Suasana Israel Mencekam, Warga Ketakutan Tunggu Serangan Iran dan Hizbullah
loading...
A
A
A
TEL AVIV - Serangan Israel yang membunuh Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh di Iran dan Komandan Hizbullah Fuad Shukr di Beirut, Lebanon, tidak membuat negara Zionis itu jadi lebih aman.
Warga Israel justru merasakan suasana mencekam dan ketakutan karena serangan balasan dari Iran dan Hizbullah bisa datang kapan saja.
Rekaman video dari Middle East Eye yang diambil di jalanan Tel Aviv, Israel, menunjukkan suasana hati publik yang terbagi.
Seorang wanita mengatakan dia "tidak merasa aman" dan membatalkan rencananya pada Rabu pagi setelah pembunuhan Haniyeh.
Wanita lain mengatakan kepada media bahwa orang-orang "senang" dengan pembunuhan itu tetapi sadar itu dapat menyebabkan perang yang lebih besar.
"Orang-orang tegang, tentu saja," ujar Ori Goldberg, pakar politik Israel yang berbasis di Tel Aviv.
"Orang-orang di jalan lebih sedikit, ada rasa cemas secara umum, tetapi tidak histeris seperti pada bulan Oktober ketika orang-orang yakin bahwa Hizbullah akan menyerbu dari utara," papar dia.
Dia menggambarkan hari-hari setelah serangan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober di Israel selatan. Itu adalah ketakutan yang tidak terjadi.
Di sisi lain, pembunuhan tokoh Hamas dan Hizbullah tersebut telah memulihkan sebagian tingkat kepercayaan publik terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan militer setelah serangan 7 Oktober, yang secara luas dilihat oleh para ahli dan rakyat Israel sebagai kegagalan intelijen, menurut juru survei Israel dan mantan asisten Netanyahu, Mitchell Barak.
Namun, Barak menambahkan, "Saya kira tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi sekarang. Saya kira semua orang mencoba mencari tahu seperti apa tanggapannya atau dari mana tanggapan itu akan datang."
"Terlepas dari waktu, kedua pembunuhan itu tidak memiliki kesamaan," ujar Alon Pinkas, diplomat Israel dan kolumnis di surat kabar Israel Haaretz.
Pinkas mengatakan pembunuhan Shukr merupakan tanggapan atas serangan di Golan.
Sebaliknya, pembunuhan Haniyeh, yang dibunuh beberapa jam setelah menghadiri pelantikan Presiden Iran Masoud Pezeshkian, dapat memicu tanggapan yang lebih kuat.
"Tentu saja, pembunuhan Haniyeh bisa saja hanya karena keinginan untuk membalas dendam dan kecintaan pada drama dan kembang api," ungkap Pinkas, sebelum menambahkan bahwa menurutnya gagasan pemimpin politik atau militer Israel tidak mempertimbangkan konsekuensi pembunuhan itu tidak mungkin.
“Jika laporan yang kita lihat di The New York Times benar, yang menunjukkan bahwa satu bom telah ditempatkan di akomodasinya beberapa bulan sebelumnya, maka itu berarti waktu dan lokasinya disengaja, sehingga Iran tidak punya pilihan selain meningkatkan serangan, mengakhiri peluang kesepakatan penyanderaan atau gencatan senjata.”
Sumber lain di Iran mengatakan serangan yang menewaskan Haniyeh di sebabkan oleh rudal, bukan bom yang ditanam sebelumnya.
“Pembunuhan Haniyeh di Teheran tampaknya dirancang untuk melemahkan Iran,” ungkap Pinkas. “Namun, pilihan targetnya kurang jelas,” papar dia.
Tidak seperti Pemimpin Hamas di Gaza Yahya Sinwar, Haniyeh pindah ke Qatar pada tahun 2019 dan dianggap sebagai tokoh politik yang relatif moderat di dalam Hamas dan salah satu kandidat terbaik untuk mengakhiri konflik dan mengamankan pembebasan tawanan yang ditahan di Gaza sejak 7 Oktober, salah satu kekhawatiran utama publik Israel.
Namun demikian, menurut Goldberg, kematiannya tetap menimbulkan kepuasan publik di Israel.
“Kelihatannya aneh, saya tahu, tetapi ada tingkat disosiasi publik yang terjadi di sini,” ungkap Goldberg.
“Mengingat situasi saat ini, masyarakat tidak akan kesulitan membedakan antara seruan agar para sandera dipulangkan dan perayaan atas terbunuhnya orang yang diajak Israel berunding untuk mencapai tujuan itu,” papar dia, merujuk pada bagaimana warga Israel trauma akibat peristiwa 7 Oktober.
Para pengkritik Netanyahu baik di dalam maupun luar negeri Israel dengan cepat menyatakan pembunuhan Haniyeh yang menjadi sorotan publik mungkin merupakan taktik perdana menteri yang tengah berjuang memperpanjang dan meningkatkan konflik guna menghindari runtuhnya pemerintahan koalisinya yang rapuh dan penyelenggaraan pemilu dini.
“Untuk saat ini, di jalan-jalan Tel Aviv, ada kecemasan,” papar Goldberg. “Namun, ada juga rasa pasrah. Ada perasaan bahwa ini adalah nasib Israel. Orang-orang percaya bahwa Israel harus selalu membela diri dan, dengan itu, muncullah gagasan tentang impunitas total. Bagi banyak orang, memang begitulah adanya.”
