Mengejutkan! 3.000 Warga Israel Desak Dunia Jatuhkan Sanksi pada Israel, Ini Alasannya
loading...
A
A
A
TEL AVIV - Lebih dari 3.000 warga Israel menandatangani petisi yang mendesak masyarakat internasional untuk menjatuhkan sanksi terhadap Negara Israel.
Ini mengejutkan, di mana ribuan warga negara Yahudi menentang negara mereka sendiri.
Menurut mereka, sanksi diperlukan untuk menekan rezim Zionis Israelguna mengakhiri pertumpahan darah di Jalur Gaza, Palestina.
Dalam surat terbuka yang diterbitkan di The Guardian, para penandatangan petisi menyerukan komunitas masyarakat internasional untuk segera campur tangan dan "menyelamatkan kami dari diri kami sendiri" dengan memaksakan gencatan senjata.
Petisi tersebut diterbitkan dalam wujud surat terbuka di The Guardian pada pekan lalu, sebelum surat kabar Prancis; Liberation, merilis surat terbuka yang sama dalam bahasa Prancis.
Para penandatangan menyerukan masyarakat internasional untuk menyelamatkan warga Israel dan Arab dari "jalan bunuh diri" yang ditempuh rezim Zionis Israel, dengan menggunakan "tekanan nyata terhadap Israel" untuk segera melakukan gencatan senjata.
"Demi masa depan kedua bangsa di Israel dan Palestina serta rakyat di wilayah tersebut dan hak mereka atas keamanan dan kehidupan," lanjut petisi tersebut, seperti dikutip dari The New Arab, Kamis (31/10/2024).
Langkah tersebut telah memicu kemarahan di Israel, dengan hasutan yang ditujukan kepada para penandatangan petisi dan beberapa anggota Knesset yang berusaha meloloskan undang-undang terhadap mereka.
"Pemerintah Israel telah menelan warganya yang menjadi sandera (dan telah membunuh beberapa orang), telah mengabaikan penduduk di selatan dan utara Israel, dan telah mengabaikan nasib dan masa depan semua warganya," imbuh petisi tersebut.
Petisi mereka juga merujuk pada penganiayaan dan pembungkaman warga Palestina di Israel dan menunjukkan bahwa "intimidasi" ini mencegah banyak orang yang memiliki pandangan yang sama untuk menandatangani petisi berwuju surat terbuka tersebut.
Para penandatangan percaya bahwa "kurangnya tekanan internasional yang sebenarnya, kelanjutan pasokan senjata ke Israel, kemitraan ekonomi dan keamanan, serta kolaborasi ilmiah dan budaya, membuat sebagian besar orang Israel percaya bahwa kebijakan Israel mendapat dukungan internasional."
Mereka juga mengkritik pernyataan berulang dari para pemimpin sejumlah negara tentang "kengerian yang mereka rasakan" yang tidak didukung oleh tindakan praktis.
Petisi tersebut, yang diterjemahkan ke dalam sepuluh bahasa, ditandatangani oleh 1.000 orang Israel yang tinggal di luar Israel, dan sekitar 2.000 orang di dalam, termasuk ratusan akademisi, penulis, seniman, dan jurnalis Israel.
Beberapa keluarga sandera Israel juga menandatangani petisi, seperti yang dilakukan oleh anggota Parlemen Ofer Cassif dan mantan anggota Parlemen Tamar Gozansky, selain 11 rabi.
Aktivis anti-pendudukan veteran Israel-Prancis Yael Lerer, yang memprakarsai petisi tersebut, mengatakan kepada surat kabar berbahasa Arab milik The New Arab, Al-Araby Al-Jadeed: "Selama sepuluh tahun saya yakin bahwa perubahan tidak dapat datang dari dalam Israel. Satu-satunya kemungkinan terjadinya perubahan adalah perubahan dari luar, dan tanpa tekanan internasional, tidak akan terjadi apa-apa."
Dia mengatakan Israel berada di "jalur bunuh diri", yang tidak hanya akan memengaruhi Israel tetapi juga menyeret Palestina, Arab, dan negara-negara regional lainnya. "Dan inilah yang kita lihat dengan genosida di Gaza dan dengan apa yang terjadi di Lebanon," katanya.
Lerer, seorang aktivis lama dalam kampanye Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) terhadap Israel, menambahkan: "Tanpa sanksi dan tekanan Barat–dan juga Arab-, Israel akan melanjutkan proses ini."
Mengenai potensi petisi untuk memengaruhi negara-negara Barat, Lerer mengatakan: "Petisi ini masih dalam tahap awal dan sekelompok penandatangan telah mulai bekerja untuk mengorganisasikan pertemuan di Parlemen dan dengan menteri di berbagai negara, dengan tujuan untuk memberikan tekanan agar gencatan senjata dilakukan".
