Sesama Penganut Syariat Islam, Mengapa Arab Saudi dan Taliban Beda Perlakukan Perempuan?

Jum'at, 15 September 2023 - 02:29 WIB
loading...
Sesama Penganut Syariat Islam, Mengapa Arab Saudi dan Taliban Beda Perlakukan Perempuan?
Di Arab Saudi, perempuan diizinkan mengemudikan mobil di jalan raya. Sedangkan di Afghanistan, kebebasan kaum perempuan dibatasi. Foto/Modern Women
A A A
RIYADH - Afghanistan, yang sekarang dipimpin Taliban, dan Arab Saudi terkenal sebagai negara yang menganut sistem hukum berbasis Syariat Islam dan cara pemerintahan otoriter. Namun kedua negara Islam tersebut berbeda dalam memperlakukan perempuan untuk mengakses pekerjaan dan pendidikan.

Di Kerajaan Arab Saudi, di mana hingga beberapa tahun yang lalu perempuan dirampas hak-hak sosial dan kebebasannya, sekarang tingkat pekerjaan perempuan telah melonjak hingga 37 persen. Data ini disampaikan para pejabat Saudi dan Amerika Serikat (AS).

Dalam industri teknologi tinggi, partisipasi perempuan Saudi telah meningkat pesat sehingga baru-baru ini Duta Besar AS untuk Arab Saudi Michael Ratney dengan bercanda menyatakan bahwa pusat teknologi AS; Silicon Valley, dapat mengambil inspirasi dari upaya Arab Saudi untuk mendorong kewirausahaan perempuan.

“Di sektor teknologi di Arab Saudi, sepertiga tenaga kerjanya adalah perempuan—yang menurut saya jumlahnya lebih tinggi dibandingkan Silicon Valley,” kata Ratney di sebuah acara pada bulan Juli.



Kemajuan ini tidak hanya terjadi pada industri teknologi, di mana perempuan juga mendapatkan posisi di pemerintahan dan perusahaan swasta serta memimpin start-up dengan tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Selain itu, tingkat melek huruf di kalangan perempuan muda Saudi berusia 15 hingga 24 tahun telah mencapai 99%, yang merupakan sebuah pencapaian yang signifikan.

Pada bulan Mei, astronaut Rayyanah Barnawi menjadi wanita Arab pertama dalam sejarah yang melakukan perjalanan ke luar angkasa.

Kerajaan Arab Saudi juga telah menunjuk lima duta besar perempuan, termasuk Putri Reema binti Bandar Al Saud, yang mewakili Arab Saudi di Amerika Serikat.

“Saat ini di kerajaan ini, terdapat lebih banyak perempuan yang menerima gelar lebih tinggi dibandingkan laki-laki,” kata Putri Reema pada sebuah acara pada bulan Juli yang diselenggarakan bersama oleh Atlantic Council dan Universitas Georgetown di Washington.

Putra Mahkota Mohammed bin Salman, yang di masa lalu telah dikritik karena pelanggaran hak asasi manusia (HAM)-nya, sekarang dipuji karena memelopori agenda reformasi dan pembangunan yang mencakup hak dan peluang yang lebih besar bagi perempuan.

Dikenal luas sebagai negara monarki otoriter, Arab Saudi masih tidak memiliki menteri perempuan di pemerintahan atau perempuan di istana kerajaan tempat keluarga kerajaan Saudi memutuskan hampir semua urusan kerajaan.

Namun bahkan di sana, perubahan diharapkan terjadi.

“Sudah ada beberapa perempuan yang menduduki posisi kepemimpinan, dan saya memperkirakan jumlah itu akan meningkat seiring berjalannya waktu,” kata Sussan Saikali, peneliti di Arab Gulf States Institute, mengatakan kepada VoA, Rabu (13/9/2023).

“Pemerintah Saudi telah menghapus beberapa undang-undang yang sebelumnya membatasi kemampuan perempuan untuk bekerja di sektor tertentu, dan juga mengesahkan beberapa undang-undang anti-diskriminasi dan anti-pelecehan,” katanya.


Syariat Islam Ala Taliban


Afghanistan, sementara itu, mengalami kemunduran dalam akses perempuan terhadap HAM dan kebebasan mendasar di bawah rezim Taliban, termasuk kemunduran dalam pendidikan dan pekerjaan, yang konon didasarkan pada pembenaran Islam dan budaya.

Habiba Sarabi, mantan menteri urusan perempuan Afghanistan, yakin ideologi ekstremis Taliban berasal dari internasionalisasi ekstremisme Islam selama beberapa dekade yang disponsori oleh monarki Teluk yang kaya minyak, terutama Arab Saudi.

