Mengintip Cara Taiwan Taklukkan COVID-19 tanpa Lockdown Total

Selasa, 05 Mei 2020 - 12:45 WIB
loading...
Mengintip Cara Taiwan...
Orang-orang di Taiwan beraktivitas normal ketika dunia dilanda pandemi COVID-19. Foto/REUTERS/A. Song
A A A
TAIPEI - Taiwan, wilayah yang memerintah sendiri namun diklaim China sebagai wilayahnya, menjadi contoh pihak yang berhasil mengendalikan pandemi virus corona baru (COVID-19).

Uniknya, wilayah ini dekat dengan China daratan—tempat wabah COVID-19 pertama kali muncul pada Desember 2019—, dan bukan anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Data worldometers pada Selasa (5/5/2020) pukul 12.00 yang dikutip SINDOnews.com, Taiwan memiliki 438 kasus COVID-19 dengan 6 kematian dan sebanyak 334 pasien berhasil disembuhkan. Dari data itu diketahui, sebagian besar pasien berhasil disembuhkan.

Sejak Maret lalu, tidak ada kasus baru COVID-19 yang dilaporkan. Menteri Kesehatan Chen Shih-chung, yang juga mengepalai Pusat Komando Epidemi Sentral Taiwan (CECC), telah mengonfirmasi hal tersebut.

Menurut Taiwan News, 338 pasien coronavirus di wilayah itu adalah orang-orang yang telah kembali dari luar negeri.

Kelompok riset yang berbasis di Oxford, Our World in Data, juga mencermati wilayah dengan populasi lebih dari 23 juta tersebut, yang mencatat jumlah kasus virus corona terendah per 1 juta orang di mana pun di dunia selama 50 hari terakhir.

Hebatnya, kondisi terjadi tanpa pemberlakuan lockdown total. Sekolah dan bisnis melanjutkan operasi secara normal, tetapi orang-orang tetap diminta untuk memakai masker dan secara ketat mengikuti tindakan pencegahan COVID-19.

Pelajaran untuk Dunia

Tanggapan efektif Taiwan telah dikaitkan dengan kesiapsiagaan awal, keahlian kesehatan, kompetensi pemerintah, dan kewaspadaan.

Menurut laporan Council on Foreign Relations (Dewan Hubungan Luar Negeri) yang berbasis di AS, Taiwan memberi tahu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang potensi virus corona baru menular dari manusia ke manusia pada 31 Desember 2019. Namun, WHO tidak merespons.

"Sebaliknya, WHO mendukung penyangkalan China terhadap penularan dari manusia ke manusia sampai 21 Januari. Ketika WHO terlihat meremehkan ancaman global, Taiwan mengadopsi langkah-langkah kuat untuk menyaring, menguji, melacak kontak, dan menegakkan karantina," bunyi laporan tersebut.

Presiden Taiwan Tsai Ing-wen juga mendapat pujian karena kepemimpinannya yang menentukan selama krisis coronavirus.

"Kembali pada bulan Januari, pada tanda pertama penyakit baru, dia (Tsai) memperkenalkan 124 langkah untuk memblokir penyebaran (COVID-19), tanpa harus menggunakan penguncian yang menjadi hal biasa di tempat lain," bunyi laporan yang diterbitkan Majalah Forbes.

Sebuah laporan yang diterbitkan dalam Journal of American Medical Association (JAMA) Maret lalu mengatakan pemerintah Taiwan menerapkan pembelajaran dari pengalamannya dengan wabah SARS 2003.

"Tim pejabat yang terlatih dan berpengalaman dengan cepat mengenali krisis dan mengaktifkan struktur manajemen darurat untuk mengatasi wabah yang muncul ... Melalui pengakuan awal krisis, pengarahan harian kepada publik, dan pesan kesehatan yang sederhana, pemerintah dapat meyakinkan kembali publik dengan memberikan informasi yang tepat waktu, akurat, dan transparan mengenai epidemi yang berkembang," lanjut laporan itu.

"Taiwan adalah contoh bagaimana masyarakat dapat merespons dengan cepat terhadap krisis dan melindungi kepentingan warganya."

Beberapa pakar kesehatan internasional memuji Taiwan karena persiapan cepat dan intervensi awal atas pandemi COVID-19.

"Karena pelajaran keras yang dipelajari Taiwan selama epidemi SARS pada 2003, itu lebih siap untuk wabah coronavirus daripada banyak negara lain," kata Dr Chunhuei Chi, seorang profesor kesehatan masyarakat di Oregon State University di AS.

Pemerintah Taiwan memberlakukan larangan perjalanan pada pengunjung dari China, Hong Kong dan Makau segera setelah jumlah kasus virus korona mulai meningkat di daratan China.

Mengantisipasi tingginya permintaan akan masker pada akhir Januari, pemerintah Taiwan mulai menjatah pasokan masker yang ada. Warga Taiwan sekarang dapat pergi ke toko obat yang ditunjuk di seluruh pulau itu untuk berbaris dan membeli masker dalam jumlah tertentu setiap minggu. Chi menunjukkan bahwa kebijakan ini juga telah digandakan di negara-negara lain seperti Korea Selatan dan Prancis.

