Langka, Demonstran Palestina dan Yahudi Israel Bersatu dalam Pawai Perdamaian

Jum'at, 26 Juli 2024 - 10:48 WIB
loading...
Langka, Demonstran Palestina...
Langka, demonstran Palestina dan Yahudi Israel bersatu dalam pawai perdamaian di Tel Aviv, Israel. Foto/EPA-EFE/ABIR SULTAN
A A A
TEL AVIV - Meneriakkan “ya, untuk perdamaian, ya, untuk kesepakatan”, ratusan warga Palestina dan Yahudi Israel berbaris dengan riuh dalam pawai perdamaian melintasi Tel Aviv pada Kamis malam.

Mereka sama-sama menuntut diakhirinya perang di Gaza dan siklus kekerasan.

Agenda mereka dimulai dengan gencatan senjata dalam perang Israel-Hamas, tetapi pada akhirnya, mereka ingin menghidupkan kembali hubungan Palestina-Israel, dan menghidupkan kembali gerakan perdamaian yang sedang sekarat.

"Pada dasarnya gerakan itu menjadi sunyi setelah 7 Oktober, dan dimulainya perang," kata Amira Mohammed, seorang warga Palestina di Israel, tentang pawai yang dinamai "Kamp Perdamaian".



"Kaum radikal menjadi lebih lantang daripada gerakan perdamaian. Jadi sekarang, kita harus bersikap radikal tentang perdamaian yang kita inginkan," paparnya, seperti dikutip dari AFP, Jumat (26/7/2024).

Amira Mohammed mengatakan bahwa hal itu mencakup "pengakuan dinamika kekuatan antara penjajah dan yang diduduki" serta "akuntabilitas di kedua belah pihak."

"Kita tidak dapat menghentikan kekerasan dengan lebih banyak kekerasan," kata Carmit Bar Levy (49), guru Israel yang ikut dalam pawai perdamaian bersama.

"Kita perlu memastikan kehidupan yang baik bagi warga Palestina dan Yahudi di dalam Israel. Kita harus mengakui bahwa mereka memiliki hak yang sama untuk tinggal di sini seperti kita."

Dia mengatakan ada perasaan yang berkembang sejak pecahnya perang bahwa status quo tidak dapat dipertahankan.

“Perdamaian adalah satu-satunya jalan ke depan,” kata Marcelo Oliki (64), seorang penyintas serangan Hamas di Kibbutz Nirim.

“Ada anak-anak, wanita, dan bayi yang meninggal di seberang perbatasan dari saya. Ada orang-orang di sana yang juga berduka, seperti saya, dan menginginkan perdamaian, seperti saya.”

Seiring berlanjutnya perang, demonstrasi telah pecah di kota terbesar Israel beberapa kali seminggu, beberapa di antaranya dilakukan oleh keluarga para sandera di Gaza, beberapa dilakukan oleh demonstran antipemerintah yang aktif sebelum perang, dan yang lainnya oleh kamp perdamaian Yahudi-Arab.

Sekitar 20 persen dari 9,5 juta penduduk Israel adalah orang Arab, dan banyak di antaranya mengidentifikasi diri sebagai warga Palestina.

Menurut para aktivis dan pengawas, warga Palestina di Israel telah berjuang untuk mendapatkan izin untuk melakukan protes antiperang.

Pawai hari Kamis ditunda seminggu setelah penyelenggara mengatakan izin tiba-tiba dicabut.

Meskipun berbagai kelompok protes di Tel Aviv mungkin berbeda pendapat tentang politik, mereka memiliki kesamaan dalam seruan untuk gencatan senjata segera.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan kembali ambisinya pada "kemenangan total" saat berpidato di hadapan Kongres Amerika Serikat (AS) pada hari Rabu, sementara di dalam negeri, anggota koalisi sayap kanannya mengancam akan menggulingkan pemerintah atas kesepakatan apa pun dengan Hamas.

Serangan Hamas yang memulai perang pada 7 Oktober mengakibatkan kematian 1.197 orang di Israel, menurut penghitungan AFP berdasarkan angka resmi Israel.

Sedangkan serangan brutal Israel telah menewaskan sedikitnya 39.175 warga Palestina di Gaza, menurut kementerian kesehatan wilayah yang dikuasai Hamas tersebut.

"Kita harus ingat bahwa perdamaian adalah sebuah pilihan, kita tidak harus meyakinkan sayap kanan...kita hanya perlu meyakinkan orang-orang di tengah yang tidak menginginkan perang lagi," kata Maya Ofer (23), seorang mahasiswa dan anggota kelompok aktivis Standing Together, yang mengorganisir pawai tersebut.

Direktur bersama kelompok tersebut, Rula Daoud, berbicara kepada massa sambil melambaikan spanduk bertuliskan "perdamaian sekarang" dan "perang tidak mengenal pemenang".

Para demonstran menegaskan bahwa visi mereka untuk solusi politik jangka panjang tidak berasal dari idealisme, tetapi pragmatisme yang mendalam.

"Dua bangsa hidup di negara ini, dan tidak satu pun dari mereka akan pergi ke mana pun," kata Daoud.
(mas)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0985 seconds (0.1#10.140)