Perekonomian China Lesu di Tengah Tingginya Pengangguran Pemuda
loading...
A
A
A
BEIJING - Perekonomian China sedang lesu dalam beberapa bulan terakhir. Salah satu manifestasi dari hal ini adalah tingginya angka pengangguran di kalangan generasi muda.
Berbicara dari Selandia Baru, dosen Senior Victoria University of Wellington, Christian Yao, mengatakan dalam sebuah analisis berita pada 9 Oktober lalu bahwa tingkat pengangguran pemuda di China sebesar 21,3 persen bukan hanya tinggi, tetapi juga mengkhawatirkan. Hal tersebut dapat berdampak pada perekonomian nasional dan juga hubungan geopolitik.
Angka pengangguran itu meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode Mei 2018 sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Secara kebetulan, angka pengangguran 21,3 persen tercatat saat Biro Statistik Nasional China mengumumkan bahwa pihaknya tidak akan lagi melaporkan data spesifik usia; dengan dalih bahwa mereka perlu "meningkatkan dan mengoptimalkan statistik survei angkatan kerja”.
Salah satu alasan meningkatnya angka pengangguran kaum muda adalah lemahnya sistem pendidikan di China. Meski sektor pendidikan tinggi berkembang pesat, terdapat ketidaksesuaian antara kurikulum universitas dan kebutuhan pasar kerja.
Program studi di universitas sering kali lebih mengutamakan teori ketimbang keterampilan praktis, sehingga lulusannya tidak memiliki bekal untuk bekerja. Mahasiswa teknik mungkin fokus pada persamaan dan teori, tetapi kehilangan penerapan di dunia nyata seperti saat menjalankan program magang.
Selain itu, pasar di China menghadapi banyaknya kandidat berkualifikasi tinggi, terutama di sektor teknologi, keuangan, dan layanan kesehatan. Ketidakseimbangan ini sekali lagi mendorong banyak orang untuk melakukan studi lebih lanjut.
Tahun ini, total 4,74 juta mahasiswa di China mengikuti ujian masuk pascasarjana, peningkatan mengejutkan sebesar 135 persen dibandingkan 2,01 juta peserta pada 2017. Siklus ini meningkatkan angka pengangguran di level nasional, dan setengahnya adalah kalangan muda.
Mengutip dari Financial Post, Sabtu (28/10/2023), Christian Yao memperingatkan bahwa dampak krisis pengangguran pemuda di China tidak boleh dianggap remeh. Berdasarkan peringatan UNICEF, tingkat pengangguran yang tinggi dapat menyebabkan kerusuhan sipil, terutama di negara-negara dengan populasi kaum muda yang besar.
Partai Komunis China telah lama mempertahankan pendekatan otoriternya dengan mendapatkan izin sosial berdasarkan stabilitas ekonomi dan kemakmuran. Jika meningkatnya pengangguran pemuda mengikis izin tersebut, China dapat mengalami kerusuhan dan pergeseran kekuasaan secara signifikan.
Dalam dunia yang terhubung secara global, gejolak seperti ini dapat berdampak pada hubungan internasional. Kerusuhan masyarakat dapat membuat suatu negara menjadi kurang stabil dan kurang menarik bagi investasi asing, terutama di negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi erat dengan China. Kerusuhan seperti ini juga dapat mengganggu rantai pasok global.
Data yang dirilis pada 13 Oktober 2023 menunjukkan perekonomian China masih stagnan, dengan penurunan harga akibat lesunya permintaan konsumen dan dunia usaha. Dibandingkan situasi tahun ini, harga konsumen tetap datar di bulan September, menurut angka yang dikeluarkan oleh Biro Statistik Nasional China, sementara harga grosir turun sebesar 2,5 persen. Ekspor dan impor juga turun di bulan September karena permintaan produk China turun di pasar luar negeri.
