Kapal Perusak AS Tinggalkan Laut Merah, Houthi Tebar Ancaman Tak Terbayangkan
loading...
A
A
A
SANAA - Kapal perusak USS Carney, kapal perang yang menjadi wajah operasi anti-Houthi Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) pada musim gugur lalu, meninggalkan Laut Merah dan tiba di Norfolk, Virginia.
Kepulangan kapal itu setelah penempatan selama berbulan-bulan yang melelahkan di Timur Tengah.
Kapal perusak berpeluru kendali kelas Arleigh Burke itu dikerahkan untuk "operasi rutin" dengan Armada ke-5 dan ke-6 AS pada akhir September 2023, tetapi dengan cepat mendapati dirinya berada di tengah sarang lebah ketegangan di Timur Tengah.
USS Carney menjadi kapal perang AS pertama yang melawan drone dan rudal Houthi, dengan pejuang Yaman berusaha menyerang Israel sejak tanggal 19 Oktober, dan kapal perang Amerika dikerahkan untuk melindungi rezim kolonial Zionis.
Kampanye penyitaan kapal dan serangan rudal serta drone yang tak henti-hentinya oleh pejuang Houthi Yaman menargetkan kapal komersial yang terkait Israel, AS, dan Inggris.
Aksi Houthi telah mengakibatkan penurunan dua pertiga lalu lintas melalui titik strategis Laut Merah sejak bulan Desember. Houthi berjanji mengakhiri kampanyenya jika Israel menghentikan serangan militernya ke Gaza.
Pejuang Houthi mengubah taktik pada November, membuat semi-blokade di Laut Merah dan Laut Arab, dan secara sepihak menutup perairan bagi semua kapal yang dicurigai memiliki hubungan dengan Israel.
Kapal perang AS tersebut mengawal kapal-kapal komersial dalam upaya melindungi mereka dari serangan Houthi. Kapal perang itu juga berulang kali menjadi sasaran drone dan rudal Houthi.
Mulai bulan Januari, kapal perusak tersebut mulai menembakkan rudal jelajahnya ke sasaran-sasaran di Yaman dalam upaya putus asa untuk melemahkan potensi serangan Houthi.
“Saya sangat bangga dengan apa yang telah dilakukan tim Carney sejak September,” ujar Kepala Operasi Angkatan Laut AS Laksamana Lisa Franchetti pada upacara penyambutan kapal perang tersebut ke Norfolk.
“Dipanggil untuk bertindak pada hari pertama Anda memasuki Armada ke-5 AS, Anda melakukan 51 pertempuran dalam 6 bulan,” papar laksamana tersebut.
Angkatan Laut tidak merinci kapan tepatnya Carney meninggalkan Laut Merah sebelum memulai perjalanan panjang melintasi Atlantik.
Setelah pasokan ulang di Norfolk, kapal perang tersebut diperkirakan akan berlayar ke pangkalannya di Naval Station Mayport di luar Jacksonville, Florida.
USS Carney adalah kapal perang terbaru dari dua koalisi Barat yang terpisah, Operation Prosperity Guardian yang dipimpin AS-Inggris dan Operation Aspides dari Uni Eropa, yang meninggalkan Laut Merah dan pulang.
Bulan lalu, kapal fregat Angkatan Laut Jerman Hessen meninggalkan wilayah tersebut dan berlayar kembali ke Jerman ketika Pemimpin Houthi Abdul Malik al-Houthi menjanjikan jalur yang aman bagi negara-negara Eropa jika mereka “tidak menuju musuh Israel.”
Sejauh ini operasi yang dipimpin UE jauh lebih tidak agresif dibandingkan operasi yang dipimpin AS dan Inggris, dengan kapal perang UE tidak menyerang sasaran di Yaman.
Ketua Subkomite Angkatan Bersenjata Senat untuk Pasukan Strategis Angus King memperingatkan pada sidang pekan lalu bahwa pertahanan rudal AS telah terbukti sangat mahal dan tidak efektif, tidak hanya untuk melawan musuh strategis seperti Rusia, China, dan Iran, tetapi bahkan melawan Houthi, yang memiliki kemampuan menghasilkan kekuatan.
Rudal dan drone murah sangat kontras dengan harga pencegat rudal Amerika yang dirancang untuk menghentikan mereka.
“Satu rudal untuk mencegat rudal (strategis) yang masuk bernilai USD80 juta,” ujar King kepada para pejabat Departemen Pertahanan.
“Di Laut Merah, Houthi mengirimkan drone senilai USD20,000 dan kita menembak jatuh mereka dengan rudal yang menelan biaya USD4,3 juta. Perhitungannya tidak berhasil, Tuan-tuan. Itu tidak berhasil. Apa yang kalian pikirkan?” Tanya King, penganjur pertahanan berbasis senjata energi terarah.
