Mengenal Sejarah Imigran Palestina di Chile hingga Dirikan Klub Bola
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejak konflik dengan Israel pecah puluhan tahun silam, banyak warga Palestina bermigrasi ke berbagai negara. Chile menjadi salah satu negara yang menampung imigran Palestina terbanyak.
Mengutip The Independent, Chile memiliki komunitas Palestina terbesar di luar Arab. Jumlahnya diperkirakan mencapai sekitar 500.000 jiwa.
Di negara Amerika Selatan tersebut, nasib para imigran Palestina berkembang ke arah yang lebih baik. Beberapa dari mereka bahkan sukses membuat klub sepak bola yang berlaga di liga domestik.
Gelombang migrasi Palestina ke Chile terjadi sejak akhir abad 19. Demikian disampaikan Ricardo Marzuco, seorang profesor di Pusat Studi Arab di Universitas Chile.
Gelombang pertama terjadi ketika Kesultanan Ottoman runtuh pada akhir tahun 1800-an. Pada saat itu juga para pedagang Palestina mencari peluang di Amerika Latin.
Kemudian eksodus besar lainnya dimulai pada tahun 1948, ketika negara Israel dibentuk dan ratusan ribu warga Palestina mengungsi, dalam peristiwa yang mereka sebut sebagai Nakba atau “Bencana”.
Sebagai akibat dari kerugian ekonomi, ketidakstabilan dan penindasan politik yang mereka hadapi, banyak warga Palestina melakukan perjalanan ke Amerika untuk mencari peluang di negara-negara berkembang.
Seiring berjalannya waktu, komunitas Palestina di Chile kian meningkat dan berkembang. Mereka mengaku merasa betah di Land of Poets karena iklim dan suhunya yang kurang lebih sama seperti di dataran Mediterania.
Meski begitu, kedatangan gelombang imigran Palestina masa awal kerap menghadapi menghadapi xenophobia dan rasisme di Chile. Mereka sering disamakan dengan imigran Arab lainnya sebagai “Turco” atau “Turki”, sebuah istilah yang kemudian memiliki arti yang merendahkan.
Namun saat ini, warga Chili keturunan Palestina mempunyai perwakilan di beberapa kantor tertinggi pemerintahan. Bahkan ada yang berhasil menjabat sebagai wali kota yakni, Daniel Jadue dan Senator Francisco Javier Chahuán.
Dengan berkembangnya imigran Palestina di Chile, ini juga membuat mereka leluasa melakukan berbagai hal. Salah satunya adalah mendirikan klub sepak bola Deportivo Palestino.
Klub sepak bola itu didirikan pada tahun 1920 oleh imigran Palestina di Chile. Sejak 1947, mereka telah berkompetisi di liga profesional dan secara teratur menjadi pesaing utama di Primera DivisiĂłn Chile, liga teratas di negara tersebut.
Bahkan Deportivo Palestino tercatat pernah memenangkan gelar liga pada tahun 1955 dan 1978. Klub ini pernah tersendat dan berada di posisi terbawah klasemen liga.
Namun tahun ini, untuk pertama kalinya dalam empat dekade, tim tersebut lolos ke Copa Libertadores, turnamen klub kontinental bergengsi di Amerika Selatan.
Sepanjang sejarahnya, Deportivo Palestino sempat menimbulkan kontroversi pada tahun 2014 ketika federasi sepak bola Chili melarang klub tersebut menggunakan kaos yang memiliki nomor satu berbentuk peta Palestina sebelum berdirinya Israel pada 1947.
Kaos tersebut dipakai selama tiga pertandingan, menyebabkan banyak organisasi Yahudi tersinggung dan mengajukan keluhan.
Diego Khamis, direktur eksekutif Komunitas Palestina di Chile, mengatakan sepak bola berfungsi sebagai sarana untuk membangun penerimaan.
Menurut Al Jazeera, hal ini memberikan mereka sebuah platform untuk menyatukan aktivisme Palestina dengan fandom sepak bola, menjadikan slogan-slogan seperti “Bebaskan Palestina” sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari para pendukungnya.