Setelah laporan tentang petisi yang disiarkan oleh Channel 14 Israel, yang dikenal karena keberpihakannya pada kubu sayap kanan, Ofir Katz, seorang anggota Knesset (Parlemen) dari Partai Likud, menyatakan bahwa dia bermaksud untuk memperkuat rancangan undang-undang RUU yang berjudul "Menghapus Terorisme dari Dunia Akademis".
RUU tersebut, yang saat ini sedang dipersiapkan untuk pembacaan pertamanya, akan membuat dosen akademis yang "menyatakan simpati dan dukungan terhadap terorisme" dipecat tanpa pesangon.
RUU tersebut diperkenalkan setelah kasus profesor Palestina Nadera Shalhoub-Kevorkian, yang menandatangani petisi November lalu yang menggambarkan tindakan Israel sebagai genosida. Dia kemudian diskors oleh Universitas Ibrani Yerusalem, yang kemudian menarik kembali keputusannya.
Katz bermaksud memperluas alasan pemecatan untuk mencakup "mereka yang menyerukan boikot di masa perang".
Menurut Channel 14, Katz mengatakan bahwa "petisi semacam itu di masa perang, yang secara de facto menyerukan embargo senjata dan boikot ekonomi terhadap Israel, merupakan pukulan fatal bagi Israel dan semakin mendelegitimasi negara tersebut."
Dia menambahkan bahwa dirinya tidak bermaksud membiarkan tindakan iniUndang-undang itu disahkan tanpa suara, dan pembicaraan tersebut telah dimulai dengan pejabat hukum di komite untuk mulai mengerjakan versi hukum yang diperbarui.
Dalam konteks terkait, Elchanan Felhimer, kepala Serikat Mahasiswa Nasional Israel (NUIS), mendesak mahasiswa untuk melaporkan akademisi yang "menyerukan delegitimasi Israel".
"Saya mendesak presiden universitas dan perguruan tinggi untuk mengeluarkan panduan yang jelas kepada dosen di lembaga mereka hari ini. Serikat mahasiswa akan membentuk komite khusus yang didedikasikan untuk masalah ini, dan saya mendorong setiap mahasiswa yang menghadiri acara di mana dosen menghasut menentang Israel untuk menghubungi kami. Bersama-sama, kita akan bekerja untuk memberantas fenomena memalukan ini," kata Felhimer.
Ini mengejutkan, di mana ribuan warga negara Yahudi menentang negara mereka sendiri.
Menurut mereka, sanksi diperlukan untuk menekan rezim Zionis Israelguna mengakhiri pertumpahan darah di Jalur Gaza, Palestina.
Dalam surat terbuka yang diterbitkan di The Guardian, para penandatangan petisi menyerukan komunitas masyarakat internasional untuk segera campur tangan dan "menyelamatkan kami dari diri kami sendiri" dengan memaksakan gencatan senjata.
Petisi tersebut diterbitkan dalam wujud surat terbuka di The Guardian pada pekan lalu, sebelum surat kabar Prancis; Liberation, merilis surat terbuka yang sama dalam bahasa Prancis.
Para penandatangan menyerukan masyarakat internasional untuk menyelamatkan warga Israel dan Arab dari "jalan bunuh diri" yang ditempuh rezim Zionis Israel, dengan menggunakan "tekanan nyata terhadap Israel" untuk segera melakukan gencatan senjata.
"Demi masa depan kedua bangsa di Israel dan Palestina serta rakyat di wilayah tersebut dan hak mereka atas keamanan dan kehidupan," lanjut petisi tersebut, seperti dikutip dari The New Arab, Kamis (31/10/2024).
Langkah tersebut telah memicu kemarahan di Israel, dengan hasutan yang ditujukan kepada para penandatangan petisi dan beberapa anggota Knesset yang berusaha meloloskan undang-undang terhadap mereka.
"Pemerintah Israel telah menelan warganya yang menjadi sandera (dan telah membunuh beberapa orang), telah mengabaikan penduduk di selatan dan utara Israel, dan telah mengabaikan nasib dan masa depan semua warganya," imbuh petisi tersebut.
Petisi mereka juga merujuk pada penganiayaan dan pembungkaman warga Palestina di Israel dan menunjukkan bahwa "intimidasi" ini mencegah banyak orang yang memiliki pandangan yang sama untuk menandatangani petisi berwuju surat terbuka tersebut.
