Perbatasan Rafah Milik Siapa? Jalur Kontroversial antara Gaza dan Mesir
loading...
A
A
A
RAFAH - Perbatasan Rafah adalah satu-satunya titik penyeberangan antara Mesir dan Jalur Gaza. Gaza sendiri merupakan wilayah yang dikuasai kelompok Hamas sejak tahun 2007.
Keberadaan perbatasan ini mengandung sejarah yang panjang dan rumit, serta menjadi salah satu titik konflik dan krisis kemanusiaan bagi warga Palestina di Gaza.
Perbatasan Rafah Gaza pertama kali ditetapkan pada tahun 1906, ketika Kesultanan Utsmaniyah dan Inggris membuat perjanjian untuk membagi wilayah antara Palestina yang dikuasai Utsmaniyah dan Mesir yang dikuasai Inggris, dari Taba hingga Rafah.
Setelah Israel mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1948, perang meletus antara Israel dan negara-negara Arab, termasuk Mesir.
Pada tahun 1949, gencatan senjata ditandatangani, dan garis gencatan senjata ditetapkan sebagai batas antara Israel dan Mesir, yang melintasi Rafah.
Kemudian pada tahun 1967, Israel menduduki Jalur Gaza, termasuk Rafah, setelah perang enam hari melawan negara-negara Arab.
Rezim kolonial Israel kemudian membangun permukiman dan infrastruktur di wilayah tersebut, serta mengendalikan pergerakan orang dan barang melalui perbatasan Rafah.
Setelah itu, pada tahun 1979, Israel dan Mesir menandatangani perjanjian damai, yang mengakui kedaulatan Mesir atas Sinai, tetapi tidak mengubah status Jalur Gaza.
Perbatasan Rafah tetap berada di bawah kendali Israel, meskipun Mesir diberikan peran pengawasan.
Pada tahun 2005, Israel secara sepihak menarik pasukan dan permukimannya dari Jalur Gaza, dan menyerahkan kendali wilayah tersebut kepada Otoritas Palestina.
Perbatasan Rafah kemudian dikelola Uni Eropa (UE), dengan persetujuan Israel dan Mesir, berdasarkan Perjanjian Akses dan Gerakan tahun 2005.
Selanjutnya, pada tahun 2007, Hamas mengambil alih pemerintahan di Jalur Gaza, setelah konflik bersenjata dengan Fatah, faksi lain dalam Otoritas Palestina.
Israel dan Mesir kemudian menutup perbatasan Rafah, dan menjadikan Gaza sebagai wilayah yang terkepung.
Perbatasan Rafah saat ini menjadi jalur hidup bagi warga Gaza, yang menghadapi keterbatasan akses ke sumber daya, layanan penting, dan peluang hidup di luar wilayah mereka.
Perbatasan ini juga menjadi saluran utama untuk bantuan kemanusiaan, yang sangat dibutuhkan di tengah krisis ekonomi, sosial, dan kesehatan yang dialami Gaza akibat genosida oleh Israel.
Namun, perbatasan Rafah tidak selalu terbuka, dan seringkali ditutup tanpa pemberitahuan atau penjelasan oleh pihak Mesir.
Israel juga tampaknya masih menjadi penentu utama kapan perbatasan Rafah boleh dibuka oleh Mesir dan siapa saja serta barang apa saja yang dapat melintas.
Hal ini menyebabkan ketidakpastian dan kesulitan bagi warga Gaza yang ingin bepergian, berdagang, atau mendapatkan perawatan medis di luar Gaza akibat serangan brutal Israel sekarang.
Selain itu, saat ini perbatasan Rafah juga menjadi sasaran serangan dari Israel. Sejak Oktober 2023 hingga, Israel melancarkan serangan udara ke wilayah perbatasan Rafah.
Israel memperketat blokade di Jalur Gaza, termasuk perbatasan Rafah. Serangan Israel hingga saat ini telah menewaskan lebih dari 28.000 warga Palestina.
Perbatasan Rafah merupakan isu yang sensitif dan kompleks, yang melibatkan berbagai kepentingan dan aktor, baik lokal maupun internasional.
Keberadaan perbatasan ini tidak hanya berkaitan dengan status politik dan keamanan Gaza, tetapi juga dengan hak asasi manusia dan kesejahteraan warga Palestina.
Untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan, perlu ada dialog dan kerjasama antara semua pihak yang terlibat, termasuk Israel, Mesir, Hamas, Otoritas Palestina, Uni Eropa, dan PBB.
Perlu juga ada dukungan dan tekanan dari masyarakat internasional, untuk memastikan perbatasan Rafah dapat berfungsi sebagai jembatan, bukan sebagai penghalang, bagi perdamaian dan pembangunan di kawasan tersebut.
