Profil Paul Kagame, Presiden Rwanda yang Raih Hampir 100 Persen Suara Pemilu
loading...
A
A
A
KIGALI - Paul Kagame, yang kembali terpilih sebagai Presiden Rwanda untuk keempat kalinya, membuat kekuasaannya di negara Afrika Timur tersebut semakin panjang.
Berdasar pengumuman dari Komisi Pemilihan Umum Nasional pada Kamis lalu, Paul Kagame terpilih kembali menjadi presiden dengan meraih 99,18% suara.
Oda Gasinzigwa, ketua Komisi Pemilihan Umum Nasional, mengatakan pada konferensi pers bahwa jumlah pemilih mencapai 98,20% dari sembilan juta pemilih terdaftar.
Angka itu memperlihatkan seberapa penuhnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin yang sudah memimpin selama hampir 25 tahun tersebut.
Paul Kagame lahir pada 23 Oktober 1957 di Tambwe, Ruanda-Urundi, sebuah desa yang sekarang menjadi Provinsi Rwanda Selatan. Dia anak bungsu dari enam bersaudara.
Ayahnya, Deogratias Rutagambwa, adalah anggota kelompok etnis Tutsi, yang merupakan asal mula keluarga kerajaan sejak abad ke-18.
Kagame memulai pendidikan dasarnya di sebuah sekolah dekat kamp pengungsi, di mana dia dan pengungsi Rwanda lainnya belajar berbicara bahasa Inggris dan mulai berintegrasi ke dalam budaya Uganda.
Setelah itu, dia melanjutkan pendidikannya di Ntare School, salah satu sekolah terbaik di Uganda, yang juga merupakan almamater calon Presiden Uganda Yoweri Museveni.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Kagame melakukan dua kunjungan ke Rwanda pada tahun 1977 dan 1978. Dia menggunakan waktunya di Rwanda untuk menjelajahi negara tersebut, membiasakan diri dengan situasi politik dan sosial, dan menjalin koneksi yang berguna baginya dalam aktivitas selanjutnya.
Sebelum terjun ke politik, Kagame sempat menjabat sebagai komandan Front Patriotik Rwanda (RPF), angkatan bersenjata pemberontak yang menginvasi Rwanda.
RPF adalah salah satu pihak dalam konflik selama Perang Saudara Rwanda dan angkatan bersenjata yang mengakhiri genosida di Rwanda.
Kagame berjuang di medan pertempuran sejak 1980-an, ketika bertempur di tentara pemberontak pimpinan Yoweri Museveni. Kagame menjadi perwira senior tentara Uganda setelah banyak kemenangan militer yang membawa Museveni ke kursi kepresidenan Uganda.
Kagame lantas bergabung dengan RPF, mengambil kendali kelompok tersebut ketika pemimpin sebelumnya Fred Rwigyema meninggal pada hari kedua invasi tahun 1990.
Setelah kematian Presiden Rwanda Juvénal Habyarimana dan era genosida oleh ekstremis Hutu, Kagame lalu dipercaya untuk menjabat sebagai wakil presiden mendampingi Bizimungu. Posisi itu membuatnya leluasa mengendalikan tentara nasional.
Namun pada masa pemerintahan Bizimungu, Rwanda justru masih dipenuhi oleh berbagai pemberontakan. Hingga pada akhirnya sang presiden mengundurkan diri pada tahun 2000.
Dari situlah, Kagame menjadi wakil yang dipercaya untuk menduduki kursi yang kosong. Bizimungu kemudian dipenjara karena korupsi dan menghasut kekerasan etnis, tuduhan yang oleh kelompok hak asasi manusia digambarkan bermotif politik.
Namun pemerintahan Kagame ini justru dinilai otoriter, dan kelompok hak asasi manusia menuduhnya melakukan penindasan politik.
