Keselamatan Terancam, Pengungsi Rohingya Tidak Bisa Kembali ke Myanmar
A
A
A
DHAKA - Seorang utusan PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) mengatakan bahwa ratusan ribu pengungsi Muslim Rohingya tidak akan dapat kembali ke Myanmar segera. Hal itu dikarenakan adanya ancaman terhadap keselamatan mereka di negara mayoritas Buddha itu.
Myanmar telah dikritik oleh kelompok-kelompok hak asasi global dan banyak negara karena aksi kekerasan yang didukung negara terhadap etnis minoritas.
Yanghee Lee, pelapor khusus HAM di Myanmar, juga mengkritik India dan Arab Saudi karena menganiaya pengungsi Rohingya di negara-negara tersebut.
Lee menghabiskan 10 hari di Thailand dan Bangladesh , berbicara dengan para pengungsi yang tinggal di Bangladesh, pihak berwenang, badan-badan PBB dan para pakar internasional. Lebih dari 700 ribu pengungsi Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh sejak akhir Agustus 2017.
"Jelas bahwa pengungsi Rohingya di Bangladesh tidak dapat kembali ke Myanmar dalam waktu dekat," katanya seperti dikutip dari AP, Sabtu (26/1/2019).
Ia mengatakan kekerasan terhadap Rohingya oleh tentara Myanmar di negara bagian Rakhine yang mendorong mereka untuk melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh menanggung ciri khas genosida. Myanmar telah berulang kali menolak permintaannya untuk mengizinkannya mengunjungi negara itu.
Lee mengatakan kekerasan terhadap kelompok minoritas lain juga harus berakhir di Myanmar.
"Kampanye kekerasannya terhadap etnis minoritas, termasuk Rohingya, Kayin, Kachin, dan Shan, harus diakhiri," katanya.
"Harus ada pertanggungjawaban untuk kampanye pembersihan etnis dan kemungkinan genosida terhadap Rohingya, serta kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan terhadap etnis minoritas di seluruh negeri," imbuhnya.
Lee mengatakan bahwa dia terganggu oleh laporan kekerasan baru di negara bagian Rakhine dan dia menuduh Myanmar gagal menciptakan lingkungan yang damai sehingga para pengungsi dapat kembali dari Bangladesh.
"Kampanye kekerasan terhadap Rohingya terus berlanjut, dengan pasukan keamanan perlahan-lahan bersimbah darah penduduk Rohingya yang tersisa dan terus memaksa mereka untuk melarikan diri ke Bangladesh," ujarnya.
Lee mengatakan dia kecewa dengan deportasinya 13 pengungsi Rohingya baru-baru ini dari Arab Saudi ke Bangladesh, di mana mereka telah ditangkap dan dituduh memalsukan paspor yang mereka gunakan untuk bepergian ke Arab Saudi.
Sekitar 1.300 Rohingya baru-baru ini tiba di Bangladesh dari India, kata pejabat Bangladesh awal pekan ini. Sebanyak 61 Muslim Rohingya lainnya, termasuk banyak diantaranya anak-anak, ditangkap awal pekan ini oleh India di negara bagian timur laut Assam dan Tripura. India berulang kali menolak seruan PBB terhadap keputusan untuk mengirim kembali setidaknya 40.000 Rohingya ke Myanmar.
Bangladesh berusaha memulai repatriasi pada November tahun lalu di bawah kesepakatan dengan Myanmar meskipun ada keberatan dari PBB dan kelompok-kelompok HAM global lainnya yang menyatakan kondisi di Myanmar tidak aman bagi Rohingya, yang mengatakan siap menerima mereka. Bangladesh kemudian menunda prosesnya.
Eksodus Rohingya dimulai setelah pasukan keamanan Myanmar melancarkan penumpasan brutal menyusul serangan oleh kelompok pemberontak di pos-pos penjagaan pada akhir Agustus 2017. Skala, organisasi dan keganasan penumpasan itu membuat PBB dan beberapa pemerintah menuduh Myanmar melakukan pembersihan etnis dan genosida. Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina telah memerintahkan penjaga perbatasan untuk membuka perbatasan yang memungkinkan para pengungsi Rohingya untuk masuk.
Myanmar telah menolak semua tuduhan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Kelompok-kelompok hak asasi global telah menyerukan agar para pejabat militer negara itu diadili atas peran mereka dalam pembunuhan dan pemerkosaan di Rohingya.
