Hamas Fleksibel dengan Masa Depan Gaza Pascaperang
loading...
A
A
A
GAZA - Hamas siap menunjukkan “fleksibilitas” mengenai pemerintahan masa depan Gaza, selama keputusan untuk memerintah daerah kantong itu disetujui faksi-faksi Palestina lainnya dan tidak dipaksakan oleh Amerika Serikat (AS) atau Israel.
Sikap tersebut diungkap sumber senior Palestina yang mengetahui kebijakan Hamas, mengatakan kepada Middle East Eye (MEE).
Sumber tersebut, yang tidak bersedia disebutkan namanya karena sifat topik yang sensitif, juga mengatakan Hamas merasa keseimbangan kekuatan "miring" hingga menguntungkannya ketika Israel bergulat dengan meningkatnya perpecahan politik mengenai masa depan Gaza pascaperang.
“Hamas yakin mereka sudah mengakar kuat di wilayah ini dan tidak ada yang bisa mengabaikannya,” tegas sumber tersebut kepada MEE.
Dia menjelaskan, “Meskipun demikian, Hamas memiliki fleksibilitas politik untuk menerima beberapa formula… demi masa depan Gaza. Hamas terbuka terhadap formula yang disepakati secara nasional demi kebaikan rakyatnya.”
“Tetapi penyelesaian apa pun yang memiliki peluang untuk disepakati secara nasional tidak boleh dipaksakan oleh Amerika atau Israel. Mereka tidak dapat melakukan tawar-menawar dengan negara Palestina yang lemah,” ungkap sumber itu.
Pembicaraan mengenai gencatan senjata akan dilanjutkan pekan ini, namun Hamas mengatakan kepada mediator internasional pada Selasa (28/5/2024) bahwa mereka mengakhiri partisipasinya setelah “pembantaian” hari Minggu di Rafah oleh Israel.
Sebanyak 45 orang tewas dan puluhan warga lainnya luka-luka, kebanyakan dari mereka adalah wanita dan anak-anak, ketika Israel menyerang satu kamp yang menampung pengungsi Palestina di lingkungan Tel al-Sultan di Rafah barat.
Serangan udara tersebut, yang mengakibatkan sejumlah warga Palestina dibakar hidup-hidup, terjadi hanya dua hari setelah Mahkamah Internasional (ICJ) memerintahkan Israel "segera menghentikan serangan militernya di Rafah".
“Hamas tidak harus duduk diam untuk melakukan perundingan sementara Israel terus melakukan pembunuhan,” ungkap sumber kedua yang dekat dengan organisasi tersebut kepada MEE.
“Melanjutkan perundingan ketika pembantaian masih terjadi, akan menutupi pembantaian tersebut dan bahkan menyebabkan terbunuhnya seorang tentara Mesir. Hal ini tidak akan terjadi lagi,” papar dia.
Sumber tersebut mengatakan Hamas hanya akan melanjutkan perundingan jika Israel menghentikan pembantaian dan meninggalkan Rafah.
Penyeberangan Rafah harus kembali ke pemerintahan sebelumnya, menurut sumber itu, mengacu pada pengaturan sebelum 7 Oktober.
Berbicara pada Sabtu sebelum serangan terhadap kamp-kamp pengungsi, sumber pertama mengatakan negosiasi telah menemui jalan buntu, setelah kegagalan putaran terakhir di Kairo dan Doha.
Dia mengatakan perundingan setelah serangan Israel di Rafah kini "menemui jalan buntu" dan AS perlu mengatasi masalah dengan Israel mengenai gencatan senjata permanen.
“Bagi Hamas, jelas bahwa AS harus menghadapi negosiasi ini. Mereka (Israel) harus menghormati dokumen yang diterima Hamas, tanpa melakukan permainan konyol dan mencoba mengabaikan tuntutan dasar Hamas,” tegas dia.
Awal bulan ini, Hamas secara terbuka menyatakan penerimaannya terhadap perjanjian gencatan senjata yang diajukan mediator Qatar dan Mesir, namun Israel mengatakan usulan tersebut tidak memenuhi tuntutan mereka.