Juru bicara militer Houthi Yahya Sare’e memperingatkan pada konferensi pers pada Senin bahwa pejuang akan meningkatkan kampanyenya ke tingkat yang bahkan tidak dapat dibayangkan oleh musuh jika Israel dan sekutunya terus melintasi “garis merah” Yaman.
“Gaza adalah garis merah bagi kami, garis merah. Tujuan kami, tempat suci, dan Islam kami adalah garis merah, dan kami tidak akan berkompromi dengan hal tersebut,” tegas Sare’e.
“Kita dapat menargetkan hal-hal yang tidak terpikirkan dan tidak dapat dibayangkan oleh musuh, hal-hal yang tidak dapat dibayangkan oleh masyarakat Yaman maupun masyarakat (Dunia Arab dan Muslim),” papar dia memperingatkan.
Dia menegaskan, “Dengan kehendak dan kekuatan Tuhan, kita akan mencapai tahap kelima dan keenam (operasi anti-Israel) jika musuh terus melanjutkan agresinya di Gaza.”
Sare’e tidak menjelaskan secara rinci dampak dari serangan yang “tak terbayangkan” ini. Namun, awal bulan ini, pejabat tersebut mengumumkan dimulainya “fase keempat” operasi Houthi melawan Israel, termasuk menargetkan semua kapal yang menuju pelabuhan Laut Mediterania Israel dari “daerah mana pun yang berada dalam jangkauan kami.”
Pekan lalu, Pusat Keamanan Maritim Internasional, wadah pemikir urusan keamanan yang berbasis di Maryland, mengakui operasi angkatan laut Barat di Laut Merah telah “terhambat oleh berbagai kekurangan,” termasuk “kekurangan amunisi, kurangnya koordinasi antara negara-negara sekutu, dan kurangnya peralatan.”
“Masih dipertanyakan apakah operasi angkatan laut saat ini dapat berhasil pada tingkat strategis,” ungkap lembaga think tank tersebut.
Lembaga itu mencatat, “Upaya militer ditandai dengan koordinasi yang rumit pada tingkat politik, dan hampir tidak ada komunikasi yang lebih luas dengan para pemimpin Houthi, serta kurangnya tujuan yang teridentifikasi dan dapat dicapai dengan jelas.”
Membandingkan waktu operasi anti-Houthi yang dipimpin Amerika dan Eropa dengan latar belakang menurunnya lalu lintas maritim melalui Selat Bab el Mandeb, lembaga pemikir tersebut mengakui, “Sejauh ini, operasi militer belum membawa pemulihan tingkat lalu lintas maritim melalui wilayah tersebut.”
Lihat Juga: 3 Penyebab Benjamin Netanyahu akan Ditangkap ICC, Salah Satunya Dituduh Lakukan Kejahatan Perang
Kepulangan kapal itu setelah penempatan selama berbulan-bulan yang melelahkan di Timur Tengah.
Kapal perusak berpeluru kendali kelas Arleigh Burke itu dikerahkan untuk "operasi rutin" dengan Armada ke-5 dan ke-6 AS pada akhir September 2023, tetapi dengan cepat mendapati dirinya berada di tengah sarang lebah ketegangan di Timur Tengah.
USS Carney menjadi kapal perang AS pertama yang melawan drone dan rudal Houthi, dengan pejuang Yaman berusaha menyerang Israel sejak tanggal 19 Oktober, dan kapal perang Amerika dikerahkan untuk melindungi rezim kolonial Zionis.
Kampanye penyitaan kapal dan serangan rudal serta drone yang tak henti-hentinya oleh pejuang Houthi Yaman menargetkan kapal komersial yang terkait Israel, AS, dan Inggris.
Aksi Houthi telah mengakibatkan penurunan dua pertiga lalu lintas melalui titik strategis Laut Merah sejak bulan Desember. Houthi berjanji mengakhiri kampanyenya jika Israel menghentikan serangan militernya ke Gaza.
Pejuang Houthi mengubah taktik pada November, membuat semi-blokade di Laut Merah dan Laut Arab, dan secara sepihak menutup perairan bagi semua kapal yang dicurigai memiliki hubungan dengan Israel.
Kapal perang AS tersebut mengawal kapal-kapal komersial dalam upaya melindungi mereka dari serangan Houthi. Kapal perang itu juga berulang kali menjadi sasaran drone dan rudal Houthi.
Mulai bulan Januari, kapal perusak tersebut mulai menembakkan rudal jelajahnya ke sasaran-sasaran di Yaman dalam upaya putus asa untuk melemahkan potensi serangan Houthi.
“Saya sangat bangga dengan apa yang telah dilakukan tim Carney sejak September,” ujar Kepala Operasi Angkatan Laut AS Laksamana Lisa Franchetti pada upacara penyambutan kapal perang tersebut ke Norfolk.
“Dipanggil untuk bertindak pada hari pertama Anda memasuki Armada ke-5 AS, Anda melakukan 51 pertempuran dalam 6 bulan,” papar laksamana tersebut.
Angkatan Laut tidak merinci kapan tepatnya Carney meninggalkan Laut Merah sebelum memulai perjalanan panjang melintasi Atlantik.
