China Diduga Retas Jaringan Pertahanan Sensitif Jepang sejak 2020
loading...
A
A
A
"Saat ini, Jepang dan Amerika Serikat sedang menghadapi lingkungan keamanan paling menantang dan kompleks dalam sejarah," kata Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dalam konferensi pers dengan Biden di Washington pada Januari lalu. Dia mengatakan bahwa strategi keamanan nasional baru Jepang berisi peningkatan anggaran dan kemampuan pertahanan.
"Kebijakan baru ini akan bermanfaat bagi kemampuan pencegahan dan juga kemampuan respons aliansi," kata PM Kishida.
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin menyiratkan kepada Jepang bahwa skema berbagi data intelijen untuk mengaktifkan operasi militer tingkat lanjut antar kedua negara dapat melambat jika jaringan Tokyo tidak diamankan dengan lebih baik dari tangan-tangan peretas.
"Kami melihat investasi dan upaya luar biasa dari Jepang di bidang ini," kata seorang pejabat senior pertahanan AS. Tapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan Jepang.
"Departemen kami menekankan pentingnya keamanan siber terhadap kemampuan kami dalam melakukan operasi militer gabungan, yang merupakan inti dari aliansi AS-Jepang," paparnya.
Selama bertahun-tahun sebelum China dengan berani meretas jaringannya, Jepang dipandang sebagai “kapal bocor”. Selama Perang Dingin, para agen Uni Soviet menggunakan taktik kuno, yaitu memanfaatkan kelemahan rakyat Jepang atas makanan, minuman, uang, dan perjudian untuk mendapatkan informasi sensitif dari jurnalis, politisi, dan bahkan petugas intelijen Jepang.
"Mereka pernah menyombongkan diri bahwa Jepang adalah 'surga bagi mata-mata'," kata Richard Samuels, seorang ilmuwan politik di MIT.
Setelah Perang Dingin berakhir, para pejabat Jepang akhirnya mulai sadar akan pentingnya memperketat akses intelijen. AS menyadari bahwa keamanan intelijen di Jepang belum terlalu baik.
Setahun sebelum peristiwa 9/11, sebuah laporan oleh lembaga think tank yang didanai Pentagon mencatat bahwa terlepas dari pentingnya aliansi AS-Jepang, skema berbagi intelijen Washington dengan Tokyo jauh lebih sedikit dibanding dengan mitra-mitra NATO.
"Baik di dalam maupun di luar Asia, Jepang menghadapi ancaman yang lebih beragam dan tanggung jawab internasional yang lebih kompleks, dan membutuhkan intelijen yang memberikan pemahaman lebih baik tentang kebutuhan keamanan nasionalnya," bunyi laporan tersebut, yang ditulis oleh kelompok studi bipartisan termasuk pakar kebijakan luar negeri Richard Armitage dan Joseph Nye.
"Kebijakan baru ini akan bermanfaat bagi kemampuan pencegahan dan juga kemampuan respons aliansi," kata PM Kishida.
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin menyiratkan kepada Jepang bahwa skema berbagi data intelijen untuk mengaktifkan operasi militer tingkat lanjut antar kedua negara dapat melambat jika jaringan Tokyo tidak diamankan dengan lebih baik dari tangan-tangan peretas.
"Kami melihat investasi dan upaya luar biasa dari Jepang di bidang ini," kata seorang pejabat senior pertahanan AS. Tapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan Jepang.
"Departemen kami menekankan pentingnya keamanan siber terhadap kemampuan kami dalam melakukan operasi militer gabungan, yang merupakan inti dari aliansi AS-Jepang," paparnya.
Surga Mata-mata
Selama bertahun-tahun sebelum China dengan berani meretas jaringannya, Jepang dipandang sebagai “kapal bocor”. Selama Perang Dingin, para agen Uni Soviet menggunakan taktik kuno, yaitu memanfaatkan kelemahan rakyat Jepang atas makanan, minuman, uang, dan perjudian untuk mendapatkan informasi sensitif dari jurnalis, politisi, dan bahkan petugas intelijen Jepang.
"Mereka pernah menyombongkan diri bahwa Jepang adalah 'surga bagi mata-mata'," kata Richard Samuels, seorang ilmuwan politik di MIT.
Setelah Perang Dingin berakhir, para pejabat Jepang akhirnya mulai sadar akan pentingnya memperketat akses intelijen. AS menyadari bahwa keamanan intelijen di Jepang belum terlalu baik.
Setahun sebelum peristiwa 9/11, sebuah laporan oleh lembaga think tank yang didanai Pentagon mencatat bahwa terlepas dari pentingnya aliansi AS-Jepang, skema berbagi intelijen Washington dengan Tokyo jauh lebih sedikit dibanding dengan mitra-mitra NATO.
"Baik di dalam maupun di luar Asia, Jepang menghadapi ancaman yang lebih beragam dan tanggung jawab internasional yang lebih kompleks, dan membutuhkan intelijen yang memberikan pemahaman lebih baik tentang kebutuhan keamanan nasionalnya," bunyi laporan tersebut, yang ditulis oleh kelompok studi bipartisan termasuk pakar kebijakan luar negeri Richard Armitage dan Joseph Nye.