Kebanyakan orang di Myanmar tidak menerima bahwa Muslim Rohingya adalah kelompok etnis asli negara itu, menyebut mereka sebagai "orang Bengal" yang masuk dari Bangladesh berabad-abad yang lalu. Hampir semua telah ditolak kewarganegaraannya sejak tahun 1982, serta menutup akses untuk pendidikan dan rumah sakit.
Myanmar telah dikritik oleh kelompok-kelompok hak asasi global dan banyak negara karena aksi kekerasan yang didukung negara terhadap etnis minoritas.
Yanghee Lee, pelapor khusus HAM di Myanmar, juga mengkritik India dan Arab Saudi karena menganiaya pengungsi Rohingya di negara-negara tersebut.
Lee menghabiskan 10 hari di Thailand dan Bangladesh , berbicara dengan para pengungsi yang tinggal di Bangladesh, pihak berwenang, badan-badan PBB dan para pakar internasional. Lebih dari 700 ribu pengungsi Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh sejak akhir Agustus 2017.
"Jelas bahwa pengungsi Rohingya di Bangladesh tidak dapat kembali ke Myanmar dalam waktu dekat," katanya seperti dikutip dari AP, Sabtu (26/1/2019).
Ia mengatakan kekerasan terhadap Rohingya oleh tentara Myanmar di negara bagian Rakhine yang mendorong mereka untuk melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh menanggung ciri khas genosida. Myanmar telah berulang kali menolak permintaannya untuk mengizinkannya mengunjungi negara itu.
Lee mengatakan kekerasan terhadap kelompok minoritas lain juga harus berakhir di Myanmar.
"Kampanye kekerasannya terhadap etnis minoritas, termasuk Rohingya, Kayin, Kachin, dan Shan, harus diakhiri," katanya.
"Harus ada pertanggungjawaban untuk kampanye pembersihan etnis dan kemungkinan genosida terhadap Rohingya, serta kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan terhadap etnis minoritas di seluruh negeri," imbuhnya.
Lee mengatakan bahwa dia terganggu oleh laporan kekerasan baru di negara bagian Rakhine dan dia menuduh Myanmar gagal menciptakan lingkungan yang damai sehingga para pengungsi dapat kembali dari Bangladesh.
"Kampanye kekerasan terhadap Rohingya terus berlanjut, dengan pasukan keamanan perlahan-lahan bersimbah darah penduduk Rohingya yang tersisa dan terus memaksa mereka untuk melarikan diri ke Bangladesh," ujarnya.
Lee mengatakan dia kecewa dengan deportasinya 13 pengungsi Rohingya baru-baru ini dari Arab Saudi ke Bangladesh, di mana mereka telah ditangkap dan dituduh memalsukan paspor yang mereka gunakan untuk bepergian ke Arab Saudi.
Sekitar 1.300 Rohingya baru-baru ini tiba di Bangladesh dari India, kata pejabat Bangladesh awal pekan ini. Sebanyak 61 Muslim Rohingya lainnya, termasuk banyak diantaranya anak-anak, ditangkap awal pekan ini oleh India di negara bagian timur laut Assam dan Tripura. India berulang kali menolak seruan PBB terhadap keputusan untuk mengirim kembali setidaknya 40.000 Rohingya ke Myanmar.
Bangladesh berusaha memulai repatriasi pada November tahun lalu di bawah kesepakatan dengan Myanmar meskipun ada keberatan dari PBB dan kelompok-kelompok HAM global lainnya yang menyatakan kondisi di Myanmar tidak aman bagi Rohingya, yang mengatakan siap menerima mereka. Bangladesh kemudian menunda prosesnya.
Eksodus Rohingya dimulai setelah pasukan keamanan Myanmar melancarkan penumpasan brutal menyusul serangan oleh kelompok pemberontak di pos-pos penjagaan pada akhir Agustus 2017. Skala, organisasi dan keganasan penumpasan itu membuat PBB dan beberapa pemerintah menuduh Myanmar melakukan pembersihan etnis dan genosida. Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina telah memerintahkan penjaga perbatasan untuk membuka perbatasan yang memungkinkan para pengungsi Rohingya untuk masuk.
Myanmar telah menolak semua tuduhan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Kelompok-kelompok hak asasi global telah menyerukan agar para pejabat militer negara itu diadili atas peran mereka dalam pembunuhan dan pemerkosaan di Rohingya.
Kebanyakan orang di Myanmar tidak menerima bahwa Muslim Rohingya adalah kelompok etnis asli negara itu, menyebut mereka sebagai "orang Bengal" yang masuk dari Bangladesh berabad-abad yang lalu. Hampir semua telah ditolak kewarganegaraannya sejak tahun 1982, serta menutup akses untuk pendidikan dan rumah sakit.
(ian)