Tak Ada Jaminan Keamanan, PBB Desak Repatriasi Rohingya Ditinjau Ulang

Rabu, 24 Januari 2018 - 09:49 WIB
Tak Ada Jaminan Keamanan, PBB Desak Repatriasi Rohingya Ditinjau Ulang
Tak Ada Jaminan Keamanan, PBB Desak Repatriasi Rohingya Ditinjau Ulang
A A A
PALONG KHALI - Badan pengungsi PBB, UNHCR, dan sejumlah kelompok mendesak rencana pemulangan kembali pengungsi Rohingya ke Myanmar dipikirkan ulang. Muncul kekhawatiran para pengungsi dipulangkan paksa dan ketidakmampuan lembaga bantuan menjamin keamanan ratusan dari ribuan orang yang melarikan diri dari pertumpahan dari di Rakhine utara.

Seruan tersebut terjadi saat Bangladesh menunda pemulangan Rohingya ke Myanmar. Penundaan terjadi karena proses penyusunan dan verifikasi daftar orang yang akan dikirim kembali tidak lengkap.

Baca Juga: Bangladesh Umumkan Penundaan Pemulangan Pengungsi Rohingya

"Agar pemulangan dilakukan (dengan benar) agar bisa berkelanjutan, benar-benar layak ... Anda harus benar-benar menangani sejumlah masalah yang untuk saat ini kami tidak pernah mendengar apapun," ujar kepala UNHCR Filippo Grandi mengatakan di Jenewa, mencatat bahwa isu-isu seperti kewarganegaraan belum ditangani dinukil dari Reuters, Rabu (24/1/2018).

Lebih dari 688 ribu Muslim Rohingya dan beberapa ratus Hindu Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh sejak 25 Agustus tahun lalu setelah militer Myanmar bertindak keras di bagian utara negara bagian Rakhine, di tengah laporan saksi pembunuhan, penjarahan dan pemerkosaan, sebagai tanggapan atas serangan militan pada pasukan keamanan

Grandi mengatakan bahwa penting untuk menetapkan mekanisme pemantauan di Rakhine bagi mereka yang kembali dan mencatat bahwa UNHCR saat ini tidak memiliki kemampuan untuk bergerak bebas serta melakukan peran ini di sana.

Myanmar dan Bangladesh sepakat pada awal bulan ini untuk menyelesaikan repatriasi sukarela para pengungsi dalam waktu dua tahun. Myanmar mengatakan telah mendirikan dua pusat penerimaan pengungsi dan sebuah kamp sementara di dekat perbatasan di Rakhine untuk menerima kedatangan pertama.

Human Rights Watch (HRW), sebuah organisasi non-pemerintah, pada hari Selasa mengatakan bahwa Bangladesh harus menangguhkan rencana tersebut sepenuhnya karena hal itu mengancam keamanan dan kesejahteraan para pengungsi.

Rencana tersebut telah memicu kekhawatiran di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh bahwa orang-orang mungkin dipaksa untuk kembali meskipun tidak memiliki jaminan seputar keamanan mereka.

"Kami tidak melakukan apapun dengan terburu-buru. Kami bekerja keras untuk memastikan keamanan mereka, bermartabat dan berkelanjutan kembali ke tanah air mereka. Kami tidak akan mengirim siapapun sampai lingkungan yang kondusif diciptakan untuk mereka," ucap seorang pejabat Bangladesh, yang berpartisipasi dalam pembicaraan pemulangan dengan Myanmar, kepada Reuters pada hari Selasa lalu.

Ia mengatakan bahwa sekitar 6.000 pengungsi, yang saat ini berada di tanah tak bertuan di antara kedua negara, kemungkinan akan menjadi yang pertama dikirim ke kamp-kamp yang didirikan di Myanmar.

Pejabat di Myanmar mengatakan bahwa mereka siap untuk memulai proses repatriasi.

"Kami sekarang berada di perbatasan yang siap menerima, jika orang-orang Bangladesh membawa mereka ke pihak kita," ujar Kyaw Tin, Menteri Kerja Sama Internasional, kepada wartawan di Naypyidaw, Ibu Kota Myanmar.

Ia mengatakan Myanmar siap menerima 300 orang per hari untuk permulaan. Ia mengatakan pemulangan akan berlangsung lima hari dalam seminggu, dan kemudian ditinjau ulang setelah tiga bulan untuk melihat apakah bisa dipercepat.

Menteri Kesejahteraan Sosial, Bantuan dan Pemukiman Kembali Myanmar, Win Myat Aye, mengatakan pemulangan tersebut akan berlangsung dalam dua tahun ke depan, atau mungkin kurang.

"Siapa pun yang memenuhi syarat, kita akan menerimanya," katanya.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4029 seconds (0.1#10.140)