Selama ini, meski Mesir memiliki sebagian kendali, perbatasan Rafah masih menjadi alat Israel untuk menekan dan memblokade warga sipil Palestina di Jalur Gaza.
Keberadaan perbatasan ini mengandung sejarah yang panjang dan rumit, serta menjadi salah satu titik konflik dan krisis kemanusiaan bagi warga Palestina di Gaza.
Sejarah Perbatasan Rafah
Perbatasan Rafah Gaza pertama kali ditetapkan pada tahun 1906, ketika Kesultanan Utsmaniyah dan Inggris membuat perjanjian untuk membagi wilayah antara Palestina yang dikuasai Utsmaniyah dan Mesir yang dikuasai Inggris, dari Taba hingga Rafah.
Setelah Israel mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1948, perang meletus antara Israel dan negara-negara Arab, termasuk Mesir.
Pada tahun 1949, gencatan senjata ditandatangani, dan garis gencatan senjata ditetapkan sebagai batas antara Israel dan Mesir, yang melintasi Rafah.
Kemudian pada tahun 1967, Israel menduduki Jalur Gaza, termasuk Rafah, setelah perang enam hari melawan negara-negara Arab.
Rezim kolonial Israel kemudian membangun permukiman dan infrastruktur di wilayah tersebut, serta mengendalikan pergerakan orang dan barang melalui perbatasan Rafah.
Setelah itu, pada tahun 1979, Israel dan Mesir menandatangani perjanjian damai, yang mengakui kedaulatan Mesir atas Sinai, tetapi tidak mengubah status Jalur Gaza.
Perbatasan Rafah tetap berada di bawah kendali Israel, meskipun Mesir diberikan peran pengawasan.
Pada tahun 2005, Israel secara sepihak menarik pasukan dan permukimannya dari Jalur Gaza, dan menyerahkan kendali wilayah tersebut kepada Otoritas Palestina.
Perbatasan Rafah kemudian dikelola Uni Eropa (UE), dengan persetujuan Israel dan Mesir, berdasarkan Perjanjian Akses dan Gerakan tahun 2005.
Selanjutnya, pada tahun 2007, Hamas mengambil alih pemerintahan di Jalur Gaza, setelah konflik bersenjata dengan Fatah, faksi lain dalam Otoritas Palestina.
Israel dan Mesir kemudian menutup perbatasan Rafah, dan menjadikan Gaza sebagai wilayah yang terkepung.
Situasi Perbatasan Rafah Sekarang
Perbatasan Rafah saat ini menjadi jalur hidup bagi warga Gaza, yang menghadapi keterbatasan akses ke sumber daya, layanan penting, dan peluang hidup di luar wilayah mereka.
Perbatasan ini juga menjadi saluran utama untuk bantuan kemanusiaan, yang sangat dibutuhkan di tengah krisis ekonomi, sosial, dan kesehatan yang dialami Gaza akibat genosida oleh Israel.
Namun, perbatasan Rafah tidak selalu terbuka, dan seringkali ditutup tanpa pemberitahuan atau penjelasan oleh pihak Mesir.
Israel juga tampaknya masih menjadi penentu utama kapan perbatasan Rafah boleh dibuka oleh Mesir dan siapa saja serta barang apa saja yang dapat melintas.
Hal ini menyebabkan ketidakpastian dan kesulitan bagi warga Gaza yang ingin bepergian, berdagang, atau mendapatkan perawatan medis di luar Gaza akibat serangan brutal Israel sekarang.
Selain itu, saat ini perbatasan Rafah juga menjadi sasaran serangan dari Israel. Sejak Oktober 2023 hingga, Israel melancarkan serangan udara ke wilayah perbatasan Rafah.
Israel memperketat blokade di Jalur Gaza, termasuk perbatasan Rafah. Serangan Israel hingga saat ini telah menewaskan lebih dari 28.000 warga Palestina.
Masa Depan Perbatasan Rafah
Perbatasan Rafah merupakan isu yang sensitif dan kompleks, yang melibatkan berbagai kepentingan dan aktor, baik lokal maupun internasional.
Keberadaan perbatasan ini tidak hanya berkaitan dengan status politik dan keamanan Gaza, tetapi juga dengan hak asasi manusia dan kesejahteraan warga Palestina.
Untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan, perlu ada dialog dan kerjasama antara semua pihak yang terlibat, termasuk Israel, Mesir, Hamas, Otoritas Palestina, Uni Eropa, dan PBB.
Perlu juga ada dukungan dan tekanan dari masyarakat internasional, untuk memastikan perbatasan Rafah dapat berfungsi sebagai jembatan, bukan sebagai penghalang, bagi perdamaian dan pembangunan di kawasan tersebut.
Selama ini, meski Mesir memiliki sebagian kendali, perbatasan Rafah masih menjadi alat Israel untuk menekan dan memblokade warga sipil Palestina di Jalur Gaza.
(sya)