Kecam AS, Rusia Yakin Venezuela Tak Jadi 'Suriah Kedua'
A
A
A
MOSKOW - Rusia percaya ketegangan terkait krisis Venezuela tidak akan meningkat menjadi Krisis Karibia baru atau mengubah negara itu menjadi "Suriah kedua". Moskow mengecam Amerika Serikat (AS) yang terus mengumbar retorika invasi terhadap negara kaya minyak itu.
Pernyataan Rusia itu disampaikan Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov. "Kami tidak menerima metode yang digunakan AS untuk meningkatkan kehidupan rakyat Venezuela," kata Lavrov dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Moskovsky Komsomolets, yang dikutip Russia Today, Kamis (4/4/2019).
Dalam krisis politik Venezuela, Washington mendukung pemimpin oposisi Juan Guaido yang mendeklarasikan diri sebagai presiden interim pada Januari lalu. Washington juga telah menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap negara yang sedang dilanda krisis ekonomi tersebut.
Para pejabat tinggi AS sebelumnya mengancam akan melakukan apa yang mereka sebut sebagai "intervensi kemanusiaan" di Venezuela untuk menyingkirkan presiden sosialis yang tidak diinginkan, Nicolas Maduro, dari kekuasaan.
Lavrov mengatakan negara-negara di Amerika Latin, yang menentang Maduro dan menginginkan pemilu cepat di Venezuela, benar-benar tertekan ketika Amerika mengancam akan menggunakan kekuatan militer untuk menggulingkan rezim Maduro.
"Saya jamin bahwa jika ada upaya intervensi militer, sebagian besar negara bagian Amerika Latin akan langsung menolaknya," katanya.
"Saya tidak berpikir bahwa Krisis Karibia akan diciptakan kembali," kata Lavrov, terlepas dari ancaman invasi militer AS. "Juga tidak ada pembicaraan tentang 'Suriah kedua' di Venezuela," ujarnya.
Sekadar diketahui, Krisis Karibia membuat AS dan Uni Soviet berada di ambang perang nuklir pada tahun 1962 setelah Moskow menempatkan misil-misilnya di Kuba sebagai tanggapan terhadap Washington yang menyebarkan rudal balistik di Italia dan Turki.
Diplomat top Rusia tersebut menekankan bahwa AS bertindak "kurang ajar" karena memperlakukan Western Hemisphere (Belahan Barat) sebagai halaman belakangnya sendiri, tempat yang tidak boleh diakses oleh negara lain.
Lebih lanjut, Menlu Lavrov menyinggung komentar Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton soal laporan pengerahan 100 tentara Rusia dan pendaratan pesawat kargo di Venezuela pada akhir Maret. "AS tidak akan mentoleransi kekuatan militer asing yang bermusuhan untuk mencampuri tujuan bersama demokrasi, keamanan dan supremasi hukum Belahan Barat," kata Bolton beberapa hari lalu.
Lavrov mengklarifikasi bahwa perangkat keras militer Rusia yang dipasok ke Venezuela berstatus legal karena di bawah perjanjian kerja sama teknis-militer tahun 2001 yang saat itu diteken Presiden Hugo Chavez.
"Peralatan ini membutuhkan servis terjadwal oleh spesialis Rusia dan sekarang saatnya untuk perawatan seperti itu. Itu saja," katanya, menjelaskan kedatangan spesialis militer Rusia di negara itu.
Pernyataan Rusia itu disampaikan Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov. "Kami tidak menerima metode yang digunakan AS untuk meningkatkan kehidupan rakyat Venezuela," kata Lavrov dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Moskovsky Komsomolets, yang dikutip Russia Today, Kamis (4/4/2019).
Dalam krisis politik Venezuela, Washington mendukung pemimpin oposisi Juan Guaido yang mendeklarasikan diri sebagai presiden interim pada Januari lalu. Washington juga telah menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap negara yang sedang dilanda krisis ekonomi tersebut.
Para pejabat tinggi AS sebelumnya mengancam akan melakukan apa yang mereka sebut sebagai "intervensi kemanusiaan" di Venezuela untuk menyingkirkan presiden sosialis yang tidak diinginkan, Nicolas Maduro, dari kekuasaan.
Lavrov mengatakan negara-negara di Amerika Latin, yang menentang Maduro dan menginginkan pemilu cepat di Venezuela, benar-benar tertekan ketika Amerika mengancam akan menggunakan kekuatan militer untuk menggulingkan rezim Maduro.
"Saya jamin bahwa jika ada upaya intervensi militer, sebagian besar negara bagian Amerika Latin akan langsung menolaknya," katanya.
"Saya tidak berpikir bahwa Krisis Karibia akan diciptakan kembali," kata Lavrov, terlepas dari ancaman invasi militer AS. "Juga tidak ada pembicaraan tentang 'Suriah kedua' di Venezuela," ujarnya.
Sekadar diketahui, Krisis Karibia membuat AS dan Uni Soviet berada di ambang perang nuklir pada tahun 1962 setelah Moskow menempatkan misil-misilnya di Kuba sebagai tanggapan terhadap Washington yang menyebarkan rudal balistik di Italia dan Turki.
Diplomat top Rusia tersebut menekankan bahwa AS bertindak "kurang ajar" karena memperlakukan Western Hemisphere (Belahan Barat) sebagai halaman belakangnya sendiri, tempat yang tidak boleh diakses oleh negara lain.
Lebih lanjut, Menlu Lavrov menyinggung komentar Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton soal laporan pengerahan 100 tentara Rusia dan pendaratan pesawat kargo di Venezuela pada akhir Maret. "AS tidak akan mentoleransi kekuatan militer asing yang bermusuhan untuk mencampuri tujuan bersama demokrasi, keamanan dan supremasi hukum Belahan Barat," kata Bolton beberapa hari lalu.
Lavrov mengklarifikasi bahwa perangkat keras militer Rusia yang dipasok ke Venezuela berstatus legal karena di bawah perjanjian kerja sama teknis-militer tahun 2001 yang saat itu diteken Presiden Hugo Chavez.
"Peralatan ini membutuhkan servis terjadwal oleh spesialis Rusia dan sekarang saatnya untuk perawatan seperti itu. Itu saja," katanya, menjelaskan kedatangan spesialis militer Rusia di negara itu.
(mas)