Para penandatangan percaya bahwa "kurangnya tekanan internasional yang sebenarnya, kelanjutan pasokan senjata ke Israel, kemitraan ekonomi dan keamanan, serta kolaborasi ilmiah dan budaya, membuat sebagian besar orang Israel percaya bahwa kebijakan Israel mendapat dukungan internasional."
Mereka juga mengkritik pernyataan berulang dari para pemimpin sejumlah negara tentang "kengerian yang mereka rasakan" yang tidak didukung oleh tindakan praktis.
Petisi tersebut, yang diterjemahkan ke dalam sepuluh bahasa, ditandatangani oleh 1.000 orang Israel yang tinggal di luar Israel, dan sekitar 2.000 orang di dalam, termasuk ratusan akademisi, penulis, seniman, dan jurnalis Israel.
Beberapa keluarga sandera Israel juga menandatangani petisi, seperti yang dilakukan oleh anggota Parlemen Ofer Cassif dan mantan anggota Parlemen Tamar Gozansky, selain 11 rabi.
Aktivis anti-pendudukan veteran Israel-Prancis Yael Lerer, yang memprakarsai petisi tersebut, mengatakan kepada surat kabar berbahasa Arab milik The New Arab, Al-Araby Al-Jadeed: "Selama sepuluh tahun saya yakin bahwa perubahan tidak dapat datang dari dalam Israel. Satu-satunya kemungkinan terjadinya perubahan adalah perubahan dari luar, dan tanpa tekanan internasional, tidak akan terjadi apa-apa."
Dia mengatakan Israel berada di "jalur bunuh diri", yang tidak hanya akan memengaruhi Israel tetapi juga menyeret Palestina, Arab, dan negara-negara regional lainnya. "Dan inilah yang kita lihat dengan genosida di Gaza dan dengan apa yang terjadi di Lebanon," katanya.
Lerer, seorang aktivis lama dalam kampanye Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) terhadap Israel, menambahkan: "Tanpa sanksi dan tekanan Barat–dan juga Arab-, Israel akan melanjutkan proses ini."
Mengenai potensi petisi untuk memengaruhi negara-negara Barat, Lerer mengatakan: "Petisi ini masih dalam tahap awal dan sekelompok penandatangan telah mulai bekerja untuk mengorganisasikan pertemuan di Parlemen dan dengan menteri di berbagai negara, dengan tujuan untuk memberikan tekanan agar gencatan senjata dilakukan".
Kemarahan di Knesset
Setelah laporan tentang petisi yang disiarkan oleh Channel 14 Israel, yang dikenal karena keberpihakannya pada kubu sayap kanan, Ofir Katz, seorang anggota Knesset (Parlemen) dari Partai Likud, menyatakan bahwa dia bermaksud untuk memperkuat rancangan undang-undang RUU yang berjudul "Menghapus Terorisme dari Dunia Akademis".
RUU tersebut, yang saat ini sedang dipersiapkan untuk pembacaan pertamanya, akan membuat dosen akademis yang "menyatakan simpati dan dukungan terhadap terorisme" dipecat tanpa pesangon.
RUU tersebut diperkenalkan setelah kasus profesor Palestina Nadera Shalhoub-Kevorkian, yang menandatangani petisi November lalu yang menggambarkan tindakan Israel sebagai genosida. Dia kemudian diskors oleh Universitas Ibrani Yerusalem, yang kemudian menarik kembali keputusannya.
Katz bermaksud memperluas alasan pemecatan untuk mencakup "mereka yang menyerukan boikot di masa perang".
Menurut Channel 14, Katz mengatakan bahwa "petisi semacam itu di masa perang, yang secara de facto menyerukan embargo senjata dan boikot ekonomi terhadap Israel, merupakan pukulan fatal bagi Israel dan semakin mendelegitimasi negara tersebut."
Dia menambahkan bahwa dirinya tidak bermaksud membiarkan tindakan iniUndang-undang itu disahkan tanpa suara, dan pembicaraan tersebut telah dimulai dengan pejabat hukum di komite untuk mulai mengerjakan versi hukum yang diperbarui.
Dalam konteks terkait, Elchanan Felhimer, kepala Serikat Mahasiswa Nasional Israel (NUIS), mendesak mahasiswa untuk melaporkan akademisi yang "menyerukan delegitimasi Israel".
"Saya mendesak presiden universitas dan perguruan tinggi untuk mengeluarkan panduan yang jelas kepada dosen di lembaga mereka hari ini. Serikat mahasiswa akan membentuk komite khusus yang didedikasikan untuk masalah ini, dan saya mendorong setiap mahasiswa yang menghadiri acara di mana dosen menghasut menentang Israel untuk menghubungi kami. Bersama-sama, kita akan bekerja untuk memberantas fenomena memalukan ini," kata Felhimer.
(mas)