AS Khawatir Persaingan Ekonomi Global

Selasa, 30 Januari 2018 - 10:33 WIB
AS Khawatir Persaingan...
AS Khawatir Persaingan Ekonomi Global
A A A
JAKARTA - Isi dokumen baru Strategi Keamanan Nasional (NSS) Amerika Serikat (AS) menunjukkan Washington tampak khawatir dengan persaingan ekonomi dunia.

Laporan yang terdiri atas empat pilar itu dipenuhi dengan nilai kompetisi dengan negara lain, bukan kerja sama. AS yang terkenal sebagai kapitalis justru cemas dengan globalisasi. Di bawah kepemimpinan Presiden AS Donald Trump, dokumen NSS sangat gamblang menyebutkan nama-nama negara lengkap dengan ancamannya.

Korea Utara (Korut) misalnya disebut sebagai rogue regime (rezim penipu). Trump mengatakan akan mengerahkan dunia untuk melawan Korut dan Iran. Negara-negara lain yang tak luput dari perhatian Trump ialah Rusia, China, India, Iran, dan Pakistan.

Adapun belahan bumi lain seperti Indo-Pasifik, Eropa, Timur Tengah, Asia Tengah dan Selatan serta Afrika di sebutkan secara umum. Ekonomi Rusia dan China yang te rus tumbuh dianggap sebagai ancaman serius. “Nada untuk Pakistan juga tampak menyudutkan,” ujar mantan Wamenlu (Juli-Okto ber 2014) Dino Patti Djalal di Mayapada Tower Jakarta kemarin. “Dalam dokumen itu banyak ditemukan kata compete (persaingan). Kenapa tidak cooperation (kerja sama),” tambah pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) itu. AS merupakan negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia, yakni USD18,57 triliun, pada 2016.

Adapun China USD11,2 triliun dan Rusia USD1,283 triliun. Para pakar menyebutkan bahwa hubungan diplomatik dan perdagangan antara AS-China dan AS-Rusia merupakan hubungan bilateral paling penting.

Menurut Djalal, Presiden Trump tampak terlalu percaya diri dan ambisius untuk memenangi kompetisi bisnis dan perdagangan demi mengukuhkan gelar sebagai negara adidaya. Dalam dokumen NSS, AS menyatakan akan menjadi pemimpin di panggung dunia. Namun di sisi lain AS sangat proteksionis. Keduanya sangat kontradiktif.

“Poin lainnya yang menjadi pertanyaan saya di dalam dokumen itu ialah AS menyebutkan China telah menyebarkan fitur sistem otoriternya, termasuk korupsi. Setahu saya, Pemerintah China sangat serius menangani isu korupsi. Bahkan koruptor di sana dieksekusi mati. China tidak pernah meny barkan hal itu,” ucap Djalal.

Berdasarkan observasi awal Djalal, AS sangat berorientasi pada kekuatan keras seperti kekuatan militer dan sangat merasa tidak aman. Dalam dokumen NSS, AS juga tidak menerangkan secara jelas langkah yang akan diambil dalam menangani rezim otoriter seperti Iran, gudang senjata nuklir, dan denuklirisasi di Korut.

Senada dengan Djalal, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Siswo Pramono juga mempertanyakan pengimplementasian sistem proteksionisme dan kebijakan Trump.

Apa yang akan terjadi jika kebijakan tersebut bertentangan dengan kepentingan negara sahabat. Pada akhir tahun lalu, Trump mengakui Kota Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Namun hal itu tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat internasional, termasuk sekutu AS di Eropa. Dalam sidang di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Pemerintah AS bahkan terpaksa me ngeluarkan hak veto.

China, kata Siswo, merupakan mitra perdagangan dan investasi terbesar AS dalam beberapa tahun ke belakang. Artinya jika AS memilih mengisolasi diri dari luar dan mempersempit akses bagi China, AS juga akan ikut menderita.

“Dalam kenyataannya, AS tidak akan sanggup menghindar dari fakta ini,” katanya. AS saat ini mengagungkan kekuatan militer yang di ba ngun dari kekuatan ekonomi. AS ingin menciptakan sistem ekonomi dunia yang menguntungkan AS. Namun sektor tersebut kini dikuasai China.

AS ingin mencegah perubahan konstelasi dunia. Dalam pandangan AS, Eropa kini dikuasai Rusia, sedangkan Indo-Pasifik oleh China. Dalam isu deradikalisasi, AS dapat belajar dari Indonesia yang sudah berpengalaman.

Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi dengan menerapkan Islam yang moderat. Mantan Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk AS (2002- 2005) Soemadi Brotodiningrat mengatakan, pilar yang disebutkan di dalam NSS tidak berbeda jauh dengan pilar di Indonesia. Pilar nomor dua yang berbunyi promote American prosperity juga dikenal di Indonesia dengan memajukan kesejahteraan umum.

“Apa yang dianggap adil oleh AS memang belum tentu dianggap adil oleh negara lain,” tandas Soemadi.

Pernyataan di dalam NSS tidak mengikat secara hukum. “Apa yang ditakutkan dari dokumen ini? Ketika Wakil Presiden AS ke Indonesia, AS lebih banyak berbicara tentang kooperasi daripada kompetisi,” lanjutnya.

Philips J Vermonte, Executive Director of Centre for Strategic and International Studies (CSIS), juga mengatakan Trump sepertinya akan sukses dalam menjalin hubungan dengan Asia Tenggara. (Muh Shamil)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5550 seconds (0.1#10.140)