Invasi Israel Bunuh 8.000 Orang di Gaza, 2 Perusahaan Senjata AS Ini Raup Untung
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Kementerian Kesehatan di Gaza, Palestina, pada Minggu (22/10/2023), mengumumkan jumlah korban tewas akibat invasi Israel sejak 7 Oktober lalu telah mencapai lebih dari 8.000 orang.
Dari kengerian ini, dua perusahaan senjata Amerika Serikat (AS) berterus terang tentang keuntungan bisnis mereka.
Kedua perusahaan senjata Amerika tersebut adalah Raytheon dan General Dynamics.
Para eksekutif dari kedua kontraktor pertahanan Amerika itu mengatakan kepada investor bahwa perang brutal Israel di Gaza akan berdampak baik bagi bisnis–dengan salah satunya memperkirakan peningkatan empat kali lipat produksi artileri baru-baru ini tidak akan cukup untuk memenuhi permintaan tambahan.
Dalam beberapa minggu sejak kelompok Hamas meluncurkan serangan ke Israel yang menewaskan lebih dari 1.400 orang dan menculik ratusan lainnya, militer Israel telah menggempur Jalur Gaza dengan ribuan bom–menewaskan ribuan warga Palestina–dan memutus pasokan makanan, air, bahan bakar, dan listrik bagi penduduk.
Sebelum melakukan invasi darat, Israel telah meminta lebih dari satu juta orang untuk mengungsi dari Gaza utara–sebuah perintah yang menurut PBB “tidak mungkin dilakukan...tanpa konsekuensi kemanusiaan yang menghancurkan.”
Amerika Serikat memberikan miliaran bantuan kepada Israel setiap tahunnya, dan Presiden Joe Biden baru-baru ini meminta dana baru sebesar USD14 miliar untuk bantuan militer AS kepada Israel, selain USD61 miliar untuk Ukraina guna membantu Kyiv melawan invasi Rusia.
Para pejabat AS dilaporkan telah menyampaikan kekhawatiran bahwa Israel tidak memiliki rencana nyata untuk strategi keluar setelah melakukan invasi darat di Gaza, menurut Financial Times.
Apa pun yang terjadi, eskalasi konflik pasti akan menguntungkan kontraktor pertahanan, yang telah mengalami lonjakan bisnis akibat perang Rusia di Ukraina yang mendorong tingginya permintaan akan pesawat tempur, rudal, tank, artileri, amunisi, dan bom.
Dari kengerian ini, dua perusahaan senjata Amerika Serikat (AS) berterus terang tentang keuntungan bisnis mereka.
Kedua perusahaan senjata Amerika tersebut adalah Raytheon dan General Dynamics.
Para eksekutif dari kedua kontraktor pertahanan Amerika itu mengatakan kepada investor bahwa perang brutal Israel di Gaza akan berdampak baik bagi bisnis–dengan salah satunya memperkirakan peningkatan empat kali lipat produksi artileri baru-baru ini tidak akan cukup untuk memenuhi permintaan tambahan.
Dalam beberapa minggu sejak kelompok Hamas meluncurkan serangan ke Israel yang menewaskan lebih dari 1.400 orang dan menculik ratusan lainnya, militer Israel telah menggempur Jalur Gaza dengan ribuan bom–menewaskan ribuan warga Palestina–dan memutus pasokan makanan, air, bahan bakar, dan listrik bagi penduduk.
Sebelum melakukan invasi darat, Israel telah meminta lebih dari satu juta orang untuk mengungsi dari Gaza utara–sebuah perintah yang menurut PBB “tidak mungkin dilakukan...tanpa konsekuensi kemanusiaan yang menghancurkan.”
Amerika Serikat memberikan miliaran bantuan kepada Israel setiap tahunnya, dan Presiden Joe Biden baru-baru ini meminta dana baru sebesar USD14 miliar untuk bantuan militer AS kepada Israel, selain USD61 miliar untuk Ukraina guna membantu Kyiv melawan invasi Rusia.
Para pejabat AS dilaporkan telah menyampaikan kekhawatiran bahwa Israel tidak memiliki rencana nyata untuk strategi keluar setelah melakukan invasi darat di Gaza, menurut Financial Times.
Apa pun yang terjadi, eskalasi konflik pasti akan menguntungkan kontraktor pertahanan, yang telah mengalami lonjakan bisnis akibat perang Rusia di Ukraina yang mendorong tingginya permintaan akan pesawat tempur, rudal, tank, artileri, amunisi, dan bom.