Netanyahu dan Putin Cekcok, Israel Tak Senang Sikap Rusia soal Perang Gaza
loading...
A
A
A
TEL AVIV - Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu cekcok dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam percakapan telepon 50 menit. Dalam percakapan tersebut, pemimpin Zionis menyampaikan ketidaksenangannya atas sikap Rusia dalam perang di Gaza, Palestina.
Mengutip laporan Reuters, Senin (11/12/2023), Netanyahu mengkritik kerja sama berbahaya Moskow dengan Teheran dan menolak kritik keras Rusia terhadap perang Israel melawan Hamas di Gaza. Percakapan telepon di tengah ketegangan kedua negara itu berlangsung pada hari Minggu.
Netanyahu menyatakan ketidaksenangannya atas dukungan Rusia terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata tanpa melibatkan kecaman atas serangan Hamas pada 7 Oktober yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan 240 lainnya disandera.
Amerika Serikat (AS) memveto resolusi tersebut. Inggris abstain. Sedangkan Rusia, China, dan Prancis mendukung resolusi seruan gencatan senjata. Kelima negara tersebut adalah anggota tetap DK PBB dan mereka semua mempunyai hak veto, namun hanya Amerika Serikat yang menggunakannya.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan kepada Forum Doha secara virtual bahwa negaranya mengecam keras serangan 7 Oktober. “Namun, kami tidak percaya bahwa menggunakan peristiwa ini untuk hukuman kolektif terhadap jutaan rakyat Palestina dengan penembakan tanpa pandang bulu terhadap wilayah sipil tidak dapat diterima,” kata Lavrov.
Otoritas kesehatan Gaza mengatakan lebih dari 18.000 warga Palestina telah terbunuh dalam pengeboman brutal Israel di Gaza. Israel mengeklaim sekitar 7.000 “teroris” Hamas termasuk di antara korban jiwa tersebut.
Lavrov mengatakan resolusi DK PBB seharusnya lebih kuat namun bahkan resolusi yang diveto pun “lebih baik daripada tidak sama sekali”, seraya menyerukan komunitas internasional untuk menekan Israel agar menghentikan perang.
“Orang Amerika sangat pandai dalam membatalkan budaya. Ketika mereka tidak menyukai suatu bagian dari sejarah atau peristiwa, mereka hanya membatalkan bagian yang mendahuluinya,” kata Lavrov.
Menurut Lavrov, ada alasan mengapa warga Palestina di Gaza merasa menjadi korban.
“Satu-satunya faktor paling berbahaya yang memicu ekstremisme di Timur Tengah adalah sifat negara Palestina yang belum terselesaikan,” katanya.
Mengutip laporan Reuters, Senin (11/12/2023), Netanyahu mengkritik kerja sama berbahaya Moskow dengan Teheran dan menolak kritik keras Rusia terhadap perang Israel melawan Hamas di Gaza. Percakapan telepon di tengah ketegangan kedua negara itu berlangsung pada hari Minggu.
Netanyahu menyatakan ketidaksenangannya atas dukungan Rusia terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata tanpa melibatkan kecaman atas serangan Hamas pada 7 Oktober yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan 240 lainnya disandera.
Amerika Serikat (AS) memveto resolusi tersebut. Inggris abstain. Sedangkan Rusia, China, dan Prancis mendukung resolusi seruan gencatan senjata. Kelima negara tersebut adalah anggota tetap DK PBB dan mereka semua mempunyai hak veto, namun hanya Amerika Serikat yang menggunakannya.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan kepada Forum Doha secara virtual bahwa negaranya mengecam keras serangan 7 Oktober. “Namun, kami tidak percaya bahwa menggunakan peristiwa ini untuk hukuman kolektif terhadap jutaan rakyat Palestina dengan penembakan tanpa pandang bulu terhadap wilayah sipil tidak dapat diterima,” kata Lavrov.
Otoritas kesehatan Gaza mengatakan lebih dari 18.000 warga Palestina telah terbunuh dalam pengeboman brutal Israel di Gaza. Israel mengeklaim sekitar 7.000 “teroris” Hamas termasuk di antara korban jiwa tersebut.
Lavrov mengatakan resolusi DK PBB seharusnya lebih kuat namun bahkan resolusi yang diveto pun “lebih baik daripada tidak sama sekali”, seraya menyerukan komunitas internasional untuk menekan Israel agar menghentikan perang.
“Orang Amerika sangat pandai dalam membatalkan budaya. Ketika mereka tidak menyukai suatu bagian dari sejarah atau peristiwa, mereka hanya membatalkan bagian yang mendahuluinya,” kata Lavrov.
Menurut Lavrov, ada alasan mengapa warga Palestina di Gaza merasa menjadi korban.
“Satu-satunya faktor paling berbahaya yang memicu ekstremisme di Timur Tengah adalah sifat negara Palestina yang belum terselesaikan,” katanya.