Pakar Sebut Tes Antibodi Lawan Covid-19 Tak Bisa Diandalkan
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Sejumlah pakar mengatakan, tes antibodi yang telah disebut-sebut sebagai solusi untuk mengakhiri penguncian dan membuat orang kembali bekerja, ternyata tidak dapat diandalkan. Tes antibodi seharusnya mengungkapkan apakah seseorang memiliki penyakit, dalam hal ini Covid-19.
Pemerintah di sejumlah negara, termasuk Jerman dan Swedia telah menyarankan bahwa menggunakan tes antibodi untuk menentukan apakah orang sudah terinfeksi Covid-19 dapat menjadi jalan untuk mengurangi penguncian dan kembali normal, berdasarkan pada asumsi bahwa orang yang sudah pernah terinfeksi akan memiliki kekebalan, yang memungkinkan mereka untuk meninggalkan rumah dan kembali bekerja.
Tetapi, para ahli di Amerika Serikat (AS) meningkatkan kekhawatiran tentang kualitas alat tes antibodi Covid-19 yang sekarang ada di pasaran. Ini memberikan potensi kelemahan utama dalam strategi tersebut.
Menurut penelitian baru yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan, dari 14 alat tes berbeda yang tersedia di pasaran, hanya tiga yang memberikan hasil yang dapat diandalkan secara konsisten, dengan sebagian besar dari mereka secara keliru menandakan antibodi pada orang yang tidak memilikinya.
Meskipun penelitian ini belum ditinjau oleh sejawat dan dapat direvisi, temuan ini meningkatkan kekhawatiran tentang perjalanan pandemi. Jika orang mengandalkan tes ini, mereka mungkin percaya diri bahwa mereka kebal terhadap virus, padahal mereka tidak kebal dan menempatkan diri mereka dalam bahaya.
Para peneliti yang dipimpin oleh Alexander Marson, seorang ahli imunologi di University of California dan Patrick Hsu, seorang bioengineer di University of California, menganalisis 10 alat tes cepat yang memberikan sinyal ya-tidak untuk antibodi dan dua tes menggunakan teknik laboratorium yang dikenal sebagai Elisa yang menunjukkan jumlah antibodi yang ada dan umumnya dianggap lebih dapat diandalkan.
Empat dari tes menghasilkan tingkat positif palsu, berkisar antara 11 hingga 16 persen, sementara banyak sisanya berkisar sekitar lima persen. Keempat tes dengan positif palsu paling sedikit dibuat oleh Sure Biotech, Wondfo Biotech dan dua tes Eliza.
Sebuah tes yang dibuat oleh Bioperfectus mendeteksi antibodi pada 100 persen sampel yang terinfeksi, tetapi hanya setelah tiga minggu infeksi. "Tidak ada tes yang lebih baik dari 80 persen sampai periode waktu itu, yang lebih lama dari yang diharapkan," kata Hsu, seperti dilansir Al Arabiya.
Namun, menurut Scott Hensley, seorang ahli mikrobiologi di University of Pennsylvania, data yang disajikan oleh para peneliti tersebut juga tidak menjanjikan
"Angka-angka itu hanya tidak dapat diterima. Nada tulisannya adalah, "lihat betapa bagusnya tes itu". Saya sudah melihat datanya dan saya tidak melihatnya. Jika kit Anda memiliki false-positif tiga persen, bagaimana Anda menafsirkannya? Itu pada dasarnya tidak mungkin. Jika kit Anda memiliki 14 persen false positive, itu tidak berguna," ujarnya.
Namun,Marson yang juga seorang peneliti di Chan Zuckerberg Biohub, yang sebagian membiayai penelitian ini, merasa ada beberapa alasan untuk optimisme. "Ada beberapa tes yang terlihat masuk akal dan menjanjikan," katanya.
Pemerintah di sejumlah negara, termasuk Jerman dan Swedia telah menyarankan bahwa menggunakan tes antibodi untuk menentukan apakah orang sudah terinfeksi Covid-19 dapat menjadi jalan untuk mengurangi penguncian dan kembali normal, berdasarkan pada asumsi bahwa orang yang sudah pernah terinfeksi akan memiliki kekebalan, yang memungkinkan mereka untuk meninggalkan rumah dan kembali bekerja.
Tetapi, para ahli di Amerika Serikat (AS) meningkatkan kekhawatiran tentang kualitas alat tes antibodi Covid-19 yang sekarang ada di pasaran. Ini memberikan potensi kelemahan utama dalam strategi tersebut.
Menurut penelitian baru yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan, dari 14 alat tes berbeda yang tersedia di pasaran, hanya tiga yang memberikan hasil yang dapat diandalkan secara konsisten, dengan sebagian besar dari mereka secara keliru menandakan antibodi pada orang yang tidak memilikinya.
Meskipun penelitian ini belum ditinjau oleh sejawat dan dapat direvisi, temuan ini meningkatkan kekhawatiran tentang perjalanan pandemi. Jika orang mengandalkan tes ini, mereka mungkin percaya diri bahwa mereka kebal terhadap virus, padahal mereka tidak kebal dan menempatkan diri mereka dalam bahaya.
Para peneliti yang dipimpin oleh Alexander Marson, seorang ahli imunologi di University of California dan Patrick Hsu, seorang bioengineer di University of California, menganalisis 10 alat tes cepat yang memberikan sinyal ya-tidak untuk antibodi dan dua tes menggunakan teknik laboratorium yang dikenal sebagai Elisa yang menunjukkan jumlah antibodi yang ada dan umumnya dianggap lebih dapat diandalkan.
Empat dari tes menghasilkan tingkat positif palsu, berkisar antara 11 hingga 16 persen, sementara banyak sisanya berkisar sekitar lima persen. Keempat tes dengan positif palsu paling sedikit dibuat oleh Sure Biotech, Wondfo Biotech dan dua tes Eliza.
Sebuah tes yang dibuat oleh Bioperfectus mendeteksi antibodi pada 100 persen sampel yang terinfeksi, tetapi hanya setelah tiga minggu infeksi. "Tidak ada tes yang lebih baik dari 80 persen sampai periode waktu itu, yang lebih lama dari yang diharapkan," kata Hsu, seperti dilansir Al Arabiya.
Namun, menurut Scott Hensley, seorang ahli mikrobiologi di University of Pennsylvania, data yang disajikan oleh para peneliti tersebut juga tidak menjanjikan
"Angka-angka itu hanya tidak dapat diterima. Nada tulisannya adalah, "lihat betapa bagusnya tes itu". Saya sudah melihat datanya dan saya tidak melihatnya. Jika kit Anda memiliki false-positif tiga persen, bagaimana Anda menafsirkannya? Itu pada dasarnya tidak mungkin. Jika kit Anda memiliki 14 persen false positive, itu tidak berguna," ujarnya.
Namun,Marson yang juga seorang peneliti di Chan Zuckerberg Biohub, yang sebagian membiayai penelitian ini, merasa ada beberapa alasan untuk optimisme. "Ada beberapa tes yang terlihat masuk akal dan menjanjikan," katanya.
(esn)