Pemulihan China, negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, dari guncangan pandemi Covid-19 relatif tersendat. Di awal Oktober ini, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas perkiraan pertumbuhan China, mengestimasi pertumbuhan ekonomi berada di level terendah sebesar lima persen pada 2023 dan 4,2 persen tahun depan, turun sedikit dari perkiraan konservatifnya pada Juli lalu.
IMF mengaitkan revisi perkiraan ekonomi China ini dengan melemahnya kepercayaan konsumen dan permintaan global, serta krisis di sektor properti yang berdampak besar pada aktivitas bisnis. Pada kuartal Juli hingga September tahun ini, perekonomian China tumbuh sebesar 4,9 persen secara tahunan, melambat dari tingkat pertumbuhan sebesar 6,3 persen pada tahun sebelumnya.
Angka yang dirilis pada 13 Oktober ini menunjukkan bahwa harga pangan turun sebesar 3,2 persen di bulan September, sementara harga daging babi, makanan pokok di China, turun 22 persen dari tahun sebelumnya; penurunan yang lebih tajam dibandingkan 17,9 persen pada Agustus lalu. Pemulihan permintaan konsumen domestik jauh lebih lemah dari yang diharapkan, dan persaingan yang berlebihan telah memicu perang harga di beberapa sektor.
Sektor real estate di China sangat terpukul oleh menurunnya permintaan domestik akibat menurunnya daya beli masyarakat. Banyak pembangun real estate telah berjuang melalui tindakan keras terhadap pinjaman besar yang mereka lakukan. Pembatasan pinjaman ini telah melumpuhkan sektor real estate, sehingga pihak berwenang terpaksa melonggarkan beberapa langkahnya.
Data di bulan September mengindikasikan bahwa ekonomi China masih penuh tantangan, kata Robert Carnell dari ING Economics dalam sebuah laporan. Dia memperkirakan bahwa inflasi konsumen di China akan berada pada angka 0,5 persen sepanjang 2023, dan hanya meningkat satu persen di tahun 2024.
Lebih parah lagi, indeks harga produsen di China telah jatuh selama setahun penuh. Indeks harga produsen mengukur harga yang dibebankan pabrik kepada pedagang grosir.
Dalam ranah perdagangan global, baik ekspor maupun impor China turun pada September 2023 dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Impor dan ekspor keduanya turun sebesar 6,2 persen dibandingkan dengan angka yang diperoleh tahun sebelumnya.
Beijing menargetkan tingkat pertumbuhan keseluruhan sebesar lima persen pada 2023, meskipun tahun depan tingkat pertumbuhan tersebut kemungkinan melambat menjadi 4,5 persen.
Biro Statistik Nasional China ketika merilis angka-angka ini memperingatkan bahwa lingkungan eksternal China menjadi lebih kompleks dan suram, seraya memperingatkan bahwa permintaan domestik masih tidak mencukupi.
Ketika perekonomian sedang terpuruk, Partai Komunis China kini bersiap memberikan lebih banyak kelonggaran kepada sektor bisnis swasta dalam upaya putus asa menghidupkan kembali perekonomian.
Baru-baru ini, PKC telah memperingatkan kader partai terhadap "campur tangan yang tidak pantas" dalam bisnis swasta. Namun demi menghidupkan perekonomian, PKC mundur dari sikap keras terhadap modal dari sektor swasta.
Di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, PKC dalam beberapa tahun terakhir berada di garis depan kampanye anti-monopoli. Ada upaya untuk mengendalikan bisnis bernilai miliaran dolar seperti Alibaba.
Upaya ini juga ditujukan kepada para pemimpin perusahaan besar seperti Jack Ma, yang tiba-tiba mengumumkan pengunduran dirinya pada 2019 dan menghabiskan tahun-tahun berikutnya sebagian besar di luar negeri. Di bawah pengawasan Presiden Xi, kampanye anti-monopoli dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan terkemuka. Hal ini sempat menimbulkan kepanikan di kalangan sektor swasta.
