5 Alasan Israel Tidak Layak Disebut Negara, Salah Satunya Berdiri di Tanah Palestina
loading...

Ada 5 alasan Israel tidak layak disebut negara, salah satunya berdiri di tanah Palestina. Foto/Marc Israel Sellem/Jerusalem Post
A
A
A
JAKARTA - Israel memang telah berdiri sebagai negara sejak 1948. Namun legitimasinya sebagai negara terus dipertanyakan, terutama oleh orang-orang Palestina yang tanahnya dirampas dan diklaim sebagai tanah negara Yahudi tersebut.
Selain Palestina, Suriah dan Lebanon juga mempertanyakaan status Negara Israel bahkan sebelum terbentuk. Zionisme, gerakan untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina, telah ditentang sejak kemunculannya di Eropa pada abad ke-19.
Kritik terhadap status Negara Israel mencakup penentangan terhadap hak negara itu untuk berdiri atau, sejak Perang Arab-Israel 1967, dan struktur kekuasaan di wilayah yang diduduki.
Kritik semakin gencar ketika rezim Zionis Israel dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang—seperti apartheid, kelaparan dan genosida—oleh para sarjana, ahli hukum, dan organisasi hak asasi manusia.
Namun, Israel menganggap kritik-kritik tersebut sebagai upaya untuk mendelegitimasinya. Rezim itu tidak peduli meski melakukan pendudukan militer terlama dan salah satu yang paling mematikan di dunia.
Pada 11 Mei 1949, Israel diterima di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai negara anggota penuh. Israel juga memiliki hubungan bilateral dengan masing-masing anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Pada tahun 2022, 28 dari 193 negara anggota PBB tidak mengakui kedaulatan Israel; 25 dari 28 negara yang tidak mengakui berada di dunia Muslim, dengan Kuba, Korea Utara, dan Venezuela mewakili sisanya.
Sebagian besar pemerintah yang menentang Israel telah mengutip konflik Israel-Palestina yang sedang berlangsung dan pendudukan militer Israel yang sedang berlangsung di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza sebagai dasar sikap mereka.
5 Alasan Israel Tak Layak Disebut sebagai Negara
Salah satu alasan utama Israel tidak layak disebut sebagai negara adalah karena berdiri dengan menduduki wilayah Palestina sejak 1967.
Israel mengambil kendali atas Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur selama Perang Enam Hari. Sejak saat itu, Israel telah membangun pemukiman-pemukiman di wilayah yang diduduki tersebut, yang melanggar hukum internasional.
Resolusi Dewan Keamanan PBB, khususnya Resolusi 242 dan 338, menyerukan kepada Israel untuk menarik diri dari wilayah yang diduduki, namun Israel terus mengabaikan kewajiban internasional ini.
Pendirian pemukiman di Tepi Barat, yang dianggap ilegal oleh hukum internasional, menunjukkan bahwa Israel tidak mematuhi prinsip-prinsip dasar yang mengatur pengakuan negara dan kedaulatan. Oleh karena itu, Israel tidak berhak disebut sebagai negara.
Meskipun Israel diakui oleh banyak negara di dunia, tidak sedikit pula negara dan organisasi internasional yang menganggap pendiriannya sebagai negara yang sah kontroversial.
Pada 1947, PBB mengusulkan pembagian wilayah Palestina menjadi negara Yahudi dan negara Arab melalui Resolusi 181, namun resolusi tersebut tidak mendapat dukungan dari mayoritas negara-negara Arab dan Palestina.
Konflik terus berlanjut setelah itu, dan hingga hari ini Palestina tidak mendapatkan pengakuan penuh sebagai negara merdeka meskipun telah mengeklaim wilayahnya sendiri.
Selain itu, status Yerusalem yang juga merupakan bagian dari wilayah yang dipertentangkan semakin memperburuk klaim Israel sebagai negara sah.
PBB dan sejumlah negara besar tidak mengakui penguasaan penuh Israel atas Yerusalem sebagai ibukota negara tersebut, yang menunjukkan bahwa legitimasi Israel sebagai negara sah masih dipertanyakan dalam banyak aspek internasional.
Sejak didirikan sebagai negara, Israel telah mengimplementasikan kebijakan yang menurut banyak kritikus berlandaskan diskriminasi terhadap warga Palestina, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri.