Setelah gagalnya perundingan di Kairo, sumber-sumber AS menyalahkan Mesir karena mengubah tawaran kepada Hamas agar menguntungkan Mesir. Klaim tersebut disambut dengan kemarahan di Kairo.
Sumber Palestina mendukung versi Mesir mengenai kejadian tersebut. Dia mengatakan Mesir belum mengubah dokumen tersebut dan AS sepenuhnya mengetahui setiap dan semua amandemen tersebut, karena Kepala CIA Bill Burns hadir di Kairo dan Doha di mana dokumen tersebut sedang dibahas.
“Hamas mengumumkan amandemennya dan diterima para perunding,” papar sumber itu. “Pihak Amerika telah diberitahu dan menerima dokumen tersebut. Itu bukan kesalahan Mesir.
“Israel menarik diri dari perjanjian itu dan AS tidak memaksa mereka menerima sesuatu yang menguntungkan mereka,” ungkap dia.
Ketika perang di Gaza berlangsung selama delapan bulan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersumpah Israel akan mempertahankan kontrol keamanan atas Gaza dan telah dikritik AS karena gagal menghasilkan rencana pascaperang yang kredibel mengenai siapa yang memerintah Gaza.
Ketika terakhir kali berbicara tentang masalah ini pada Februari, Netanyahu menyarankan mengganti Hamas dengan perwakilan lokal.
Kenyataannya, upaya untuk mengganti pemerintah pusat dengan jaringan pemimpin klan sudah menemui jalan buntu.
Beberapa pekan sebelumnya, para pemimpin suku di Gaza mengecam usulan tentara Israel untuk membagi Gaza menjadi wilayah yang diperintah suku atau klan, bukan oleh satu entitas politik.
Sebulan kemudian muncul laporan Israel sedang mempertimbangkan mengangkat Majed Faraj, kepala aparat intelijen Otoritas Palestina, sebagai administrator Gaza.
Tapi itu juga gagal. Upaya Faraj menyusup ke sekelompok pria bersenjata yang menyamar sebagai perlindungan konvoi bantuan Mesir digagalkan dan kelompok tersebut ditangkap.
Sejak itu, Hamas mengecam manuver yang dilakukan Otoritas Palestina, termasuk apa yang mereka sebut sebagai penunjukan Mohammad Mustafa secara “sepihak”.
Hamas mengatakan keputusan itu diambil tanpa berkonsultasi terlebih dahulu, meskipun kelompok tersebut ikut serta dalam pertemuan di Moskow yang dihadiri Fatah untuk mengakhiri perpecahan.
Sejak menjabat, Mustafa telah menguraikan dalam pernyataan misinya bahwa dia ingin mereformasi Otoritas Palestina, menyatukan kembali Tepi Barat dan Gaza, dan mengawasi rekonstruksi daerah kantong tersebut.
MEE menghubungi Otoritas Palestina untuk memberikan komentar tetapi belum menerima tanggapan hingga berita ini diterbitkan.
Sumber Palestina mengatakan meskipun Netanyahu menyatakan tujuan untuk menghancurkan Hamas, Israel kini menghitung ulang posisinya mengenai bagaimana menghadapi skenario berikutnya mengingat Hamas tidak dapat ditumpas.
Secara militer, sayap bersenjata Hamas, Brigade Al Qassam, telah menunjukkan kemampuan mereka untuk muncul kembali di wilayah yang telah dibersihkan Israel dan menghadapi tentara dalam pertempuran jarak dekat.
Masalah ini telah dicatat dengan rasa frustrasi oleh para jenderal penting AS.
Pekan lalu, Jenderal Charles Brown, ketua kepala staf gabungan, mengkritik strategi Israel di Gaza dalam teguran publik yang jarang terjadi.
“Anda tidak hanya harus benar-benar masuk dan menyingkirkan musuh apa pun yang Anda hadapi, Anda juga harus masuk, mempertahankan wilayah tersebut, dan kemudian Anda harus menstabilkannya,” ungkap Brown, merujuk pada tugas besar pasukan Israel di Gaza.
Hanya beberapa hari kemudian Hamas mengklaim telah menangkap sekelompok tentara Israel dalam penyergapan di satu kompleks terowongan di tengah pertempuran sengit di kamp pengungsi Jabalia di utara, yang diklaim telah dibersihkan tentara Israel pada Desember.