Meski telah memenangkan empat kali pemilu, tidak satu pun dari pemilihan tersebut yang dinilai bebas atau adil oleh pengamat internasional. Perannya dalam pembunuhan lawan politik di pengasingan juga masih kontroversial.
Berdasar pengumuman dari Komisi Pemilihan Umum Nasional pada Kamis lalu, Paul Kagame terpilih kembali menjadi presiden dengan meraih 99,18% suara.
Oda Gasinzigwa, ketua Komisi Pemilihan Umum Nasional, mengatakan pada konferensi pers bahwa jumlah pemilih mencapai 98,20% dari sembilan juta pemilih terdaftar.
Angka itu memperlihatkan seberapa penuhnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin yang sudah memimpin selama hampir 25 tahun tersebut.
Profil Paul Kagame
Paul Kagame lahir pada 23 Oktober 1957 di Tambwe, Ruanda-Urundi, sebuah desa yang sekarang menjadi Provinsi Rwanda Selatan. Dia anak bungsu dari enam bersaudara.
Ayahnya, Deogratias Rutagambwa, adalah anggota kelompok etnis Tutsi, yang merupakan asal mula keluarga kerajaan sejak abad ke-18.
Kagame memulai pendidikan dasarnya di sebuah sekolah dekat kamp pengungsi, di mana dia dan pengungsi Rwanda lainnya belajar berbicara bahasa Inggris dan mulai berintegrasi ke dalam budaya Uganda.
Setelah itu, dia melanjutkan pendidikannya di Ntare School, salah satu sekolah terbaik di Uganda, yang juga merupakan almamater calon Presiden Uganda Yoweri Museveni.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Kagame melakukan dua kunjungan ke Rwanda pada tahun 1977 dan 1978. Dia menggunakan waktunya di Rwanda untuk menjelajahi negara tersebut, membiasakan diri dengan situasi politik dan sosial, dan menjalin koneksi yang berguna baginya dalam aktivitas selanjutnya.
Sebelum terjun ke politik, Kagame sempat menjabat sebagai komandan Front Patriotik Rwanda (RPF), angkatan bersenjata pemberontak yang menginvasi Rwanda.
RPF adalah salah satu pihak dalam konflik selama Perang Saudara Rwanda dan angkatan bersenjata yang mengakhiri genosida di Rwanda.
Kagame berjuang di medan pertempuran sejak 1980-an, ketika bertempur di tentara pemberontak pimpinan Yoweri Museveni. Kagame menjadi perwira senior tentara Uganda setelah banyak kemenangan militer yang membawa Museveni ke kursi kepresidenan Uganda.
Kagame lantas bergabung dengan RPF, mengambil kendali kelompok tersebut ketika pemimpin sebelumnya Fred Rwigyema meninggal pada hari kedua invasi tahun 1990.
Setelah kematian Presiden Rwanda Juvénal Habyarimana dan era genosida oleh ekstremis Hutu, Kagame lalu dipercaya untuk menjabat sebagai wakil presiden mendampingi Bizimungu. Posisi itu membuatnya leluasa mengendalikan tentara nasional.
Namun pada masa pemerintahan Bizimungu, Rwanda justru masih dipenuhi oleh berbagai pemberontakan. Hingga pada akhirnya sang presiden mengundurkan diri pada tahun 2000.
Dari situlah, Kagame menjadi wakil yang dipercaya untuk menduduki kursi yang kosong. Bizimungu kemudian dipenjara karena korupsi dan menghasut kekerasan etnis, tuduhan yang oleh kelompok hak asasi manusia digambarkan bermotif politik.
Namun pemerintahan Kagame ini justru dinilai otoriter, dan kelompok hak asasi manusia menuduhnya melakukan penindasan politik.
Meski telah memenangkan empat kali pemilu, tidak satu pun dari pemilihan tersebut yang dinilai bebas atau adil oleh pengamat internasional. Perannya dalam pembunuhan lawan politik di pengasingan juga masih kontroversial.
(mas)