Setelah pasokan ulang di Norfolk, kapal perang tersebut diperkirakan akan berlayar ke pangkalannya di Naval Station Mayport di luar Jacksonville, Florida.
USS Carney adalah kapal perang terbaru dari dua koalisi Barat yang terpisah, Operation Prosperity Guardian yang dipimpin AS-Inggris dan Operation Aspides dari Uni Eropa, yang meninggalkan Laut Merah dan pulang.
Bulan lalu, kapal fregat Angkatan Laut Jerman Hessen meninggalkan wilayah tersebut dan berlayar kembali ke Jerman ketika Pemimpin Houthi Abdul Malik al-Houthi menjanjikan jalur yang aman bagi negara-negara Eropa jika mereka “tidak menuju musuh Israel.”
Sejauh ini operasi yang dipimpin UE jauh lebih tidak agresif dibandingkan operasi yang dipimpin AS dan Inggris, dengan kapal perang UE tidak menyerang sasaran di Yaman.
Ketua Subkomite Angkatan Bersenjata Senat untuk Pasukan Strategis Angus King memperingatkan pada sidang pekan lalu bahwa pertahanan rudal AS telah terbukti sangat mahal dan tidak efektif, tidak hanya untuk melawan musuh strategis seperti Rusia, China, dan Iran, tetapi bahkan melawan Houthi, yang memiliki kemampuan menghasilkan kekuatan.
Rudal dan drone murah sangat kontras dengan harga pencegat rudal Amerika yang dirancang untuk menghentikan mereka.
“Satu rudal untuk mencegat rudal (strategis) yang masuk bernilai USD80 juta,” ujar King kepada para pejabat Departemen Pertahanan.
“Di Laut Merah, Houthi mengirimkan drone senilai USD20,000 dan kita menembak jatuh mereka dengan rudal yang menelan biaya USD4,3 juta. Perhitungannya tidak berhasil, Tuan-tuan. Itu tidak berhasil. Apa yang kalian pikirkan?” Tanya King, penganjur pertahanan berbasis senjata energi terarah.
Eskalasi yang Tak Terbayangkan
Juru bicara militer Houthi Yahya Sare’e memperingatkan pada konferensi pers pada Senin bahwa pejuang akan meningkatkan kampanyenya ke tingkat yang bahkan tidak dapat dibayangkan oleh musuh jika Israel dan sekutunya terus melintasi “garis merah” Yaman.
“Gaza adalah garis merah bagi kami, garis merah. Tujuan kami, tempat suci, dan Islam kami adalah garis merah, dan kami tidak akan berkompromi dengan hal tersebut,” tegas Sare’e.
“Kita dapat menargetkan hal-hal yang tidak terpikirkan dan tidak dapat dibayangkan oleh musuh, hal-hal yang tidak dapat dibayangkan oleh masyarakat Yaman maupun masyarakat (Dunia Arab dan Muslim),” papar dia memperingatkan.
Dia menegaskan, “Dengan kehendak dan kekuatan Tuhan, kita akan mencapai tahap kelima dan keenam (operasi anti-Israel) jika musuh terus melanjutkan agresinya di Gaza.”
Sare’e tidak menjelaskan secara rinci dampak dari serangan yang “tak terbayangkan” ini. Namun, awal bulan ini, pejabat tersebut mengumumkan dimulainya “fase keempat” operasi Houthi melawan Israel, termasuk menargetkan semua kapal yang menuju pelabuhan Laut Mediterania Israel dari “daerah mana pun yang berada dalam jangkauan kami.”
Pekan lalu, Pusat Keamanan Maritim Internasional, wadah pemikir urusan keamanan yang berbasis di Maryland, mengakui operasi angkatan laut Barat di Laut Merah telah “terhambat oleh berbagai kekurangan,” termasuk “kekurangan amunisi, kurangnya koordinasi antara negara-negara sekutu, dan kurangnya peralatan.”
“Masih dipertanyakan apakah operasi angkatan laut saat ini dapat berhasil pada tingkat strategis,” ungkap lembaga think tank tersebut.
Lembaga itu mencatat, “Upaya militer ditandai dengan koordinasi yang rumit pada tingkat politik, dan hampir tidak ada komunikasi yang lebih luas dengan para pemimpin Houthi, serta kurangnya tujuan yang teridentifikasi dan dapat dicapai dengan jelas.”
Membandingkan waktu operasi anti-Houthi yang dipimpin Amerika dan Eropa dengan latar belakang menurunnya lalu lintas maritim melalui Selat Bab el Mandeb, lembaga pemikir tersebut mengakui, “Sejauh ini, operasi militer belum membawa pemulihan tingkat lalu lintas maritim melalui wilayah tersebut.”
Lihat Juga: 3 Penyebab Benjamin Netanyahu akan Ditangkap ICC, Salah Satunya Dituduh Lakukan Kejahatan Perang
(sya)