Klaim tersebut dibantah Israel, namun Brigade Qassam kemudian merilis video yang menunjukkan para pejuang menarik seorang pria ke dalam terowongan yang tampaknya tidak sadarkan diri.
Dia ditarik bersama perlengkapan militernya. Video tersebut secara terpisah menunjukkan tiga senapan semi-otomatis dan perlengkapan militer lainnya yang menurut Hamas diambil dari warga Israel yang ditangkap.
Sumber ketiga yang mengetahui situasi di Gaza mengatakan kepada MEE bahwa mereka memperkirakan hanya 20% dari jaringan terowongan yang telah dihancurkan Israel dan kompleks bawah tanah tersebut terus menyediakan tempat berlindung, transportasi, dan tempat pembuatan senjata dan rudal.
Selain mendaur ulang bahan peledak berkekuatan tinggi dari bom dan rudal Israel yang gagal meledak, Hamas juga menyita sejumlah besar senjata ringan dan peralatan selama serangan Israel baru-baru ini di Khan Younis.
“Setelah pertempuran setiap hari, unit-unit yang diawaki pasukan cadangan muda dilaporkan meninggalkan posisi mereka pada malam hari dan meninggalkan sebagian besar peralatan mereka,” ungkap sumber itu.
MEE menghubungi tentara Israel dan kementerian luar negeri untuk memberikan komentar tetapi tidak menerima tanggapan.
Sumber Palestina yang mengetahui kebijakan Hamas mengatakan kelompok itu yakin dengan basis dukungannya di Gaza, dan mengatakan meskipun kehancuran meluas, ada perpecahan yang lebih besar di Israel mengenai arah perang.
“Meskipun ada ketidakseimbangan kekuatan antara Hamas dan Israel, Hamas telah mengambil pelajaran dari perang sebelumnya,” papar sumber itu.
“Gambaran perlawanan (kelompok Palestina seperti Hamas) di antara masyarakat kami di Gaza adalah perlawanan tersebut berjuang atas nama rakyat, sementara warga Israel berpikir Netanyahu berjuang demi kepentingan pribadinya,” pungkas dia.
Sikap tersebut diungkap sumber senior Palestina yang mengetahui kebijakan Hamas, mengatakan kepada Middle East Eye (MEE).
Sumber tersebut, yang tidak bersedia disebutkan namanya karena sifat topik yang sensitif, juga mengatakan Hamas merasa keseimbangan kekuatan "miring" hingga menguntungkannya ketika Israel bergulat dengan meningkatnya perpecahan politik mengenai masa depan Gaza pascaperang.
“Hamas yakin mereka sudah mengakar kuat di wilayah ini dan tidak ada yang bisa mengabaikannya,” tegas sumber tersebut kepada MEE.
Dia menjelaskan, “Meskipun demikian, Hamas memiliki fleksibilitas politik untuk menerima beberapa formula… demi masa depan Gaza. Hamas terbuka terhadap formula yang disepakati secara nasional demi kebaikan rakyatnya.”
“Tetapi penyelesaian apa pun yang memiliki peluang untuk disepakati secara nasional tidak boleh dipaksakan oleh Amerika atau Israel. Mereka tidak dapat melakukan tawar-menawar dengan negara Palestina yang lemah,” ungkap sumber itu.
Pembicaraan mengenai gencatan senjata akan dilanjutkan pekan ini, namun Hamas mengatakan kepada mediator internasional pada Selasa (28/5/2024) bahwa mereka mengakhiri partisipasinya setelah “pembantaian” hari Minggu di Rafah oleh Israel.
Sebanyak 45 orang tewas dan puluhan warga lainnya luka-luka, kebanyakan dari mereka adalah wanita dan anak-anak, ketika Israel menyerang satu kamp yang menampung pengungsi Palestina di lingkungan Tel al-Sultan di Rafah barat.
Serangan udara tersebut, yang mengakibatkan sejumlah warga Palestina dibakar hidup-hidup, terjadi hanya dua hari setelah Mahkamah Internasional (ICJ) memerintahkan Israel "segera menghentikan serangan militernya di Rafah".