"Taiwan meningkatkan kekuatan sektor manufakturnya dan menginvestasikan sekitar USD6,8 juta untuk menciptakan 60 lini produksi masker baru," kata Chi, seperti dikutip DW.com.

"Ini meningkatkan kapasitas produksi harian Taiwan dari 1,8 juta masker menjadi 8 juta masker. Ini disebut 'Masker Keajaiban Taiwan'."

Teknologi untuk Deteksi Dini

Pemerintah Taiwan juga telah menggunakan teknologi data untuk membantu petugas medis mengidentifikasi dan melacak pasien suspect COVID-19 dan individu yang berisiko tinggi.

Dalam sebuah makalah yang diterbitkan dalam Journal of American Medical Association, Dr Jason Wang, seorang ahli kebijakan kesehatan masyarakat di Universitas Stanford di AS, menyoroti penggunaan teknologi Taiwan untuk melacak keberadaan mereka yang berada di bawah karantina.

"Pemerintah akan memanggil Anda dan mencoba mencari tahu di mana Anda berada," kata Wang. "Mereka dapat melacak orang-orang dengan telepon mereka, yang memungkinkan mereka memastikan semua orang yang seharusnya menjalani wajib karantina 14 hari dan tidak melanggar peraturan dengan menyelinap keluar dari lokasi karantina mereka."

Pemerintah Taiwan juga memberikan dukungan bagi mereka yang dikarantina. Para pemimpin desa setempat membawa satu tas perlengkapan kebutuhan pokok seperti makanan atau pun buku kepada individu yang dikarantina. Karena sebagian besar karantina diberlakukan, pemerintah Taiwan juga meluncurkan program kesejahteraan yang memberikan tunjangan harian USD30 bagi mereka yang terkena karantina selama periode dua minggu.

"Ini memberi orang Taiwan lebih banyak insentif untuk melaporkan gejala mereka dengan jujur," kata Wang.

"Itulah cara demokrasi menangani karantina selama wabah coronavirus, dan itu sangat berbeda dari pemerintah otoriter. Saya pikir ini adalah kasus di mana demokrasi harus memanfaatkan data dan teknologi mereka dengan tepat, sehingga mereka dapat membuat orang tertarik ke tempat yang tepat dan menindaklanjuti dengan perawatan yang tepat."

Melawan Disinformasi China

Ketika pemerintah Taiwan sibuk menangani wabah coronavirus, pulau itu juga menyaksikan gelombang disinformasi coronavirus pada platform media sosial.

Dicampur dengan karakter Mandarin sederhana yang biasanya digunakan di daratan China, dan frasa yang sebagian besar tidak dikenal oleh pengguna media sosial di Taiwan, para peneliti dengan cepat menyimpulkan bahwa kampanye disinformasi ini berasal dari China daratan.

Taiwan FactCheck Center, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada pembongkaran disinformasi di Taiwan, dengan cepat memberi tahu masyarakat umum tentang kampanye disinformasi ini, yang sebagian besar ditujukan kepada pemerintah Taiwan.

"Gelombang kampanye disinformasi ini adalah vektor baru untuk bentuk serangan lama, menggunakan krisis kesehatan sebagai cara baru menyerang Taiwan," kata Nick Monaco, direktur lab intelijen digital di Institute for the Future.

Monaco mengatakan bahwa komunikasi yang transparan antara pemerintah dan masyarakat sipil di Taiwan membantu menangkal kampanye disinformasi.

"Semua hal ini digabungkan membuat bahaya rumor massa menyebar dalam situasi seperti ini sangat tidak mungkin," kata Monako kepada DW.com. "Sebelum rumor seperti ini menyebar luas, mereka sudah dibantah oleh Taiwan FactCheck Center."

Riset Medis Taiwan

Taiwan juga telah berinvestasi dalam kapasitas penelitian biomedis selama beberapa dekade terakhir dan tim peneliti telah bekerja untuk memproduksi secara massal alat tes diagnostik cepat untuk COIVD-19.

Minggu lalu, sebuah tim peneliti di Taiwan Academia Sinica berhasil membuat dan menguji antibodi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi protein yang menyebabkan coronavirus. Tim itu bertujuan untuk menghasilkan tes cepat baru untuk virus corona yang dapat mempersingkat kerangka waktu untuk diagnosis hingga 20 menit.

Peneliti utama tim, Dr Yang An-Suei, mengatakan pada 8 Maret lalu bahwa langkah selanjutnya bagi tim adalah memvalidasi produk sebelum meluncurkan alat tes cepat di Taiwan.

Meskipun Beijing terus memblokir Taiwan untuk bergabung kembali dengan WHO, pakar kesehatan masyarakat Wang mengatakan bahwa Taiwan terus berbagi pengalamannya dalam memerangi wabah coronavirus dengan negara lain.

"Taiwan telah berbagi strategi pencegahan epidemi mereka dengan negara-negara lain melalui tele-konferensi, sambil membantu negara-negara yang tidak memiliki kemampuan medis canggih untuk memproses sampel dari pasien," kata Wang.

"Menurut saya, WHO membutuhkan Taiwan jauh lebih banyak daripada Taiwan membutuhkan WHO dalam perang melawan coronavirus," kata Chi.
(min)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0841 seconds (0.1#10.140)