Alasan Jepang Buang Limbah Nuklir Fukushima ke Laut, Sains Jadi Dalih Pembenaran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jepang telah membuang limbah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi ke laut Samudra Pasifik mulai 24 Agustus 2023. Krisis daya tampung dijadikan alasan dan sains dijadikan dalih pembenaran dari tindakan tersebut.
Tokyo Electric Power (TEPCO), operator PLTN tersebut, mengeklaim air limbah nuklir—yang sudah diolah—yang dibuang ke laut tersebut aman dan telah diperiksa Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
TEPCO akan melakukan empat kali pelepasan air limbah hingga Maret 2024, dengan jumlah pelepasan air setiap kali sebanyak 7.800 meter kubik. Pembuangan yang baru dimulai diperkirakan memakan waktu sekitar 17 hari.
Keseluruhan proses akan memakan waktu setidaknya 30 tahun.
Ini bermula dari bencana gempa magnitudo 9,1 dan tsunami pada Maret 2011 yang merusak tiga reaktor PLTN Fukushima.
Kerusakan itu menjadikannya sebagai bencana nuklir terburuk kedua setelah bencana Chernobyl tahun 1986.
Setelah lumpuh, PLTN Fukushima masih menghasilkan 100 meter kubik air limbah, campuran dari air tanah dan air laut, setiap hari. Limbah inilah yang semestinya digunakan untuk mendinginkan reaktor nuklir yang rusak akibat gempa dan tsunami.
Air limbah itu ditampung di banyak tangki. Lantaran produksi limbah tidak berhenti, TEPCO kekurangan tempat untuk menampungnya.
Air limbah ini diprediksi akan melebihi kapasitas tangki yakni 1,3 juta meter kubik pada awal 2024. Mengolah—yang diklaim telah aman—dan membuangnya ke laut pun menjadi solusi.
China memprotes keras tindakan Jepang membuang air limbah nuklir ke laut Samudra Pasifik. Korea Selatan juga menyuarakan protes, meski tak sekeras China.
Beijing bahkan melarang impor makanan laut Jepang.
IAEA, berpegang pada sains, membela keputusan Jepang. Menurut IAEA, air limbah yang diolah tersebut memiliki dampak radiologis yang "dapat diabaikan" terhadap manusia dan lingkungan.
Yang ditakutkan sebenarnya adalah unsur-unsur radioaktif dari air limbah yang tidak bisa dihilangkan total oleh Jepang. Jika Jepang mampu menghilangkannya sebelum dialirkan ke laut, mungkin hal ini tidak akan menjadi kontroversi.
Masalahnya disebabkan oleh unsur radioaktif hidrogen yang disebut tritium, yang tidak dapat dihilangkan dari air yang terkontaminasi karena tidak ada teknologi yang dapat melakukannya. Sebaliknya, airnya diencerkan.
Pesan dari para ahli Jepang dan IAEA adalah bahwa pelepasan air limbah olahan tersebut aman, meski tidak semua ilmuwan sepakat mengenai dampak yang akan ditimbulkan.
Tritium dapat ditemukan di air di seluruh dunia. Banyak ilmuwan berpendapat jika kadar tritium rendah, dampaknya minimal.
Namun para kritikus mengatakan diperlukan lebih banyak penelitian tentang bagaimana hal ini dapat berdampak pada dasar laut, kehidupan laut, dan manusia.
IAEA, yang berkantor permanen di Fukushima, mengatakan analisis independen di lokasi menunjukkan konsentrasi tritium dalam air yang dibuang jauh di bawah batas operasional 1.500 becquerel per liter (Bq/L).
Batas tersebut enam kali lebih kecil dari batas air minum yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 10.000 Bq/L, yang merupakan ukuran radioaktivitas.
Pada hari Jumat pekan lalu, TEPCO mengatakan sampel air laut yang diambil pada Kamis sore menunjukkan tingkat radioaktivitas berada dalam batas aman, dengan konsentrasi tritium di bawah 1.500 Bq/L.
Kementerian Lingkungan Hidup Jepang mengatakan pihaknya juga telah mengumpulkan sampel air laut dari 11 lokasi berbeda pada hari Jumat dan akan merilis hasilnya pada hari Minggu.
James Smith, profesor ilmu lingkungan dan geologi di Universitas Portsmouth, mengatakan bahwa "secara teori, Anda dapat meminum air ini", karena air limbah telah diolah ketika disimpan dan kemudian diencerkan.
