Tak Punya Sisir dan Sampo, Anak-anak Perempuan di Gaza Memotong Rambutnya

Rabu, 14 Agustus 2024 - 13:45 WIB
loading...
Tak Punya Sisir dan...
Gadis Palestina menangis setelah serangan udara Israel menghantam bangunan perumahan di Rafah, Jalur Gaza Selatan pada 26 Februari 2024. Foto/Abed Zagout/Anadolu Agency
A A A
GAZA - Ketika anak-anak perempuan di Gaza mengeluh kepada dokter anak Lobna Al-Azaiza bahwa mereka tidak punya sisir, dia menyuruh mereka memotong rambut mereka.

Bukan hanya sisir. Blokade Israel terhadap Gaza yang porak-poranda akibat genosida Israel selama sepuluh bulan, menyebabkan hanya ada sedikit atau tidak ada sampo, sabun, produk perawatan menstruasi, atau bahan pembersih rumah tangga.

Pengumpulan sampah dan pengolahan limbah juga telah gagal, dan mudah melihat mengapa penyakit menular meluas karena kepadatan penduduk dan kurangnya kebersihan, seperti kudis atau infeksi jamur, meningkat.

“Pada masa lalu, penyakit yang paling umum kita lihat adalah ruam kulit, penyakit kulit, yang memiliki banyak penyebab, termasuk kepadatan penduduk di kamp, peningkatan suhu di dalam tenda, keringat pada anak-anak, dan kurangnya air untuk mandi,” ungkap dokter tersebut.

Al-Azaiza dulu bekerja di Rumah Sakit Kamal Adwan di Beit Lahia hingga tank-tank Israel memisahkan wilayah utara dari wilayah selatan yang dikepung.

Seperti kebanyakan petugas medis di Gaza, dia telah beradaptasi dan terus merawat pasien, berjalan kaki ke tempat kerja melewati rumahnya sendiri yang hancur akibat serangan rezim penjajah Israel.

Klinik tenda yang dia dirikan dengan tim kecil awalnya merawat anak-anak, tetapi kemudian menjadi praktik bagi seluruh keluarga, yang sebagian besar juga telah dipaksa mengungsi atau dibom keluar dari rumah mereka, seperti sebagian besar dari 2,3 juta penduduk Gaza.

Bahkan obat-obatan yang tersedia sering kali tidak terjangkau. Sebotol salep luka bakar sederhana sekarang harganya 200 shekel (USD53 atau Rp831.000).

Pengiriman bantuan internasional telah berkurang drastis sejak Israel menguasai perbatasan Rafah pada awal Mei, yang memperburuk krisis kemanusiaan.

Al-Azaiza tidak ragu lagi di mana solusi segera berada. “Penyeberangan perbatasan harus dibuka sehingga kami dapat membawa masuk obat-obatan, karena sebagian besar obat-obatan yang ada saat ini tidak efektif: tidak ada efek, tidak ada efek pada penyakit kulit yang kami lihat,” papar dia.

(sya)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1649 seconds (0.1#10.140)