Khawatir Digempur, Israel Pertimbangkan Serang Iran Duluan
loading...
A
A
A
TEL AVIV - Israel sedang mempertimbangkan serangan preemptive terhadap musuh bebuyutannya, Iran.
Pertimbangan ini muncul di tengah kekhawatiran bahwa Teheran akan meluncurkan serangan sebagai pembalasan atas pembunuhan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh di Teheran pada Rabu pekan lalu.
Iran dan Hamas menuduh Israel sebagai pelaku serangan yang menewaskan Haniyeh. Namun, rezim Zionis belum mengaku maupun menyangkal bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.
Mengutip laporan Times of Israel, Senin (5/8/2024), para pejabat tinggi pemerintah dan keamanan di Israel tengah mendiskusikan berbagai opsi sebagai respons atas ketidakpastian seputar Iran dan proksi-proksinya.
Selama pertemuan yang dipimpin oleh Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu, kemungkinan serangan preemptive (pendahuluan) terhadap Iran dianggap sebagai tindakan pencegahan.
Namun, para pejabat keamanan Israel menekankan bahwa tindakan tersebut hanya akan diizinkan jika negara Yahudi itu menerima informasi intelijen definitif yang menunjukkan bahwa Iran akan melancarkan serangan.
Baik Israel maupun Amerika Serikat (AS) dilaporkan tidak yakin tentang apa yang mungkin terjadi jika Iran menyerang, karena Teheran belum menyelesaikan rencananya atau berkoordinasi sepenuhnya dengan kelompok proksinya.
Pemerintah Israel perlu menyelaraskan informasi intelijennya dengan informasi intelijen Amerika Serikat sebelum melanjutkan tindakan militer apa pun, menurut laporan Times of Israel.
“Iran dan antek-anteknya ingin mengepung kami dalam cengkeraman terorisme. Kami bertekad untuk melawan mereka di setiap lini dan di setiap arena—dekat dan jauh. Siapa pun yang berusaha menyakiti kami akan membayar harga yang sangat mahal,” kata PM Netanyahu dalam sebuah posting di X pada hari Minggu.
Pada awal April, Iran melancarkan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dari wilayahnya sendiri, dan Israel terkejut.
Namun, para pejabat Zionis yakin Israel lebih siap sekarang, dengan kemampuan untuk menilai apakah serangan yang akan datang akan mencerminkan skala serangan sebelumnya, di mana sekitar 99% rudal dan pesawat nirawak Iran berhasil dicegat.
Meskipun ada kemungkinan serangan yang lebih besar, penilaian Israel menunjukkan bahwa negara itu dapat menahan serangan semacam itu dan membangun pertahanan yang efektif dengan bantuan sekutunya.
Ketika ketegangan meningkat, baik Washington maupun mitra regionalnya telah mendesak Israel dan Iran untuk meredakan situasi guna mencegah konflik regional yang lebih luas.
Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi telah mengunjungi Iran untuk menekankan perlunya dialog guna mengatasi ketegangan yang meningkat.
Safadi menyatakan komitmen Yordania terhadap perjuangan Palestina dan mengutuk tindakan Israel yang menghambat upaya perdamaian.
Dia menyerukan diakhirinya perang yang sedang berlangsung di Gaza untuk melindungi wilayah tersebut dari konsekuensi yang menghancurkan akibat konflik yang lebih luas.
Wilayah tersebut telah dilanda kekacauan sejak 7 Oktober, ketika Hamas melancarkan serangan lintas batas terhadap Israel, yang mengakibatkan kematian sekitar 1.200 orang dan menyandera 251 orang.
Israel kemudian membombardir Jalur Gaza dengan mengklaim menargetkan kemampuan militer Hamas. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa lebih dari 39.000 orang di Gaza telah terbunuh.
Pertimbangan ini muncul di tengah kekhawatiran bahwa Teheran akan meluncurkan serangan sebagai pembalasan atas pembunuhan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh di Teheran pada Rabu pekan lalu.
Iran dan Hamas menuduh Israel sebagai pelaku serangan yang menewaskan Haniyeh. Namun, rezim Zionis belum mengaku maupun menyangkal bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.
Mengutip laporan Times of Israel, Senin (5/8/2024), para pejabat tinggi pemerintah dan keamanan di Israel tengah mendiskusikan berbagai opsi sebagai respons atas ketidakpastian seputar Iran dan proksi-proksinya.
Selama pertemuan yang dipimpin oleh Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu, kemungkinan serangan preemptive (pendahuluan) terhadap Iran dianggap sebagai tindakan pencegahan.
Namun, para pejabat keamanan Israel menekankan bahwa tindakan tersebut hanya akan diizinkan jika negara Yahudi itu menerima informasi intelijen definitif yang menunjukkan bahwa Iran akan melancarkan serangan.
Baik Israel maupun Amerika Serikat (AS) dilaporkan tidak yakin tentang apa yang mungkin terjadi jika Iran menyerang, karena Teheran belum menyelesaikan rencananya atau berkoordinasi sepenuhnya dengan kelompok proksinya.
Pemerintah Israel perlu menyelaraskan informasi intelijennya dengan informasi intelijen Amerika Serikat sebelum melanjutkan tindakan militer apa pun, menurut laporan Times of Israel.
“Iran dan antek-anteknya ingin mengepung kami dalam cengkeraman terorisme. Kami bertekad untuk melawan mereka di setiap lini dan di setiap arena—dekat dan jauh. Siapa pun yang berusaha menyakiti kami akan membayar harga yang sangat mahal,” kata PM Netanyahu dalam sebuah posting di X pada hari Minggu.
Pada awal April, Iran melancarkan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dari wilayahnya sendiri, dan Israel terkejut.
Namun, para pejabat Zionis yakin Israel lebih siap sekarang, dengan kemampuan untuk menilai apakah serangan yang akan datang akan mencerminkan skala serangan sebelumnya, di mana sekitar 99% rudal dan pesawat nirawak Iran berhasil dicegat.
Meskipun ada kemungkinan serangan yang lebih besar, penilaian Israel menunjukkan bahwa negara itu dapat menahan serangan semacam itu dan membangun pertahanan yang efektif dengan bantuan sekutunya.
Ketika ketegangan meningkat, baik Washington maupun mitra regionalnya telah mendesak Israel dan Iran untuk meredakan situasi guna mencegah konflik regional yang lebih luas.
Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi telah mengunjungi Iran untuk menekankan perlunya dialog guna mengatasi ketegangan yang meningkat.
Safadi menyatakan komitmen Yordania terhadap perjuangan Palestina dan mengutuk tindakan Israel yang menghambat upaya perdamaian.
Dia menyerukan diakhirinya perang yang sedang berlangsung di Gaza untuk melindungi wilayah tersebut dari konsekuensi yang menghancurkan akibat konflik yang lebih luas.
Wilayah tersebut telah dilanda kekacauan sejak 7 Oktober, ketika Hamas melancarkan serangan lintas batas terhadap Israel, yang mengakibatkan kematian sekitar 1.200 orang dan menyandera 251 orang.
Israel kemudian membombardir Jalur Gaza dengan mengklaim menargetkan kemampuan militer Hamas. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa lebih dari 39.000 orang di Gaza telah terbunuh.
(mas)