Pengungsi Palestina Perlu Dana Rp2,8 Triliun

Rabu, 26 September 2018 - 11:03 WIB
Pengungsi Palestina Perlu Dana Rp2,8 Triliun
Pengungsi Palestina Perlu Dana Rp2,8 Triliun
A A A
NEW YORK - Badan Pekerja dan Pemulihan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNRWA) menyatakan sekolah-sekolah dan pusat kesehatan pengungsi Palestina terancam berhenti beroperasi jika tak mendapat bantuan dana.

Dibutuhkan dana sebesar USD185 juta (Rp2,8 triliun) agar sekolah-sekolah dan pusat kesehatan itu tetap beroperasi hingga akhir tahun ini. “Saat ini kami memiliki uang di bank yang akan cukup hingga pertengahan Oktober,” kata Pierre Krahenbuhl, Komisioner Jenderal UNRWA di New York saat para pemimpin dunia menghadiri Sidang Umum PBB, kemarin.

“Tapi jelas bahwa kami masih perlu sekitar USD185 juta agar dapat memastikan semua layanan kami, sistem pendidikan, layanan kesehatan, pemulihan dan sosial serta pekerjaan darurat kami di Suriah dan Gaza khususnya dapat berlanjut hingga akhir tahun,” ujar Krahenbuhl, dikutip kantor berita Reuters.

Amerika Serikat (AS) bulan lalu mengumumkan menghentikan bantuan untuk UNRWA yang memicu ketegangan antara pemimpin Palestina dan pemerintahan Presiden AS Donald Trump.

UNRWA menyediakan layanan pada sekitar 5 juta pengungsi Palestina di Yordania, Lebanon, Suriah, Tepi Barat dan Gaza. Sebagian besar adalah keturunan sekitar 700.000 warga Palestina yang terusir dari rumah mereka saat perang 1948 yang memicu lahirnya Israel.

Washington menyebut bertambahnya jumlah pengungsi Palestina dalam keputusan penghentian pendanaannya. AS selama ini menjadi pendonor terbesar UNRWA.

Dalam pemerintahan AS sekarang, rakyat Palestina semakin teralienasi dengan berbagai langkah Washington seperti mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Kebijakan ini mengubah posisi AS sepanjang sejarah.

Langkah itu membuat para pemimpin Palestina memboikot upaya perdamaian AS di Timur Tengah yang dipimpin Jared Kushner, penasehat senior dan menantu Trump.

Krahenbuhl membandingkan hak kembali pengungsi Palestina dengan pengungsi Muslim Rohingya yang terusir dari Myanmar dan kini tinggal di Bangladesh. Krahenbuhl juga menyamakan dengan kembalinya pengungsi Muslim Bosnia ke wilayah yang berada dalam kontrol Serbia pada 1990-an.

“Jadi satu-satunya pertanyaan ialah mengapa pengungsi Palestina menjadi satu masyarakat yang pertanyaan ini tidak boleh ditanyakan,” tegas Krahenbuhl.

Sementara itu, ketegangan masih terjadi di perbatasan antara Israel dan Gaza. Tentara Israel kembali menembak mati seorang pria Palestina dan melukai puluhan orang lainnya saat mereka berunjuk rasa dekat perbatasan pada Senin (24/9).

Pejabat kesehatan Gaza menyatakan sebanyak 90 orang terluka, 10 orang terkena peluru tajam. Sejak warga Gaza menggelar unjuk rasa pada 30 Maret, tentara Israel telah menewaskan 184 warga Palestina. Seorang sniper Gaza menewaskan satu tentara Israel.

Seorang warga Palestina tewas dan puluhan orang lainnya terluka saat tentara Israel melepas tembakan ke arah para demonstran di perbatasan pada Jumat (21/9).

Pesawat Israel juga melancarkan serangan udara di Gaza. Saksi mata menyatakan posisi Hamas terkena serangan udara Israel di Jalur Gaza.

Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan satu warga Palestina tewas dan 54 orang lainnya terluka akibat peluru tajam tentara Israel. Sejak warga Gaza menggelar unjuk rasa pada 30 Maret, tentara Israel telah menewaskan 183 warga Palestina dan melukai ribuan orang lainnya. Berbagai kecaman internasional tak menyurutkan tindakan brutal tentara Israel pada rakyat Palestina.

Di desa Khan al-Ahmar, Tepi Barat, warga Palestina menolak ultimatum Israel agar segera meninggalkan desa tersebut pada 1 Oktober. Penolakan ini muncul setelah Israel kemarin memperingatkan warga Palestina di sana membongkar rumah mereka dalam delapan hari dan meninggalkan wilayah itu.

Peringatan itu muncul hanya beberapa pekan setelah Mahkamah Agung (MA) Israel menolak gugatan banding warga Palestina untuk menolak penggusuran paksa tersebut.

“Sesuai keputusan MA, warga Khan al-Ahmar menerima peringatan hari ini yang mengharuskan mereka menghancurkan semua struktur di lokasi itu pada 1 Oktober 2018. Jika Anda menolak, otoritas akan menerapkan perintah penghancuran sesuai keputusan pengadilan dan hukum,” ungkap pernyataan unit Kementerian Pertahanan Israel untuk urusan sipil Tepi Barat, dikutip Al Jazeera.

Awal bulan ini, Inggris, Prancis, Jerman, Italia dan Spanyol memperbarui seruan pada Israel agar tidak menghancurkan desa itu. Mereka memperingatkan konsekuensi tindakan Israel pada warga desa, serta prospek solusi dua negara.

“Tak seorang pun akan pergi. Kami akan diusir dengan pasukan. Jika kami ingin mengambil inisiatif ini kami akan mengambilnya 30 tahun silam, berbagai insentif terus datang tapi kami semua menolak. Kami tetap tinggal di tanah kami, kami tidak akan pergi kecuali dengan pasukan,” papar juru bicara warga desa Eid Abu Khamis.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3981 seconds (0.1#10.140)