Warga Palestina Terlalu Lapar untuk Tinggalkan Rafah, Israel Makin Barbar

Kamis, 09 Mei 2024 - 17:04 WIB
loading...
Warga Palestina Terlalu...
Anak-anak Palestina membawa panci menunggu menerima makanan yang dimasak dapur amal, di tengah kekurangan pasokan bantuan, setelah pasukan Israel melancarkan operasi darat dan udara di bagian timur Rafah, di Rafah, Jalur Gaza selatan, 8 Mei 2024. Foto/REU
A A A
RAFAH - Tiga hari lalu, militer Israel menjatuhkan selebaran yang memerintahkan para pengungsi dan penduduk Rafah untuk pergi.

Dalam perintah yang memerintahkan orang-orang untuk keluar dari Rafah, militer Israel mengatakan mereka “akan beroperasi dengan pasukan” melawan pejuang Hamas di daerah tersebut.

Perkiraan PBB menyebutkan ada 1,2 juta orang berlindung dalam kondisi yang mengerikan di Rafah, kota selatan Gaza.

“Kelaparan besar-besaran yang terjadi di bagian utara Gaza telah menyebar ke bagian selatan,” ungkap Cindy McCain, kepala Program Pangan Dunia (WFP), pada akhir pekan lalu.

Ada sekitar 200 warga Palestina yang terpaksa mengungsi dari Rafah setiap jamnya, menurut Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (Unrwa) pada hari Rabu (8/5/2024).

Dalam konferensi pers online, para dokter dan pekerja bantuan kemanusiaan yang melaporkan dari Gaza berbicara tentang mustahilnya memindahkan orang dari Rafah, karena orang-orang dilanda kelaparan, ditambah dengan runtuhnya sistem transportasi dan layanan kesehatan.

"Ada anak-anak dan orang tua yang sangat kelaparan sehingga mereka hampir tidak bisa berjalan. Orang-orang ini tidak bisa begitu saja pindah ke daerah lain, ke tempat yang disebut 'zona aman'. Itu tidak mungkin," ujar Alexandra Saieh, kepala kebijakan kemanusiaan dari Save the Children.

Beberapa pekerja bantuan telah menyatakan, “Tidak ada daerah yang aman di Jalur Gaza untuk direlokasi.”

“Konsep zona aman adalah sebuah kebohongan,” ujar Helena Marchal, dari Medecins du Monde.

Pasukan Israel makin barbar dengan membunuh lebih dari 34.700 warga Palestina di Jalur Gaza, melukai lebih dari 78.000 orang, yang sebagian besar wanita dan anak-anak.

Pembatasan Gerak


Pekerja bantuan juga menegaskan kembali sulitnya memasukkan bantuan ke Gaza dan kemudian mendistribusikannya.

Penyeberangan Rafah dan Kerem Shalom, yang dilalui sebagian besar bantuan mencapai Jalur Gaza yang terkepung, telah ditutup sejak Minggu malam.

Jalan-jalan di Gaza sebagian besar hancur atau diblokir oleh orang-orang yang berlindung, sehingga berkontribusi terhadap sulitnya pergerakan barang dan orang.

“Hanya sejumlah kecil rute, terutama antara utara dan selatan, yang tersedia untuk keperluan kemanusiaan,” papar Jeremy Konyndyk, dari Refugees International.

Masalah lainnya adalah kepadatan yang berlebihan. “Di Deir al-Balah dan daerah Mawasi di pinggiran Kegubernuran Rafah dan Khan Younis, hampir tidak ada tempat. Ada tenda di mana-mana, di pantai, di trotoar, di jalan, di kuburan, di halaman rumah sakit, di halaman sekolah,” papar Ghada Alhaddad, dari Oxfam International.

Saieh menjelaskan timnya membutuhkan waktu enam pekan dan empat kali gagal untuk memindahkan beberapa ratus paket makanan dari Rafah ke utara Gaza.

"Satu liter bahan bakar berharga USD40 kemarin," ungkap Ranchal.

Bahan bakar masuk melalui penyeberangan Rafah. “Seluruh operasi bantuan menggunakan bahan bakar. Jika bahan bakar dihentikan, operasi bantuan akan gagal,” ujar Konyndyk.

Malnutrisi Parah


Profesor John Maynard, ahli bedah dari Inggris yang telah menghabiskan dua pekan terakhir mengoperasi warga Palestina di Gaza, menyoroti komplikasi akibat langsung dari kekurangan gizi.

“Saya mempunyai dua pasien, 16 dan 18 tahun, keduanya menderita luka yang masih bisa disembuhkan, dan keduanya meninggal pekan lalu akibat kekurangan gizi,” ujar dia.

Rekannya, Dr Kahler, berbicara tentang “titik kritis” setelah enam-delapan bulan, “sistem imunologi rusak”.

“Pada saat itulah infeksi dan komplikasi akibat malnutrisi akan dimulai,” ungkap dia.

Kelaparan, jelas seorang pekerja bantuan, memerlukan tiga ambang batas: kurangnya akses terhadap makanan yang berkepanjangan dan parah, tingginya tingkat kekurangan gizi pada anak-anak, dan tingginya angka kematian akibat kelaparan dan penyakit.

Semua ambang batas di utara telah dilewati, menurut Konyndyk. “Jika terjadi invasi Rafah, hal ini tentu akan membuat segalanya melewati titik kritis, dan kita akan melihat meroketnya angka kematian akibat kelaparan,” papar dia.

(sya)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0940 seconds (0.1#10.140)