Menyusul jaminan kebijakan ramah terhadap sektor swasta untuk menghidupkan kembali perekonomian yang sedang lesu, Ma kembali ke negaranya awal tahun ini. Pada 18 Oktober 2023, dalam sebuah artikel di Study Times—sebuah jurnal pendidikan dari CPC Central Party School, yang dibaca secara luas oleh para pejabat di semua tingkatan untuk mengukur ke arah mana angin bertiup di Beijing—memperingatkan para kader untuk tidak bertindak berlebihan.
"Membatasi campur tangan pihak berwenang yang tidak tepat dalam kegiatan mikroekonomi selalu menjadi tugas utama dalam reformasi sistem ekonomi China," kata profesor ekonomi di Central Party School Cai Zhibing.
Menurut Cai, “intervensi" seperti itu berarti para pejabat tersebut tidak mempertimbangkan persyaratan "pembangunan berkualitas tinggi," seperti yang diperjuangkan oleh Komite Sentral PKC.
Dia mengatakan bahwa beberapa pihak berwenang tidak "ketat dan beradab" dalam hal penegakan hukum.
Cai menggambarkan peraturan dan langkah-langkah seragam yang muncul di seluruh China untuk mengendalikan sektor swasta sebagai pendekatan "satu untuk semua" yang telah "sangat" meningkatkan ketidakpastian, beban, dan risiko ekonomi dunia usaha.
Cai mengatakan pandemi Covid-19, perubahan tren perdagangan global, dan pergeseran fokus pembangunan dalam negeri telah menyebabkan ketidakseimbangan keuangan pemerintah daerah di China.
Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk lebih agresif dalam menyita aset dan mengenakan denda sebagai upaya meningkatkan pendapatan. "Akibatnya, intervensi seperti itu telah mengganggu ketertiban operasi, merugikan lingkungan bisnis dan mempengaruhi kepercayaan dalam operasi bisnis," tutur Cai.
Dia menekankan perlunya "menjamin persaingan pasar yang adil dan penuh, sekaligus merevitalisasi vitalitas pasar secara efektif." Cai juga menyerukan untuk "mengurangi campur tangan yang tidak pantas dalam kegiatan ekonomi" serta "memitigasi pengabaian aturan ekonomi pasar oleh pihak berwenang”.
Berbicara dari Selandia Baru, dosen Senior Victoria University of Wellington, Christian Yao, mengatakan dalam sebuah analisis berita pada 9 Oktober lalu bahwa tingkat pengangguran pemuda di China sebesar 21,3 persen bukan hanya tinggi, tetapi juga mengkhawatirkan. Hal tersebut dapat berdampak pada perekonomian nasional dan juga hubungan geopolitik.
Angka pengangguran itu meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode Mei 2018 sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Secara kebetulan, angka pengangguran 21,3 persen tercatat saat Biro Statistik Nasional China mengumumkan bahwa pihaknya tidak akan lagi melaporkan data spesifik usia; dengan dalih bahwa mereka perlu "meningkatkan dan mengoptimalkan statistik survei angkatan kerja”.
Salah satu alasan meningkatnya angka pengangguran kaum muda adalah lemahnya sistem pendidikan di China. Meski sektor pendidikan tinggi berkembang pesat, terdapat ketidaksesuaian antara kurikulum universitas dan kebutuhan pasar kerja.
Program studi di universitas sering kali lebih mengutamakan teori ketimbang keterampilan praktis, sehingga lulusannya tidak memiliki bekal untuk bekerja. Mahasiswa teknik mungkin fokus pada persamaan dan teori, tetapi kehilangan penerapan di dunia nyata seperti saat menjalankan program magang.
Selain itu, pasar di China menghadapi banyaknya kandidat berkualifikasi tinggi, terutama di sektor teknologi, keuangan, dan layanan kesehatan. Ketidakseimbangan ini sekali lagi mendorong banyak orang untuk melakukan studi lebih lanjut.
Tahun ini, total 4,74 juta mahasiswa di China mengikuti ujian masuk pascasarjana, peningkatan mengejutkan sebesar 135 persen dibandingkan 2,01 juta peserta pada 2017. Siklus ini meningkatkan angka pengangguran di level nasional, dan setengahnya adalah kalangan muda.