“Sudah terlalu lama negara-negara Teluk berinvestasi besar-besaran pada ekstremisme Islam, namun kini mereka menyadari kesalahan mereka dan mulai menempuh jalur peradaban yang berbeda,” kata Sarabi kepada VoA.

Banyak organisasi, negara, dan pakar Islam yang keberatan dengan kebijakan misoginis Taliban dan menyebutnya tidak sejalan dengan prinsip dan nilai-nilai Islam.

Taliban, seperti Arab Saudi, beroperasi di bawah pemimpin tertinggi yang tidak dipilih dan mempunyai kekuasaan yang tidak terkendali, dan hanya bertanggung jawab kepada otoritas ilahi.

“Orang [pemimpin tertinggi Taliban] di Kandahar berpikir dia adalah wakil Tuhan dan dia tidak terikat oleh hukum manusia,” kata Sarabi.

Para pejabat Taliban mengatakan mereka telah memulihkan hak-hak perempuan dalam Islam, sebuah pernyataan yang ditanggapi skeptis oleh banyak cendekiawan Islam.

“Kita seharusnya tidak mengindahkan orang-orang [negara-negara] yang menyerukan pendidikan perempuan tetapi tidak mengizinkan pendidikan bagi perempuan berhijab,” kata Sheikh Mohammad Khalid, menteri Taliban untuk promosi kebajikan Islam dan pencegahan keburukan, pada pertemuan tetua suku laki-laki pada hari Selasa lalu.

Pengaruh Arab Saudi


Riyadh belum mengakui Taliban sebagai pemerintah sah Afghanistan namun tetap mempertahankan kontak dengan para pejabat Taliban, yang sebagian besar melakukan perjalanan ke Arab Saudi setiap tahun untuk menunaikan ibadah haji.

Selama haji pada bulan Juni, Menteri Pertahanan Taliban Yaqub Mujahid terlihat menyapa Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman, yang dikenal karena mendukung hak-hak perempuan di negaranya. Namun tidak jelas apakah dia menasihati Yaqub tentang hak-hak perempuan dalam Islam. Yaqub adalah putra mendiang Mullah Omar, salah satu pemimpin pendiri Taliban, yang masih dihormati di kalangan pemimpin Taliban.

“Saya tidak berpikir kita bisa memprediksi tindakan suatu negara terhadap tindakan negara lain. Negara-negara seperti Afghanistan memiliki sistem yang sangat berbeda dari Arab Saudi, meski menganut agama yang sama,” kata Saikali.

Sarabi, mantan menteri Afghanistan, mengatakan Saudi dan kerajaan Teluk lainnya seperti Qatar memiliki pengaruh agama, ekonomi dan politik yang luas terhadap Taliban yang dapat memengaruhi kelompok tersebut untuk melunakkan kebijakan kerasnya terhadap perempuan.

Para pejabat AS, yang mengakui penolakan Taliban terhadap negara-negara Barat, mendesak Arab Saudi dan negara-negara mayoritas Muslim lainnya untuk mengadvokasi hak-hak perempuan di Afghanistan.

Rina Amiri, utusan khusus AS untuk perempuan, anak perempuan dan HAM Afghanistan—sebuah peran yang tidak terlihat di negara-negara lain yang berurusan dengan Taliban—telah mendesak negara-negara Muslim untuk mencegah normalisasi kebencian terhadap Taliban.

Setelah bertemu dengan para pejabat dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Organisasi Kerja Sama Islam pada bulan Juli, Amiri menulis di media sosial X tentang “preseden berbahaya” yang ditimbulkan oleh penindasan ekstrem terhadap perempuan dan anak perempuan Afghanistan.

Pada bulan Februari, Araba Saudi menutup kedutaan mereka di Kabul, dilaporkan karena masalah keamanan. Kerajaan Arab Saudi telah menyumbangkan USD1,6 juta ke dana USD3,2 miliar yang diupayakan PBB untuk respons kemanusiaan di Afghanistan tahun ini.

Dalam pidatonya pada bulan Juli di Washington, Putri Reema mengatakan penting bagi dunia untuk berinvestasi dalam pemberdayaan perempuan untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Dia secara khusus menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan.

“Pendidikan dan pelatihan membantu menyamakan kedudukan. Hal ini memberi perempuan kesetaraan kedudukan di tempat kerja dan tidak hanya mendorong kesetaraan gender tetapi juga kesetaraan,” katanya.
(mas)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1025 seconds (0.1#10.140)