Fisikawan David Bailey, yang menjalankan laboratorium Prancis yang mengukur radioaktivitas, setuju, dan menambahkan: “Kuncinya adalah berapa banyak tritium yang ada di sana."
“Pada tingkat tersebut, tidak ada masalah dengan spesies laut, kecuali kita melihat penurunan populasi ikan yang parah, misalnya,” ujarnya.
Namun beberapa ilmuwan mengatakan kita tidak dapat memprediksi dampak pelepasan air tersebut.
Profesor Amerika Serikat Emily Hammond, pakar hukum energi dan lingkungan di Universitas George Washington, mengatakan: “Tantangan radionuklida (seperti tritium) adalah bahwa radionuklida menimbulkan pertanyaan yang tidak dapat dijawab sepenuhnya oleh ilmu pengetahuan; yaitu, pada tingkat paparan yang sangat rendah, apa yang bisa dianggap aman?"
“Seseorang dapat memiliki kepercayaan yang besar terhadap pekerjaan IAEA namun tetap menyadari bahwa kepatuhan terhadap standar tidak berarti bahwa ada 'nol' konsekuensi lingkungan atau manusia yang disebabkan oleh keputusan tersebut," paparnya.
Asosiasi Laboratorium Kelautan Nasional AS mengeluarkan pernyataan pada bulan Desember 2022 yang mengatakan mereka tidak yakin dengan data Jepang.
Ahli biologi kelautan Robert Richmond, dari Universitas Hawaii, mengatakan kepada BBC: "Kami telah melihat penilaian dampak radiologi dan ekologi yang tidak memadai sehingga membuat kami sangat khawatir bahwa Jepang tidak hanya tidak mampu mendeteksi apa yang masuk ke dalam air, sedimen, dan limbah organisme, tapi jika ya, tidak ada jalan lain untuk menghilangkannya...tidak ada cara untuk mengembalikan jin ke dalam botol."
Kelompok lingkungan seperti Greenpeace melangkah lebih jauh dengan merujuk pada makalah yang diterbitkan oleh para ilmuwan di Universitas South Carolina pada bulan April 2023.
Shaun Burnie, spesialis nuklir senior di Greenpeace Asia Timur, mengatakan tritium dapat menimbulkan "efek negatif langsung" pada tanaman dan hewan jika tertelan, termasuk "berkurangnya kesuburan" dan "kerusakan pada struktur sel, termasuk DNA".
Tokyo Electric Power (TEPCO), operator PLTN tersebut, mengeklaim air limbah nuklir—yang sudah diolah—yang dibuang ke laut tersebut aman dan telah diperiksa Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
TEPCO akan melakukan empat kali pelepasan air limbah hingga Maret 2024, dengan jumlah pelepasan air setiap kali sebanyak 7.800 meter kubik. Pembuangan yang baru dimulai diperkirakan memakan waktu sekitar 17 hari.
Keseluruhan proses akan memakan waktu setidaknya 30 tahun.
Alasan Jepang Buang Air Nuklir ke Laut
Ini bermula dari bencana gempa magnitudo 9,1 dan tsunami pada Maret 2011 yang merusak tiga reaktor PLTN Fukushima.
Kerusakan itu menjadikannya sebagai bencana nuklir terburuk kedua setelah bencana Chernobyl tahun 1986.
Setelah lumpuh, PLTN Fukushima masih menghasilkan 100 meter kubik air limbah, campuran dari air tanah dan air laut, setiap hari. Limbah inilah yang semestinya digunakan untuk mendinginkan reaktor nuklir yang rusak akibat gempa dan tsunami.
Air limbah itu ditampung di banyak tangki. Lantaran produksi limbah tidak berhenti, TEPCO kekurangan tempat untuk menampungnya.
Air limbah ini diprediksi akan melebihi kapasitas tangki yakni 1,3 juta meter kubik pada awal 2024. Mengolah—yang diklaim telah aman—dan membuangnya ke laut pun menjadi solusi.
Sains Jadi Dalih Pembenaran Jepang
China memprotes keras tindakan Jepang membuang air limbah nuklir ke laut Samudra Pasifik. Korea Selatan juga menyuarakan protes, meski tak sekeras China.
Beijing bahkan melarang impor makanan laut Jepang.
IAEA, berpegang pada sains, membela keputusan Jepang. Menurut IAEA, air limbah yang diolah tersebut memiliki dampak radiologis yang "dapat diabaikan" terhadap manusia dan lingkungan.