Diskriminasi ini terlihat jelas dalam undang-undang yang membatasi hak-hak warga Palestina yang tinggal di Israel, seperti dalam Undang-Undang Negara Bangsa Yahudi yang disahkan pada 2018.
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa hak penentuan nasib sendiri di Israel hanya berlaku untuk orang-orang Yahudi dan mengabaikan hak-hak warga Arab yang merupakan sekitar 20% dari populasi Israel.
Selain itu, pengungsi Palestina yang dipaksa meninggalkan rumah mereka selama konflik 1948 dan generasi penerus mereka, yang kini tersebar di negara-negara tetangga, masih belum mendapat hak kembali ke tanah kelahiran mereka.
Situasi ini memunculkan pertanyaan mengenai keadilan dalam konsep negara yang mengeklaim eksistensinya berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan dan hak asasi manusia.
Dari sudut pandang hukum internasional, pengakuan Israel sebagai negara sah tidak mutlak.
Palestina, yang merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik ini, secara formal diakui oleh lebih dari 130 negara di seluruh dunia.
Pada tahun 2012, Majelis Umum PBB memberikan status "negara pengamat non-anggota" kepada Palestina, meskipun Palestina belum diakui sebagai anggota penuh PBB.
Namun, Israel telah mengabaikan hak-hak Palestina yang diatur oleh hukum internasional, termasuk Konvensi Jenewa yang mengatur perlindungan terhadap wilayah yang diduduki.
Terlepas dari kenyataan ini, Israel tetap mendapat dukungan politik dan militer dari beberapa negara besar, seperti Amerika Serikat, yang lebih mengutamakan kepentingan politik strategis daripada mempertimbangkan hukum internasional yang mendasari hak-hak bangsa Palestina.
Israel juga sering dikritik oleh berbagai organisasi hak asasi manusia internasional, seperti Amnesty International dan Human Rights Watch, karena pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan terhadap warga Palestina.
Pelanggaran ini meliputi pembatasan kebebasan bergerak, penghancuran rumah-rumah, dan penggunaan kekuatan militer secara berlebihan terhadap warga sipil.
Tindakan ini, yang dianggap oleh banyak pihak sebagai kejahatan perang, semakin meragukan klaim Israel sebagai negara yang sah di mata dunia internasional.
Selain Palestina, Suriah dan Lebanon juga mempertanyakaan status Negara Israel bahkan sebelum terbentuk. Zionisme, gerakan untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina, telah ditentang sejak kemunculannya di Eropa pada abad ke-19.
Kritik terhadap status Negara Israel mencakup penentangan terhadap hak negara itu untuk berdiri atau, sejak Perang Arab-Israel 1967, dan struktur kekuasaan di wilayah yang diduduki.
Kritik semakin gencar ketika rezim Zionis Israel dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang—seperti apartheid, kelaparan dan genosida—oleh para sarjana, ahli hukum, dan organisasi hak asasi manusia.
Namun, Israel menganggap kritik-kritik tersebut sebagai upaya untuk mendelegitimasinya. Rezim itu tidak peduli meski melakukan pendudukan militer terlama dan salah satu yang paling mematikan di dunia.
Pada 11 Mei 1949, Israel diterima di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai negara anggota penuh. Israel juga memiliki hubungan bilateral dengan masing-masing anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Pada tahun 2022, 28 dari 193 negara anggota PBB tidak mengakui kedaulatan Israel; 25 dari 28 negara yang tidak mengakui berada di dunia Muslim, dengan Kuba, Korea Utara, dan Venezuela mewakili sisanya.
Sebagian besar pemerintah yang menentang Israel telah mengutip konflik Israel-Palestina yang sedang berlangsung dan pendudukan militer Israel yang sedang berlangsung di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza sebagai dasar sikap mereka.
5 Alasan Israel Tak Layak Disebut sebagai Negara
1. Status Tanah yang Dijadikan Negara Israel
Salah satu alasan utama Israel tidak layak disebut sebagai negara adalah karena berdiri dengan menduduki wilayah Palestina sejak 1967.
Israel mengambil kendali atas Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur selama Perang Enam Hari. Sejak saat itu, Israel telah membangun pemukiman-pemukiman di wilayah yang diduduki tersebut, yang melanggar hukum internasional.