“Hamas tidak harus duduk diam untuk melakukan perundingan sementara Israel terus melakukan pembunuhan,” ungkap sumber kedua yang dekat dengan organisasi tersebut kepada MEE.
“Melanjutkan perundingan ketika pembantaian masih terjadi, akan menutupi pembantaian tersebut dan bahkan menyebabkan terbunuhnya seorang tentara Mesir. Hal ini tidak akan terjadi lagi,” papar dia.
Sumber tersebut mengatakan Hamas hanya akan melanjutkan perundingan jika Israel menghentikan pembantaian dan meninggalkan Rafah.
Penyeberangan Rafah harus kembali ke pemerintahan sebelumnya, menurut sumber itu, mengacu pada pengaturan sebelum 7 Oktober.
Negosiasi Menemui Jalan Buntu
Berbicara pada Sabtu sebelum serangan terhadap kamp-kamp pengungsi, sumber pertama mengatakan negosiasi telah menemui jalan buntu, setelah kegagalan putaran terakhir di Kairo dan Doha.
Dia mengatakan perundingan setelah serangan Israel di Rafah kini "menemui jalan buntu" dan AS perlu mengatasi masalah dengan Israel mengenai gencatan senjata permanen.
“Bagi Hamas, jelas bahwa AS harus menghadapi negosiasi ini. Mereka (Israel) harus menghormati dokumen yang diterima Hamas, tanpa melakukan permainan konyol dan mencoba mengabaikan tuntutan dasar Hamas,” tegas dia.
Awal bulan ini, Hamas secara terbuka menyatakan penerimaannya terhadap perjanjian gencatan senjata yang diajukan mediator Qatar dan Mesir, namun Israel mengatakan usulan tersebut tidak memenuhi tuntutan mereka.
Setelah gagalnya perundingan di Kairo, sumber-sumber AS menyalahkan Mesir karena mengubah tawaran kepada Hamas agar menguntungkan Mesir. Klaim tersebut disambut dengan kemarahan di Kairo.
Sumber Palestina mendukung versi Mesir mengenai kejadian tersebut. Dia mengatakan Mesir belum mengubah dokumen tersebut dan AS sepenuhnya mengetahui setiap dan semua amandemen tersebut, karena Kepala CIA Bill Burns hadir di Kairo dan Doha di mana dokumen tersebut sedang dibahas.
“Hamas mengumumkan amandemennya dan diterima para perunding,” papar sumber itu. “Pihak Amerika telah diberitahu dan menerima dokumen tersebut. Itu bukan kesalahan Mesir.
“Israel menarik diri dari perjanjian itu dan AS tidak memaksa mereka menerima sesuatu yang menguntungkan mereka,” ungkap dia.
Hamas Kecam Tindakan Otoritas Palestina
Ketika perang di Gaza berlangsung selama delapan bulan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersumpah Israel akan mempertahankan kontrol keamanan atas Gaza dan telah dikritik AS karena gagal menghasilkan rencana pascaperang yang kredibel mengenai siapa yang memerintah Gaza.
Ketika terakhir kali berbicara tentang masalah ini pada Februari, Netanyahu menyarankan mengganti Hamas dengan perwakilan lokal.
Kenyataannya, upaya untuk mengganti pemerintah pusat dengan jaringan pemimpin klan sudah menemui jalan buntu.
Beberapa pekan sebelumnya, para pemimpin suku di Gaza mengecam usulan tentara Israel untuk membagi Gaza menjadi wilayah yang diperintah suku atau klan, bukan oleh satu entitas politik.
Sebulan kemudian muncul laporan Israel sedang mempertimbangkan mengangkat Majed Faraj, kepala aparat intelijen Otoritas Palestina, sebagai administrator Gaza.
Tapi itu juga gagal. Upaya Faraj menyusup ke sekelompok pria bersenjata yang menyamar sebagai perlindungan konvoi bantuan Mesir digagalkan dan kelompok tersebut ditangkap.
Sejak itu, Hamas mengecam manuver yang dilakukan Otoritas Palestina, termasuk apa yang mereka sebut sebagai penunjukan Mohammad Mustafa secara “sepihak”.