Warga Israel justru merasakan suasana mencekam dan ketakutan karena serangan balasan dari Iran dan Hizbullah bisa datang kapan saja.
Rekaman video dari Middle East Eye yang diambil di jalanan Tel Aviv, Israel, menunjukkan suasana hati publik yang terbagi.
Seorang wanita mengatakan dia "tidak merasa aman" dan membatalkan rencananya pada Rabu pagi setelah pembunuhan Haniyeh.
Wanita lain mengatakan kepada media bahwa orang-orang "senang" dengan pembunuhan itu tetapi sadar itu dapat menyebabkan perang yang lebih besar.
"Orang-orang tegang, tentu saja," ujar Ori Goldberg, pakar politik Israel yang berbasis di Tel Aviv.
"Orang-orang di jalan lebih sedikit, ada rasa cemas secara umum, tetapi tidak histeris seperti pada bulan Oktober ketika orang-orang yakin bahwa Hizbullah akan menyerbu dari utara," papar dia.
Dia menggambarkan hari-hari setelah serangan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober di Israel selatan. Itu adalah ketakutan yang tidak terjadi.
Di sisi lain, pembunuhan tokoh Hamas dan Hizbullah tersebut telah memulihkan sebagian tingkat kepercayaan publik terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan militer setelah serangan 7 Oktober, yang secara luas dilihat oleh para ahli dan rakyat Israel sebagai kegagalan intelijen, menurut juru survei Israel dan mantan asisten Netanyahu, Mitchell Barak.
Namun, Barak menambahkan, "Saya kira tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi sekarang. Saya kira semua orang mencoba mencari tahu seperti apa tanggapannya atau dari mana tanggapan itu akan datang."
"Terlepas dari waktu, kedua pembunuhan itu tidak memiliki kesamaan," ujar Alon Pinkas, diplomat Israel dan kolumnis di surat kabar Israel Haaretz.
Pinkas mengatakan pembunuhan Shukr merupakan tanggapan atas serangan di Golan.
Sebaliknya, pembunuhan Haniyeh, yang dibunuh beberapa jam setelah menghadiri pelantikan Presiden Iran Masoud Pezeshkian, dapat memicu tanggapan yang lebih kuat.
"Tentu saja, pembunuhan Haniyeh bisa saja hanya karena keinginan untuk membalas dendam dan kecintaan pada drama dan kembang api," ungkap Pinkas, sebelum menambahkan bahwa menurutnya gagasan pemimpin politik atau militer Israel tidak mempertimbangkan konsekuensi pembunuhan itu tidak mungkin.
“Jika laporan yang kita lihat di The New York Times benar, yang menunjukkan bahwa satu bom telah ditempatkan di akomodasinya beberapa bulan sebelumnya, maka itu berarti waktu dan lokasinya disengaja, sehingga Iran tidak punya pilihan selain meningkatkan serangan, mengakhiri peluang kesepakatan penyanderaan atau gencatan senjata.”
Sumber lain di Iran mengatakan serangan yang menewaskan Haniyeh di sebabkan oleh rudal, bukan bom yang ditanam sebelumnya.
“Pembunuhan Haniyeh di Teheran tampaknya dirancang untuk melemahkan Iran,” ungkap Pinkas. “Namun, pilihan targetnya kurang jelas,” papar dia.
Tidak seperti Pemimpin Hamas di Gaza Yahya Sinwar, Haniyeh pindah ke Qatar pada tahun 2019 dan dianggap sebagai tokoh politik yang relatif moderat di dalam Hamas dan salah satu kandidat terbaik untuk mengakhiri konflik dan mengamankan pembebasan tawanan yang ditahan di Gaza sejak 7 Oktober, salah satu kekhawatiran utama publik Israel.
Namun demikian, menurut Goldberg, kematiannya tetap menimbulkan kepuasan publik di Israel.
“Kelihatannya aneh, saya tahu, tetapi ada tingkat disosiasi publik yang terjadi di sini,” ungkap Goldberg.
“Mengingat situasi saat ini, masyarakat tidak akan kesulitan membedakan antara seruan agar para sandera dipulangkan dan perayaan atas terbunuhnya orang yang diajak Israel berunding untuk mencapai tujuan itu,” papar dia, merujuk pada bagaimana warga Israel trauma akibat peristiwa 7 Oktober.
Para pengkritik Netanyahu baik di dalam maupun luar negeri Israel dengan cepat menyatakan pembunuhan Haniyeh yang menjadi sorotan publik mungkin merupakan taktik perdana menteri yang tengah berjuang memperpanjang dan meningkatkan konflik guna menghindari runtuhnya pemerintahan koalisinya yang rapuh dan penyelenggaraan pemilu dini.
“Untuk saat ini, di jalan-jalan Tel Aviv, ada kecemasan,” papar Goldberg. “Namun, ada juga rasa pasrah. Ada perasaan bahwa ini adalah nasib Israel. Orang-orang percaya bahwa Israel harus selalu membela diri dan, dengan itu, muncullah gagasan tentang impunitas total. Bagi banyak orang, memang begitulah adanya.”
(sya)