Resolusi Dewan Keamanan PBB, khususnya Resolusi 242 dan 338, menyerukan kepada Israel untuk menarik diri dari wilayah yang diduduki, namun Israel terus mengabaikan kewajiban internasional ini.
Pendirian pemukiman di Tepi Barat, yang dianggap ilegal oleh hukum internasional, menunjukkan bahwa Israel tidak mematuhi prinsip-prinsip dasar yang mengatur pengakuan negara dan kedaulatan. Oleh karena itu, Israel tidak berhak disebut sebagai negara.
2. Kehilangan Legitimasi Berdasarkan Resolusi PBB
Meskipun Israel diakui oleh banyak negara di dunia, tidak sedikit pula negara dan organisasi internasional yang menganggap pendiriannya sebagai negara yang sah kontroversial.
Pada 1947, PBB mengusulkan pembagian wilayah Palestina menjadi negara Yahudi dan negara Arab melalui Resolusi 181, namun resolusi tersebut tidak mendapat dukungan dari mayoritas negara-negara Arab dan Palestina.
Konflik terus berlanjut setelah itu, dan hingga hari ini Palestina tidak mendapatkan pengakuan penuh sebagai negara merdeka meskipun telah mengeklaim wilayahnya sendiri.
Selain itu, status Yerusalem yang juga merupakan bagian dari wilayah yang dipertentangkan semakin memperburuk klaim Israel sebagai negara sah.
PBB dan sejumlah negara besar tidak mengakui penguasaan penuh Israel atas Yerusalem sebagai ibukota negara tersebut, yang menunjukkan bahwa legitimasi Israel sebagai negara sah masih dipertanyakan dalam banyak aspek internasional.
3. Melakukan Diskriminasi terhadap Warga Palestina dan Arab Israel
Sejak didirikan sebagai negara, Israel telah mengimplementasikan kebijakan yang menurut banyak kritikus berlandaskan diskriminasi terhadap warga Palestina, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri.
Diskriminasi ini terlihat jelas dalam undang-undang yang membatasi hak-hak warga Palestina yang tinggal di Israel, seperti dalam Undang-Undang Negara Bangsa Yahudi yang disahkan pada 2018.
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa hak penentuan nasib sendiri di Israel hanya berlaku untuk orang-orang Yahudi dan mengabaikan hak-hak warga Arab yang merupakan sekitar 20% dari populasi Israel.
Selain itu, pengungsi Palestina yang dipaksa meninggalkan rumah mereka selama konflik 1948 dan generasi penerus mereka, yang kini tersebar di negara-negara tetangga, masih belum mendapat hak kembali ke tanah kelahiran mereka.
Situasi ini memunculkan pertanyaan mengenai keadilan dalam konsep negara yang mengeklaim eksistensinya berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan dan hak asasi manusia.
4. Hukum Internasional dan Status Palestina
Dari sudut pandang hukum internasional, pengakuan Israel sebagai negara sah tidak mutlak.
Palestina, yang merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik ini, secara formal diakui oleh lebih dari 130 negara di seluruh dunia.
Pada tahun 2012, Majelis Umum PBB memberikan status "negara pengamat non-anggota" kepada Palestina, meskipun Palestina belum diakui sebagai anggota penuh PBB.
Namun, Israel telah mengabaikan hak-hak Palestina yang diatur oleh hukum internasional, termasuk Konvensi Jenewa yang mengatur perlindungan terhadap wilayah yang diduduki.
Terlepas dari kenyataan ini, Israel tetap mendapat dukungan politik dan militer dari beberapa negara besar, seperti Amerika Serikat, yang lebih mengutamakan kepentingan politik strategis daripada mempertimbangkan hukum internasional yang mendasari hak-hak bangsa Palestina.
5. Melakukan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Israel juga sering dikritik oleh berbagai organisasi hak asasi manusia internasional, seperti Amnesty International dan Human Rights Watch, karena pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan terhadap warga Palestina.
Pelanggaran ini meliputi pembatasan kebebasan bergerak, penghancuran rumah-rumah, dan penggunaan kekuatan militer secara berlebihan terhadap warga sipil.
Tindakan ini, yang dianggap oleh banyak pihak sebagai kejahatan perang, semakin meragukan klaim Israel sebagai negara yang sah di mata dunia internasional.
(mas)
Lihat Juga :