Mengutip dari Financial Post, Sabtu (28/10/2023), Christian Yao memperingatkan bahwa dampak krisis pengangguran pemuda di China tidak boleh dianggap remeh. Berdasarkan peringatan UNICEF, tingkat pengangguran yang tinggi dapat menyebabkan kerusuhan sipil, terutama di negara-negara dengan populasi kaum muda yang besar.
Melemahnya Kepercayaan Konsumen
Partai Komunis China telah lama mempertahankan pendekatan otoriternya dengan mendapatkan izin sosial berdasarkan stabilitas ekonomi dan kemakmuran. Jika meningkatnya pengangguran pemuda mengikis izin tersebut, China dapat mengalami kerusuhan dan pergeseran kekuasaan secara signifikan.
Dalam dunia yang terhubung secara global, gejolak seperti ini dapat berdampak pada hubungan internasional. Kerusuhan masyarakat dapat membuat suatu negara menjadi kurang stabil dan kurang menarik bagi investasi asing, terutama di negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi erat dengan China. Kerusuhan seperti ini juga dapat mengganggu rantai pasok global.
Data yang dirilis pada 13 Oktober 2023 menunjukkan perekonomian China masih stagnan, dengan penurunan harga akibat lesunya permintaan konsumen dan dunia usaha. Dibandingkan situasi tahun ini, harga konsumen tetap datar di bulan September, menurut angka yang dikeluarkan oleh Biro Statistik Nasional China, sementara harga grosir turun sebesar 2,5 persen. Ekspor dan impor juga turun di bulan September karena permintaan produk China turun di pasar luar negeri.
Pemulihan China, negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, dari guncangan pandemi Covid-19 relatif tersendat. Di awal Oktober ini, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas perkiraan pertumbuhan China, mengestimasi pertumbuhan ekonomi berada di level terendah sebesar lima persen pada 2023 dan 4,2 persen tahun depan, turun sedikit dari perkiraan konservatifnya pada Juli lalu.
IMF mengaitkan revisi perkiraan ekonomi China ini dengan melemahnya kepercayaan konsumen dan permintaan global, serta krisis di sektor properti yang berdampak besar pada aktivitas bisnis. Pada kuartal Juli hingga September tahun ini, perekonomian China tumbuh sebesar 4,9 persen secara tahunan, melambat dari tingkat pertumbuhan sebesar 6,3 persen pada tahun sebelumnya.
Angka yang dirilis pada 13 Oktober ini menunjukkan bahwa harga pangan turun sebesar 3,2 persen di bulan September, sementara harga daging babi, makanan pokok di China, turun 22 persen dari tahun sebelumnya; penurunan yang lebih tajam dibandingkan 17,9 persen pada Agustus lalu. Pemulihan permintaan konsumen domestik jauh lebih lemah dari yang diharapkan, dan persaingan yang berlebihan telah memicu perang harga di beberapa sektor.
Sektor real estate di China sangat terpukul oleh menurunnya permintaan domestik akibat menurunnya daya beli masyarakat. Banyak pembangun real estate telah berjuang melalui tindakan keras terhadap pinjaman besar yang mereka lakukan. Pembatasan pinjaman ini telah melumpuhkan sektor real estate, sehingga pihak berwenang terpaksa melonggarkan beberapa langkahnya.
Ekspor dan Impor China
Data di bulan September mengindikasikan bahwa ekonomi China masih penuh tantangan, kata Robert Carnell dari ING Economics dalam sebuah laporan. Dia memperkirakan bahwa inflasi konsumen di China akan berada pada angka 0,5 persen sepanjang 2023, dan hanya meningkat satu persen di tahun 2024.
Lebih parah lagi, indeks harga produsen di China telah jatuh selama setahun penuh. Indeks harga produsen mengukur harga yang dibebankan pabrik kepada pedagang grosir.
