Siapa Mohammad Mustafa? Kandidat Kuat PM Palestina yang Fokus Bangun Rekonsiliasi dengan Hamas
loading...
A
A
A
GAZA - Ekonom dan mantan wakil perdana menteri Mohammad Mustafa diperkirakan akan ditunjuk sebagai perdana menteri (PM) Otoritas Palestina berikutnya oleh Presiden Mahmoud Abbas. Itu menjadi bagian dari rencana yang sedang berkembang untuk pemerintahan pascaperang di Gaza dan Tepi Barat.
Jabatan tersebut saat ini kosong setelah Mohammed Shtayyeh mengundurkan diri sebagai perdana menteri pada bulan Februari untuk memberi jalan bagi pemerintahan teknokratis yang terdiri dari para ahli dan pengusaha.
Mustafa, yang bekerja di Bank Dunia selama 15 tahun dan menjadi wakil perdana menteri PA dari tahun 2013 hingga 2014, dikatakan mendapat dukungan dari sekutu dekatnya, Abbas.
Dikutip oleh The Times of Israel mengatakan Mustafa telah bertemu dengan calon anggota kabinet dalam beberapa pekan terakhir dan telah melakukan tur ke Washington.
Pengumuman tersebut diperkirakan akan dilakukan dalam beberapa hari mendatang dan akan memulai sebuah proses yang dapat membuat Abbas, presiden PA yang sudah berkuasa selama 16 tahun, mundur.
Laporan bulan Januari dari The New York Times mengutip para pejabat Arab, Israel, dan AS yang membahas rencana Gaza pascaperang untuk mengalihkan kekuasaan dari Abbas ke perdana menteri baru, sehingga presiden hanya menjalankan peran seremonial.
Sepanjang masa jabatannya, Abbas yang berusia 88 tahun menjadi tidak populer di dalam negeri dan membuat diplomat internasional frustrasi atas ketidakmampuannya melaksanakan reformasi di Otoritas Palestina, yang telah lama dirundung tuduhan korupsi.
Selain itu, Abbas telah meninggalkan perekonomian Palestina dalam kesulitan yang membuat masyarakat di dalam negeri merasa tidak puas dan menghadapi kritik karena kolusinya dengan Israel.
Mustafa yang berpendidikan Amerika tidak bersekutu dengan Fatah atau Hamas dan karena itu netralitasnya menarik bagi tokoh-tokoh Palestina dan regional yang berharap untuk membentuk pemerintahan untuk menjembatani pemerintahan yang terpecah di Gaza dan Tepi Barat.
Namun para pengamat menunjukkan bahwa kedekatannya dengan presiden yang akan segera habis masa jabatannya dapat mengurangi upaya reformasi PA.
Ada harapan bahwa PA akan kembali memerintah Gaza dan Tepi Barat setelah partai Fatah pimpinan Abbas kehilangan kendali atas Gaza pada tahun 2007.
Para pejabat Fatah dan Hamas telah bertemu di Moskow dalam beberapa pekan terakhir untuk membahas langkah selanjutnya bagi persatuan Palestina, sementara Abbas dilaporkan berada di Turki dan Qatar untuk berkonsultasi.
Mustafa sebelumnya bekerja untuk pemerintah Saudi dan Kuwait dalam peran penasihat ekonomi dan saat ini mengepalai Dana Investasi Palestina, sebuah perusahaan investasi swasta yang berupaya memperkuat perekonomian lokal.
Diharapkan ia bisa menjadi tokoh yang mengikat untuk memulai pembangunan kembali Gaza setelah lima bulan pemboman Israel yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pekan lalu, Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mengatakan bahwa rekonstruksi Gaza akan menelan biaya USD90 miliar.
Jabatan tersebut saat ini kosong setelah Mohammed Shtayyeh mengundurkan diri sebagai perdana menteri pada bulan Februari untuk memberi jalan bagi pemerintahan teknokratis yang terdiri dari para ahli dan pengusaha.
Mustafa, yang bekerja di Bank Dunia selama 15 tahun dan menjadi wakil perdana menteri PA dari tahun 2013 hingga 2014, dikatakan mendapat dukungan dari sekutu dekatnya, Abbas.
Dikutip oleh The Times of Israel mengatakan Mustafa telah bertemu dengan calon anggota kabinet dalam beberapa pekan terakhir dan telah melakukan tur ke Washington.
Pengumuman tersebut diperkirakan akan dilakukan dalam beberapa hari mendatang dan akan memulai sebuah proses yang dapat membuat Abbas, presiden PA yang sudah berkuasa selama 16 tahun, mundur.
Laporan bulan Januari dari The New York Times mengutip para pejabat Arab, Israel, dan AS yang membahas rencana Gaza pascaperang untuk mengalihkan kekuasaan dari Abbas ke perdana menteri baru, sehingga presiden hanya menjalankan peran seremonial.
Sepanjang masa jabatannya, Abbas yang berusia 88 tahun menjadi tidak populer di dalam negeri dan membuat diplomat internasional frustrasi atas ketidakmampuannya melaksanakan reformasi di Otoritas Palestina, yang telah lama dirundung tuduhan korupsi.
Baca Juga
Selain itu, Abbas telah meninggalkan perekonomian Palestina dalam kesulitan yang membuat masyarakat di dalam negeri merasa tidak puas dan menghadapi kritik karena kolusinya dengan Israel.
Mustafa yang berpendidikan Amerika tidak bersekutu dengan Fatah atau Hamas dan karena itu netralitasnya menarik bagi tokoh-tokoh Palestina dan regional yang berharap untuk membentuk pemerintahan untuk menjembatani pemerintahan yang terpecah di Gaza dan Tepi Barat.
Namun para pengamat menunjukkan bahwa kedekatannya dengan presiden yang akan segera habis masa jabatannya dapat mengurangi upaya reformasi PA.
Ada harapan bahwa PA akan kembali memerintah Gaza dan Tepi Barat setelah partai Fatah pimpinan Abbas kehilangan kendali atas Gaza pada tahun 2007.
Para pejabat Fatah dan Hamas telah bertemu di Moskow dalam beberapa pekan terakhir untuk membahas langkah selanjutnya bagi persatuan Palestina, sementara Abbas dilaporkan berada di Turki dan Qatar untuk berkonsultasi.
Mustafa sebelumnya bekerja untuk pemerintah Saudi dan Kuwait dalam peran penasihat ekonomi dan saat ini mengepalai Dana Investasi Palestina, sebuah perusahaan investasi swasta yang berupaya memperkuat perekonomian lokal.
Diharapkan ia bisa menjadi tokoh yang mengikat untuk memulai pembangunan kembali Gaza setelah lima bulan pemboman Israel yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pekan lalu, Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mengatakan bahwa rekonstruksi Gaza akan menelan biaya USD90 miliar.
(ahm)