Yang ditakutkan sebenarnya adalah unsur-unsur radioaktif dari air limbah yang tidak bisa dihilangkan total oleh Jepang. Jika Jepang mampu menghilangkannya sebelum dialirkan ke laut, mungkin hal ini tidak akan menjadi kontroversi.
Masalahnya disebabkan oleh unsur radioaktif hidrogen yang disebut tritium, yang tidak dapat dihilangkan dari air yang terkontaminasi karena tidak ada teknologi yang dapat melakukannya. Sebaliknya, airnya diencerkan.
Pesan dari para ahli Jepang dan IAEA adalah bahwa pelepasan air limbah olahan tersebut aman, meski tidak semua ilmuwan sepakat mengenai dampak yang akan ditimbulkan.
Tritium dapat ditemukan di air di seluruh dunia. Banyak ilmuwan berpendapat jika kadar tritium rendah, dampaknya minimal.
Namun para kritikus mengatakan diperlukan lebih banyak penelitian tentang bagaimana hal ini dapat berdampak pada dasar laut, kehidupan laut, dan manusia.
IAEA, yang berkantor permanen di Fukushima, mengatakan analisis independen di lokasi menunjukkan konsentrasi tritium dalam air yang dibuang jauh di bawah batas operasional 1.500 becquerel per liter (Bq/L).
Batas tersebut enam kali lebih kecil dari batas air minum yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 10.000 Bq/L, yang merupakan ukuran radioaktivitas.
Pada hari Jumat pekan lalu, TEPCO mengatakan sampel air laut yang diambil pada Kamis sore menunjukkan tingkat radioaktivitas berada dalam batas aman, dengan konsentrasi tritium di bawah 1.500 Bq/L.
Kementerian Lingkungan Hidup Jepang mengatakan pihaknya juga telah mengumpulkan sampel air laut dari 11 lokasi berbeda pada hari Jumat dan akan merilis hasilnya pada hari Minggu.
James Smith, profesor ilmu lingkungan dan geologi di Universitas Portsmouth, mengatakan bahwa "secara teori, Anda dapat meminum air ini", karena air limbah telah diolah ketika disimpan dan kemudian diencerkan.
Fisikawan David Bailey, yang menjalankan laboratorium Prancis yang mengukur radioaktivitas, setuju, dan menambahkan: “Kuncinya adalah berapa banyak tritium yang ada di sana."
“Pada tingkat tersebut, tidak ada masalah dengan spesies laut, kecuali kita melihat penurunan populasi ikan yang parah, misalnya,” ujarnya.
Namun beberapa ilmuwan mengatakan kita tidak dapat memprediksi dampak pelepasan air tersebut.
Profesor Amerika Serikat Emily Hammond, pakar hukum energi dan lingkungan di Universitas George Washington, mengatakan: “Tantangan radionuklida (seperti tritium) adalah bahwa radionuklida menimbulkan pertanyaan yang tidak dapat dijawab sepenuhnya oleh ilmu pengetahuan; yaitu, pada tingkat paparan yang sangat rendah, apa yang bisa dianggap aman?"
“Seseorang dapat memiliki kepercayaan yang besar terhadap pekerjaan IAEA namun tetap menyadari bahwa kepatuhan terhadap standar tidak berarti bahwa ada 'nol' konsekuensi lingkungan atau manusia yang disebabkan oleh keputusan tersebut," paparnya.
Asosiasi Laboratorium Kelautan Nasional AS mengeluarkan pernyataan pada bulan Desember 2022 yang mengatakan mereka tidak yakin dengan data Jepang.
Ahli biologi kelautan Robert Richmond, dari Universitas Hawaii, mengatakan kepada BBC: "Kami telah melihat penilaian dampak radiologi dan ekologi yang tidak memadai sehingga membuat kami sangat khawatir bahwa Jepang tidak hanya tidak mampu mendeteksi apa yang masuk ke dalam air, sedimen, dan limbah organisme, tapi jika ya, tidak ada jalan lain untuk menghilangkannya...tidak ada cara untuk mengembalikan jin ke dalam botol."
Kelompok lingkungan seperti Greenpeace melangkah lebih jauh dengan merujuk pada makalah yang diterbitkan oleh para ilmuwan di Universitas South Carolina pada bulan April 2023.
Shaun Burnie, spesialis nuklir senior di Greenpeace Asia Timur, mengatakan tritium dapat menimbulkan "efek negatif langsung" pada tanaman dan hewan jika tertelan, termasuk "berkurangnya kesuburan" dan "kerusakan pada struktur sel, termasuk DNA".
(mas)