Inggris Klaim Bomnya Membunuh 4.012 Militan ISIS dan 1 Warga Sipil
A
A
A
LONDON - Angkatan Udara Kerajaan (RAF) Inggris mengklaim pemboman pesawat-pesawat jet tempurnya di Suriah dan Irak telah membunuh 4.012 militan ISIS dan hanya menewaskan satu warga sipil. Data itu berasal dari Kementerian Pertahanan negara tersebut.
Penelitian dari badan amal Action on Armed Violence (AOAV) memperoleh data tersebut di bawah undang-undang kebebasan informasi yang melacak serangan bom RAF dari September 2014 hingga Januari 2019.
AOAV telah menyatakan skeptis bahwa RAF berhasil melindungi warga sipil meski mengklaim berhasil menewaskan ribuan petempur musuh.
Direktur eksekutif badan amal tersebut, Ian Overton, mengatakan; "Klaim RAF atas rasio satu korban sipil terhadap 4.315 musuh harus menjadi rekor dunia dalam konflik modern. Namun sedikit ahli konflik percaya itu benar."
Angka 4.315 tersebut termasuk mereka yang terluka dan juga yang terbunuh.
Inggris berada di garis depan Koalisi Global dari 79 negara yang memerangi jaringan teroris ISIS melalui aksi militer. Setelah Amerika Serikat, Inggris melakukan serangan udara terbanyak.
Data Kementerian Pertahanan menunjukkan bahwa dari 4.315 kombatan yang tewas maupun terluka, 75 persennya berada di Irak. Kemudian 25 persen lainnya berada di Suriah.
Menurut analisis AOAV, sebagian besar serangan RAF terhadap Mosul dan Raqqa—bekas benteng ISIS— ditujukan pada bangunan.
Badan amal itu melanjutkan, mayoritas serangan udara juga menanggapi peristiwa yang terjadi di darat dan meningkatkan risiko bagi warga sipil.
RAF mengatakan kepada badan amal tersebut bahwa angka itu baru dikeluarkan, tetapi hanya bisa menjadi perkiraan, mengingat Inggris tidak memiliki kehadiran di lapangan untuk menilai serangan.
Seorang juru bicara Kementerian Pertahanan kepada The Guardian, Jumat (8/3/2019), telah menjelaskan metodologi untuk menghasilkan data serangan tersebut. "Setelah setiap serangan udara Inggris, kami melakukan penilaian kerusakan pertempuran secara terperinci, yang memeriksa secara menyeluruh hasil serangan terhadap sasarannya, baik itu petempur, senjata, atau pangkalan Daesh (ISIS)," kata juru bicara itu tanpa disebutkan namanya.
“Penilaian ini juga melihat dengan sangat hati-hati apakah ada korban sipil atau kerusakan infrastruktur sipil atau tidak," lanjut dia.
Penelitian dari badan amal Action on Armed Violence (AOAV) memperoleh data tersebut di bawah undang-undang kebebasan informasi yang melacak serangan bom RAF dari September 2014 hingga Januari 2019.
AOAV telah menyatakan skeptis bahwa RAF berhasil melindungi warga sipil meski mengklaim berhasil menewaskan ribuan petempur musuh.
Direktur eksekutif badan amal tersebut, Ian Overton, mengatakan; "Klaim RAF atas rasio satu korban sipil terhadap 4.315 musuh harus menjadi rekor dunia dalam konflik modern. Namun sedikit ahli konflik percaya itu benar."
Angka 4.315 tersebut termasuk mereka yang terluka dan juga yang terbunuh.
Inggris berada di garis depan Koalisi Global dari 79 negara yang memerangi jaringan teroris ISIS melalui aksi militer. Setelah Amerika Serikat, Inggris melakukan serangan udara terbanyak.
Data Kementerian Pertahanan menunjukkan bahwa dari 4.315 kombatan yang tewas maupun terluka, 75 persennya berada di Irak. Kemudian 25 persen lainnya berada di Suriah.
Menurut analisis AOAV, sebagian besar serangan RAF terhadap Mosul dan Raqqa—bekas benteng ISIS— ditujukan pada bangunan.
Badan amal itu melanjutkan, mayoritas serangan udara juga menanggapi peristiwa yang terjadi di darat dan meningkatkan risiko bagi warga sipil.
RAF mengatakan kepada badan amal tersebut bahwa angka itu baru dikeluarkan, tetapi hanya bisa menjadi perkiraan, mengingat Inggris tidak memiliki kehadiran di lapangan untuk menilai serangan.
Seorang juru bicara Kementerian Pertahanan kepada The Guardian, Jumat (8/3/2019), telah menjelaskan metodologi untuk menghasilkan data serangan tersebut. "Setelah setiap serangan udara Inggris, kami melakukan penilaian kerusakan pertempuran secara terperinci, yang memeriksa secara menyeluruh hasil serangan terhadap sasarannya, baik itu petempur, senjata, atau pangkalan Daesh (ISIS)," kata juru bicara itu tanpa disebutkan namanya.
“Penilaian ini juga melihat dengan sangat hati-hati apakah ada korban sipil atau kerusakan infrastruktur sipil atau tidak," lanjut dia.
(mas)