggalang momentum. Faktor lain yang juga menjanjikan adalah investasi fixed-asset yang juga naik 0,8%, lebih baik dibanding sembilan bulan terakhir. (Baca juga: Wawancara Beasiswa UnggulanKemendikbud Dilakukan Daring)

Stimulus Ekonomi

Pemerintah China membantu proses pemulihan dari pandemi Covid-19 dengan memberikan sejumlah paket bantuan ekonomi, penurunan pajak, dan pemotongan bunga pinjaman sehingga perusahaan tidak mudah bangkrut dan masyarakat tetap bekerja.

Perdana Menteri (PM) China Li Keqiang mengatakan, China perlu berjuang lebih keras agar dapat mencapai target penuh. China pun menjadi satu-satunya negara superpower yang berhasil menghindari resesi ekonomi akibat Covid-19 tahun ini. Amerika Serikat (AS) dan Jepang pun tak mampu mengalahkan China.

Bank Dunia pun mengapresiasi kinerja ekonomi China seraya memprediksi pertumbuhan PDB negara itu bisa mencapai 1,6%, pada saat ekonomi global mengalami kontraksi sebesar 5,2%. (Baca juga: Ibu Penyitas Covid-19 Jangan Berhenti Menyusui)

China memang sukses bangkit dan lebih cepat pulih dibandingkan negara lainnya karena berhasil menanggulangi Covid-19 secara cepat dan tepat. Di balik semua itu, Pemerintah China juga menanamkan investasi dalam berbagai proyek infrastruktur untuk mendukung ekonomi dan membagikan insentif uang tunai sehingga kemampuan belanja masyarakat tetap kuat.

Akhir tahun ini PDB China terhadap dunia meningkat sebesar 1,1% atau tiga kali lebih tinggi dibandingkan 2019. Sebaliknya, PDB AS dan Eropa terhadap dunia menurun. Estimasinya, ekonomi China diperkirakan setara dengan USD14,6 triliun atau setara dengan 17,5% PDB dunia.

Ahli ekonomi dari Macquarie Group Larry Hu mengatakan, kemajuan China tidak terlepas dari besarnya pengaruh China dalam ekonomi dunia. Saat ini banyak perusahaan China yang sukses mengadu strategi di berbagai sektor dan menguasai pasar. “Karena itu, tak heran jika China mampu pulih lebih baik dibandingkan yang lain,” kata Hu.

Pertumbuhan itu juga dirangsang berbagai program ekonomi dan budaya. Pekan ini China telah merayakan liburan panjang Golden Week. Festival musiman itu menandai berdirinya Republik Rakyat China dan Moon Festival, satu di antara festival dengan arus mudik terbesar di China. Lebih dari 630 juta orang disebut mudik selama Golden Week tahun ini atau 80% dari jumlah normal. (Baca juga: DPR Minta Perjokian Kartu Prakerja Diusut Tuntas)

Tingkat belanja masyarakat juga disebut pulih sebesar 70% dibandingkan tahun lalu atau mencapai USD70 miliar. Adapun penjualan tiket bioskop melampaui USD580 juta atau 12% di belakang Golden Week tahun lalu. Golden Week telah mendorong rakyat China untuk kembali menjalani dan menikmati hidup seperti sebelum Covid-19 mewabah.

Imbas wabah Covid-19 memang tidak seburuk seperti prediksi sebelumnya. Berdasarkan laporan terbaru Organisasi Pembangunan dan Kerja Sama Ekonomi (OECD), ekonomi dunia akan menyusut tahun ini, tapi tidak sebesar prediksi beberapa bulan lalu menyusul ada perkembangan positif.

Lembaga penelitian yang berkantor pusat di Prancis itu memperkirakan ekonomi dunia akan turun sebesar 4,5% tahun ini dan juga naik sebesar 5% pada 2021. Beberapa bulan sebelumnya, OECD pernah mengeluarkan rilis serupa dan memperkirakan ekonomi global akan turun 6% dan naik 5,2% tahun depan. (Baca juga: Eropa Khawatirkan Sengketa Hasil Pemilu AS)

Bagaimanapun data itu tidak menggambarkan perkembangan ekonomi secara menyeluruh dan merata pasalnya penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi berasal dari AS dan China. Adapun negara-negara Eropa hanya naik sedikit. Negara lainnya seperti Meksiko, Argentina, India, dan Indonesia diperkirakan tidak berkembang signifikan.

China menjadi satu-satunya negara G-20 yang diproyeksikan mengalami kenaikan sebesar 1,8% tahun ini, sedangkan AS sebesar 3,8%. Ritel di China, terutama e-commerce, mengalami kenaikan besar. Sementara 19 negara Eropa yang menggunakan mata uang Euro akan mengalami penurunan sekitar 7,9%.

“Perbedaan perkembangan itu mencerminkan adanya perbedaan tingkat keparahan pandemi, tingkat kesuksesan penanggulangan, dan antisipasi dampak Covid-19 terhadap ekonomi negara,” ungkap OECD, dikutip CNN.

OECD melanjutkan, outlook tersebut bergantung pada penyebaran wabah Covid-19 dan kebijakan pemerintah, baik yang berkaitan dengan ekonomi ataupun kesehatan. Upaya pemulihan ekonomi global juga telah kehilangan momentum pada beberapa bulan lalu setelah lockdown diperlonggar dan aktivitas bisnis dibuka. (Lihat videonya: Diduga Depresi Sekolah Daring, Pelajar Nekat Bunuh Diri)

“Ketidakpastian masih tinggi dan kepercayaan diri masih rendah, tapi berbagai negara di dunia sedang berupaya bangkit dan terbebas dari keterpurukan,” ungkap OECD. (Muh Shamil)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1577 seconds (0.1#10.140)