Hamas mengatakan keputusan itu diambil tanpa berkonsultasi terlebih dahulu, meskipun kelompok tersebut ikut serta dalam pertemuan di Moskow yang dihadiri Fatah untuk mengakhiri perpecahan.
Sejak menjabat, Mustafa telah menguraikan dalam pernyataan misinya bahwa dia ingin mereformasi Otoritas Palestina, menyatukan kembali Tepi Barat dan Gaza, dan mengawasi rekonstruksi daerah kantong tersebut.
MEE menghubungi Otoritas Palestina untuk memberikan komentar tetapi belum menerima tanggapan hingga berita ini diterbitkan.
Strategi Israel Dikritik
Sumber Palestina mengatakan meskipun Netanyahu menyatakan tujuan untuk menghancurkan Hamas, Israel kini menghitung ulang posisinya mengenai bagaimana menghadapi skenario berikutnya mengingat Hamas tidak dapat ditumpas.
Secara militer, sayap bersenjata Hamas, Brigade Al Qassam, telah menunjukkan kemampuan mereka untuk muncul kembali di wilayah yang telah dibersihkan Israel dan menghadapi tentara dalam pertempuran jarak dekat.
Masalah ini telah dicatat dengan rasa frustrasi oleh para jenderal penting AS.
Pekan lalu, Jenderal Charles Brown, ketua kepala staf gabungan, mengkritik strategi Israel di Gaza dalam teguran publik yang jarang terjadi.
“Anda tidak hanya harus benar-benar masuk dan menyingkirkan musuh apa pun yang Anda hadapi, Anda juga harus masuk, mempertahankan wilayah tersebut, dan kemudian Anda harus menstabilkannya,” ungkap Brown, merujuk pada tugas besar pasukan Israel di Gaza.
Hanya beberapa hari kemudian Hamas mengklaim telah menangkap sekelompok tentara Israel dalam penyergapan di satu kompleks terowongan di tengah pertempuran sengit di kamp pengungsi Jabalia di utara, yang diklaim telah dibersihkan tentara Israel pada Desember.
Klaim tersebut dibantah Israel, namun Brigade Qassam kemudian merilis video yang menunjukkan para pejuang menarik seorang pria ke dalam terowongan yang tampaknya tidak sadarkan diri.
Dia ditarik bersama perlengkapan militernya. Video tersebut secara terpisah menunjukkan tiga senapan semi-otomatis dan perlengkapan militer lainnya yang menurut Hamas diambil dari warga Israel yang ditangkap.
Sumber ketiga yang mengetahui situasi di Gaza mengatakan kepada MEE bahwa mereka memperkirakan hanya 20% dari jaringan terowongan yang telah dihancurkan Israel dan kompleks bawah tanah tersebut terus menyediakan tempat berlindung, transportasi, dan tempat pembuatan senjata dan rudal.
Selain mendaur ulang bahan peledak berkekuatan tinggi dari bom dan rudal Israel yang gagal meledak, Hamas juga menyita sejumlah besar senjata ringan dan peralatan selama serangan Israel baru-baru ini di Khan Younis.
“Setelah pertempuran setiap hari, unit-unit yang diawaki pasukan cadangan muda dilaporkan meninggalkan posisi mereka pada malam hari dan meninggalkan sebagian besar peralatan mereka,” ungkap sumber itu.
MEE menghubungi tentara Israel dan kementerian luar negeri untuk memberikan komentar tetapi tidak menerima tanggapan.
Hamas telah Belajar dari Perang Sebelumnya
Sumber Palestina yang mengetahui kebijakan Hamas mengatakan kelompok itu yakin dengan basis dukungannya di Gaza, dan mengatakan meskipun kehancuran meluas, ada perpecahan yang lebih besar di Israel mengenai arah perang.
“Meskipun ada ketidakseimbangan kekuatan antara Hamas dan Israel, Hamas telah mengambil pelajaran dari perang sebelumnya,” papar sumber itu.
“Gambaran perlawanan (kelompok Palestina seperti Hamas) di antara masyarakat kami di Gaza adalah perlawanan tersebut berjuang atas nama rakyat, sementara warga Israel berpikir Netanyahu berjuang demi kepentingan pribadinya,” pungkas dia.
(sya)