Kisah Menyayat Hati, Keluarga Palestina Ogah Tinggalkan Rumah yang Hancur Dibom Israel
loading...
A
A
A
"Tidak ada air atau rumah untuk tinggal, dan musim dingin akan segera tiba. Kami tidak tahu bagaimana beradaptasi dan hidup," keluh Siham.
“Gencatan senjata kemanusiaan tidak cukup untuk meringankan penderitaan masyarakat. Kami berharap perdamaian dan stabilitas akan kembali dalam kehidupan kami,” paparnya.
Pada hari Jumat, jeda kemanusiaan ditetapkan selama empat hari antara Israel dan Hamas mulai berlaku pada pukul 07.00 pagi waktu setempat.
Perjanjian jeda kemanusiaan tersebut mencakup pembebasan total 50 sandera Israel dari Gaza dengan imbalan pembebasan 150 warga Palestina dari penjara Israel. Itu disertai dengan masuknya ratusan truk bermuatan bantuan kemanusiaan, bantuan medis, dan bahan bakar ke seluruh wilayah Jalur Gaza.
Perang di Gaza pecah sejak 7 Oktober setelah Hamas meluncurkan serangan besar ke Israel selatan, yang diberi nama Operasi Badai al-Qassam. Menurut pemerintah Israel, sekitar 1.200 orang tewas dan 240 lainnya disandera.
Israel kemudian membombardir Gaza nyaris tanpa henti dan ditambah dengan operasi darat. Hampir 15.000 warga Palestina tewas akibat pengeboman dan tembakan artileri Israel, termasuk 6.150 anak-anak dan lebih dari 4.000 wanita.
Sementara itu, sebuah lembaga yang bekerja untuk anak, Save the Children, melaporkan bahwa anak-anak Palestina di Gaza terus-menerus hidup dalam ketakutan akan nyawa mereka karena meningkatnya ketegangan.
Mereka yang hidup di bawah pendudukan militer Zionis, secara rutin harus menghadapi berbagai macam penolakan hak-hak dasar, seperti hak atas hidup, pendidikan, tempat tinggal yang layak, dan akses terhadap layanan kesehatan.
Hak mereka benar-benar hilang jika selamanya hidup di bawah pendudukan Israel.
Setiap tahun, sekitar 500-700 anak-anak Palestina, beberapa di antaranya berusia 12 tahun, harus ditahan dan diadili oleh sistem pengadilan militer Israel, dengan tuduhan paling umum adalah pelemparan batu.
“Gencatan senjata kemanusiaan tidak cukup untuk meringankan penderitaan masyarakat. Kami berharap perdamaian dan stabilitas akan kembali dalam kehidupan kami,” paparnya.
Pada hari Jumat, jeda kemanusiaan ditetapkan selama empat hari antara Israel dan Hamas mulai berlaku pada pukul 07.00 pagi waktu setempat.
Perjanjian jeda kemanusiaan tersebut mencakup pembebasan total 50 sandera Israel dari Gaza dengan imbalan pembebasan 150 warga Palestina dari penjara Israel. Itu disertai dengan masuknya ratusan truk bermuatan bantuan kemanusiaan, bantuan medis, dan bahan bakar ke seluruh wilayah Jalur Gaza.
Perang di Gaza pecah sejak 7 Oktober setelah Hamas meluncurkan serangan besar ke Israel selatan, yang diberi nama Operasi Badai al-Qassam. Menurut pemerintah Israel, sekitar 1.200 orang tewas dan 240 lainnya disandera.
Israel kemudian membombardir Gaza nyaris tanpa henti dan ditambah dengan operasi darat. Hampir 15.000 warga Palestina tewas akibat pengeboman dan tembakan artileri Israel, termasuk 6.150 anak-anak dan lebih dari 4.000 wanita.
Sementara itu, sebuah lembaga yang bekerja untuk anak, Save the Children, melaporkan bahwa anak-anak Palestina di Gaza terus-menerus hidup dalam ketakutan akan nyawa mereka karena meningkatnya ketegangan.
Mereka yang hidup di bawah pendudukan militer Zionis, secara rutin harus menghadapi berbagai macam penolakan hak-hak dasar, seperti hak atas hidup, pendidikan, tempat tinggal yang layak, dan akses terhadap layanan kesehatan.
Hak mereka benar-benar hilang jika selamanya hidup di bawah pendudukan Israel.
Setiap tahun, sekitar 500-700 anak-anak Palestina, beberapa di antaranya berusia 12 tahun, harus ditahan dan diadili oleh sistem pengadilan militer Israel, dengan tuduhan paling umum adalah pelemparan batu.