Demo Anti-Pemerintah Mencekam di Irak, 21 Orang Tewas
A
A
A
BAGHDAD - Setidaknya 21 orang telah tewas dalam demo anti-pemerintah di Irak pada hari Jumat. Protes ribuan orang di Baghdad dan kota lain mencekam setelah polisi menembakkan peluru karet dan tabung gas air mata untuk membubarkan massa.
Protes besar-besaran ini muncul lagi setelah tiga minggu reda. Tak hanya di Baghdad, demo yang sama juga pecah di wilayah selatan Irak.
Para pengunjuk rasa menyerukan perbaikan sistem politik negara dan mengakhiri korupsi di tengah meningkatnya kemarahan publik atas pengangguran yang tinggi dan layanan publik yang buruk.
Observatorium Irak untuk Hak Asasi Manusia mencatat jumlah korban tewas hingga Sabtu (26/10/2019) dini hari mencapai 21 orang, termasuk delapan orang di Baghdad. Sebanyak 13 korban tewas lainnya ditemukan di provinsi Maysan selatan, Dhi Qar dan Muthanna.
Direktur Observatorium, Mustafa Saadoon, mengatakan lebih dari 1.700 pengunjuk rasa terluka. Komisi Hak Asasi Manusia Irak juga mengatakan 21 orang telah tewas selama demonstrasi.
Kementerian Dalam Negeri Irak sebelumnya mengatakan jumlah korban tewas empat orang, dengan rincian dua orang di Baghdad dan dua orang lainnya di kota Amarah selatan.
Pasukan keamanan telah dikerahkan di jalan-jalan Baghdad pada Kamis malam untuk mengantisipasi aksi unjuk rasa lanjutan. Demo yang dipicu masalah ekonomi ini dimulai awal Oktober lalu. Demo yang semula berjalan damai berubah menjadi kekerasan mematikan ketika pasukan keamanan bertindak keras.
Demonstran telah meminta pemerintah untuk mengatasi pengangguran yang tinggi, layanan publik yang buruk dan korupsi. Massa menyalahkan para pemimpin politik yang mereka anggap melakukan penipuan dan sibuk bertikai di antara politisi.
"Kami ingin pemerintah mundur dan agar sistem politik sepenuhnya diubah," kata seorang pemrotes berusia 20 tahun di Baghdad Tahrir Square kepada Al Jazeera, yang meminta ditulis anonim.
"Seluruh elite politik perlu berubah karena sistem saat ini tidak melakukan apa-apa bagi kami," ujarnya.
Seorang pengacara berusia 28 tahun mengatakan kepada Al Jazeera bahwa perubahan harus dimulai dengan konstitusi baru.
"Kami menginginkan konstitusi baru. Tanpa itu tidak ada yang bisa berubah. Konstitusi itulah yang telah menciptakan krisis sektarian yang telah kami jalani selama bertahun-tahun," kata pengacara itu, yang juga meminta ditulis anonim.
Banyak warga Irak menyalahkan konstitusi saat ini, yang dirancang dan disetujui pada 2005 atau dua tahun setelah invasi pimpinan AS. Konstitusi itu dinilai sarat dengan nuansa sektarian dalam sistem politik Irak.
Sementara itu ulama Syiah Irak, Ayatollah Ali al-Sistani, meminta pengunjuk rasa dan pasukan keamanan untuk menjaga demonstrasi anti-pemerintah tetap damai.
"Reformasi nyata dan perubahan di negara itu harus melalui metode damai," katanya dalam khotbah Jumat di kota suci Karbala.
Al-Sistani, yang jarang membebani politik kecuali pada saat krisis, mengatakan pasukan keamanan tidak boleh membiarkan serangan terhadap properti publik dan pribadi.
Di Nasiriyah, setidaknya 3.000 pengunjuk rasa menyerbu gedung pemerintah provinsi dan membakarnya. Amuk massa itu telah dikonfirmasi sumber polisi kepada Reuters.
Protes besar-besaran ini muncul lagi setelah tiga minggu reda. Tak hanya di Baghdad, demo yang sama juga pecah di wilayah selatan Irak.
Para pengunjuk rasa menyerukan perbaikan sistem politik negara dan mengakhiri korupsi di tengah meningkatnya kemarahan publik atas pengangguran yang tinggi dan layanan publik yang buruk.
Observatorium Irak untuk Hak Asasi Manusia mencatat jumlah korban tewas hingga Sabtu (26/10/2019) dini hari mencapai 21 orang, termasuk delapan orang di Baghdad. Sebanyak 13 korban tewas lainnya ditemukan di provinsi Maysan selatan, Dhi Qar dan Muthanna.
Direktur Observatorium, Mustafa Saadoon, mengatakan lebih dari 1.700 pengunjuk rasa terluka. Komisi Hak Asasi Manusia Irak juga mengatakan 21 orang telah tewas selama demonstrasi.
Kementerian Dalam Negeri Irak sebelumnya mengatakan jumlah korban tewas empat orang, dengan rincian dua orang di Baghdad dan dua orang lainnya di kota Amarah selatan.
Pasukan keamanan telah dikerahkan di jalan-jalan Baghdad pada Kamis malam untuk mengantisipasi aksi unjuk rasa lanjutan. Demo yang dipicu masalah ekonomi ini dimulai awal Oktober lalu. Demo yang semula berjalan damai berubah menjadi kekerasan mematikan ketika pasukan keamanan bertindak keras.
Demonstran telah meminta pemerintah untuk mengatasi pengangguran yang tinggi, layanan publik yang buruk dan korupsi. Massa menyalahkan para pemimpin politik yang mereka anggap melakukan penipuan dan sibuk bertikai di antara politisi.
"Kami ingin pemerintah mundur dan agar sistem politik sepenuhnya diubah," kata seorang pemrotes berusia 20 tahun di Baghdad Tahrir Square kepada Al Jazeera, yang meminta ditulis anonim.
"Seluruh elite politik perlu berubah karena sistem saat ini tidak melakukan apa-apa bagi kami," ujarnya.
Seorang pengacara berusia 28 tahun mengatakan kepada Al Jazeera bahwa perubahan harus dimulai dengan konstitusi baru.
"Kami menginginkan konstitusi baru. Tanpa itu tidak ada yang bisa berubah. Konstitusi itulah yang telah menciptakan krisis sektarian yang telah kami jalani selama bertahun-tahun," kata pengacara itu, yang juga meminta ditulis anonim.
Banyak warga Irak menyalahkan konstitusi saat ini, yang dirancang dan disetujui pada 2005 atau dua tahun setelah invasi pimpinan AS. Konstitusi itu dinilai sarat dengan nuansa sektarian dalam sistem politik Irak.
Sementara itu ulama Syiah Irak, Ayatollah Ali al-Sistani, meminta pengunjuk rasa dan pasukan keamanan untuk menjaga demonstrasi anti-pemerintah tetap damai.
"Reformasi nyata dan perubahan di negara itu harus melalui metode damai," katanya dalam khotbah Jumat di kota suci Karbala.
Al-Sistani, yang jarang membebani politik kecuali pada saat krisis, mengatakan pasukan keamanan tidak boleh membiarkan serangan terhadap properti publik dan pribadi.
Di Nasiriyah, setidaknya 3.000 pengunjuk rasa menyerbu gedung pemerintah provinsi dan membakarnya. Amuk massa itu telah dikonfirmasi sumber polisi kepada Reuters.
(mas)