Mengutip The Independent, Chile memiliki komunitas Palestina terbesar di luar Arab. Jumlahnya diperkirakan mencapai sekitar 500.000 jiwa.
Di negara Amerika Selatan tersebut, nasib para imigran Palestina berkembang ke arah yang lebih baik. Beberapa dari mereka bahkan sukses membuat klub sepak bola yang berlaga di liga domestik.
Sejarah Imigran Palestina di Chile
Gelombang migrasi Palestina ke Chile terjadi sejak akhir abad 19. Demikian disampaikan Ricardo Marzuco, seorang profesor di Pusat Studi Arab di Universitas Chile.
Gelombang pertama terjadi ketika Kesultanan Ottoman runtuh pada akhir tahun 1800-an. Pada saat itu juga para pedagang Palestina mencari peluang di Amerika Latin.
Kemudian eksodus besar lainnya dimulai pada tahun 1948, ketika negara Israel dibentuk dan ratusan ribu warga Palestina mengungsi, dalam peristiwa yang mereka sebut sebagai Nakba atau “Bencana”.
Sebagai akibat dari kerugian ekonomi, ketidakstabilan dan penindasan politik yang mereka hadapi, banyak warga Palestina melakukan perjalanan ke Amerika untuk mencari peluang di negara-negara berkembang.
Seiring berjalannya waktu, komunitas Palestina di Chile kian meningkat dan berkembang. Mereka mengaku merasa betah di Land of Poets karena iklim dan suhunya yang kurang lebih sama seperti di dataran Mediterania.
Meski begitu, kedatangan gelombang imigran Palestina masa awal kerap menghadapi menghadapi xenophobia dan rasisme di Chile. Mereka sering disamakan dengan imigran Arab lainnya sebagai “Turco” atau “Turki”, sebuah istilah yang kemudian memiliki arti yang merendahkan.
Namun saat ini, warga Chili keturunan Palestina mempunyai perwakilan di beberapa kantor tertinggi pemerintahan. Bahkan ada yang berhasil menjabat sebagai wali kota yakni, Daniel Jadue dan Senator Francisco Javier Chahuán.
Pendirian Klub Sepak Bola Deportivo Palestino
Dengan berkembangnya imigran Palestina di Chile, ini juga membuat mereka leluasa melakukan berbagai hal. Salah satunya adalah mendirikan klub sepak bola Deportivo Palestino.
Klub sepak bola itu didirikan pada tahun 1920 oleh imigran Palestina di Chile. Sejak 1947, mereka telah berkompetisi di liga profesional dan secara teratur menjadi pesaing utama di Primera DivisiĂłn Chile, liga teratas di negara tersebut.
Bahkan Deportivo Palestino tercatat pernah memenangkan gelar liga pada tahun 1955 dan 1978. Klub ini pernah tersendat dan berada di posisi terbawah klasemen liga.
Namun tahun ini, untuk pertama kalinya dalam empat dekade, tim tersebut lolos ke Copa Libertadores, turnamen klub kontinental bergengsi di Amerika Selatan.
Sepanjang sejarahnya, Deportivo Palestino sempat menimbulkan kontroversi pada tahun 2014 ketika federasi sepak bola Chili melarang klub tersebut menggunakan kaos yang memiliki nomor satu berbentuk peta Palestina sebelum berdirinya Israel pada 1947.
Kaos tersebut dipakai selama tiga pertandingan, menyebabkan banyak organisasi Yahudi tersinggung dan mengajukan keluhan.
Diego Khamis, direktur eksekutif Komunitas Palestina di Chile, mengatakan sepak bola berfungsi sebagai sarana untuk membangun penerimaan.
Menurut Al Jazeera, hal ini memberikan mereka sebuah platform untuk menyatukan aktivisme Palestina dengan fandom sepak bola, menjadikan slogan-slogan seperti “Bebaskan Palestina” sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari para pendukungnya.
(mas)