Dalam ranah perdagangan global, baik ekspor maupun impor China turun pada September 2023 dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Impor dan ekspor keduanya turun sebesar 6,2 persen dibandingkan dengan angka yang diperoleh tahun sebelumnya.
Beijing menargetkan tingkat pertumbuhan keseluruhan sebesar lima persen pada 2023, meskipun tahun depan tingkat pertumbuhan tersebut kemungkinan melambat menjadi 4,5 persen.
Biro Statistik Nasional China ketika merilis angka-angka ini memperingatkan bahwa lingkungan eksternal China menjadi lebih kompleks dan suram, seraya memperingatkan bahwa permintaan domestik masih tidak mencukupi.
Ketika perekonomian sedang terpuruk, Partai Komunis China kini bersiap memberikan lebih banyak kelonggaran kepada sektor bisnis swasta dalam upaya putus asa menghidupkan kembali perekonomian.
Baru-baru ini, PKC telah memperingatkan kader partai terhadap "campur tangan yang tidak pantas" dalam bisnis swasta. Namun demi menghidupkan perekonomian, PKC mundur dari sikap keras terhadap modal dari sektor swasta.
Di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, PKC dalam beberapa tahun terakhir berada di garis depan kampanye anti-monopoli. Ada upaya untuk mengendalikan bisnis bernilai miliaran dolar seperti Alibaba.
Upaya ini juga ditujukan kepada para pemimpin perusahaan besar seperti Jack Ma, yang tiba-tiba mengumumkan pengunduran dirinya pada 2019 dan menghabiskan tahun-tahun berikutnya sebagian besar di luar negeri. Di bawah pengawasan Presiden Xi, kampanye anti-monopoli dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan terkemuka. Hal ini sempat menimbulkan kepanikan di kalangan sektor swasta.
Menyusul jaminan kebijakan ramah terhadap sektor swasta untuk menghidupkan kembali perekonomian yang sedang lesu, Ma kembali ke negaranya awal tahun ini. Pada 18 Oktober 2023, dalam sebuah artikel di Study Times—sebuah jurnal pendidikan dari CPC Central Party School, yang dibaca secara luas oleh para pejabat di semua tingkatan untuk mengukur ke arah mana angin bertiup di Beijing—memperingatkan para kader untuk tidak bertindak berlebihan.
Intervensi PKC
"Membatasi campur tangan pihak berwenang yang tidak tepat dalam kegiatan mikroekonomi selalu menjadi tugas utama dalam reformasi sistem ekonomi China," kata profesor ekonomi di Central Party School Cai Zhibing.
Menurut Cai, “intervensi" seperti itu berarti para pejabat tersebut tidak mempertimbangkan persyaratan "pembangunan berkualitas tinggi," seperti yang diperjuangkan oleh Komite Sentral PKC.
Dia mengatakan bahwa beberapa pihak berwenang tidak "ketat dan beradab" dalam hal penegakan hukum.
Cai menggambarkan peraturan dan langkah-langkah seragam yang muncul di seluruh China untuk mengendalikan sektor swasta sebagai pendekatan "satu untuk semua" yang telah "sangat" meningkatkan ketidakpastian, beban, dan risiko ekonomi dunia usaha.
Cai mengatakan pandemi Covid-19, perubahan tren perdagangan global, dan pergeseran fokus pembangunan dalam negeri telah menyebabkan ketidakseimbangan keuangan pemerintah daerah di China.
Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk lebih agresif dalam menyita aset dan mengenakan denda sebagai upaya meningkatkan pendapatan. "Akibatnya, intervensi seperti itu telah mengganggu ketertiban operasi, merugikan lingkungan bisnis dan mempengaruhi kepercayaan dalam operasi bisnis," tutur Cai.
Dia menekankan perlunya "menjamin persaingan pasar yang adil dan penuh, sekaligus merevitalisasi vitalitas pasar secara efektif." Cai juga menyerukan untuk "mengurangi campur tangan yang tidak pantas dalam kegiatan ekonomi" serta "memitigasi pengabaian aturan ekonomi pasar oleh pihak berwenang”.
(mas)