China Terus Dorong Sinifikasi, Warga Tibet Khawatirkan Genosida Kultural
loading...
A
A
A
BEIJING - China telah memperketat cengkeramannya terhadap Tibet setelah menganeksasi wilayah tersebut sejak lebih dari 70 tahun silam. Beijing selama ini mengeklaim tindakannya terhadap wilayah itu sebagai "pembebasan damai dari pemerintahan teokratis".
Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi telah dijadikan alasan oleh China dalam memindahkan warga etnis Han dalam jumlah besar ke Tibet.
Namun, agenda di balik langkah ini diduga adalah membuat etnis Han bermukim di sana, dan dengan begitu mengubah demografi Tibet yang akan memfasilitasi proses sinifikasi.
Sinifikasi adalah proses di mana China memberlakukan budayanya, seperti bahasa dan gaya hidup, secara khusus etnis Han, terhadap masyarakat non-Han.
Pola ini dapat dilihat tidak hanya di kalangan masyarakat Tibet, tapi juga grup minoritas lain di China seperti Uighur.
Beijing secara konsisten telah menggabungkan strategi merelokasi Han di Tibet dengan elemen supresi dan koersi. Masyarakat Tibet, seperti dikutip kantor berita EFE, menganggap proses sinifikasi tersebut tak lain dan tak bukan sebagai genosida kultural.
Bukan fenomena baru, sinifikasi sudah ada sejak era Mao Zedong. Sejak 1950-an, Republik Rakyat China sudah mulai mengisi sejumlah wilayah jarang penduduk dengan membawa masyarakat dari area-area urban di sisi timur.
Xiafang atau "Gerakan Naik ke Pegunungan dan Turun ke Pedesaan” adalah sebuah gerakan mobilisasi masif yang digagas Partai Komunis China dengan tujuan "mengintegrasikan" etnis minoritas dengan kelompok masyarakat mainstream China. Gerakan ini juga bertujuan untuk membantu meningkatkan sektor pertumbuhan ekonomi China.
Tujuan China ini diduga untuk mengambil sumber daya mineral dan energi dari kawasan-kawasan barat seperti Tibet, dan kemudian menggunakannya untuk sektor industri serta manufaktur di sejumlah provinsi di wilayah tengah demi mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Di akhir abad ke-20, Kebijakan Pertumbuhan Wilayah Barat China diterapkan, di mana China ingin mendorong integrasi sosial ekonomi di kawasan-kawasan barat meliputi Tibet.
Sebagai bagian dari kebijakan, China berusaha merelokasi lebih dari 58.000 petani Han ke Tibet di bawah Proyek Pengurangan Kemiskinan Wilayah Barat.
China melanjutkan kebijakan supresi dan intervensi di bidang spiritual dan budaya Buddha Tibet. Represi China sering menargetkan pemuka agama Tibet, sebuah fenomena yang bahkan sudah terjadi sebelum Revolusi Budaya Mao Zedong.
China menerapkan larangan ketat seputar foto Dalai Lama, dan melarang selebrasi festival-festival di Tibet. China juga berusaha untuk mengintervensi wewenang menominasikan Dalai lama berikutnya, mencoba mengganti sosok tersebut dengan pilihan sendiri yang nantinya akan cenderung mendukung Partai Komunis China (PKC).
Dalam mendorong sinifikasi di Tibet, China terus “menyerang” bahasa Tibet dan mencoba memaksakan bahasa Mandarin sebagai medium pembelajaran di kawasan. Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya mengatakan; “Kebijakan ini mengikis kemampuan anak-anak dalam berbahasa Tibet, dan juga memaksa mereka mengonsumsi ideologi politik dan ide-ide yang bertentangan dengan apa yang diajarkan orang tua dan komunitas mereka."
Sementara dalam laporan EFE baru-baru ini disebutkan ada begitu banyak sekolah tipe boarding school di Tibet, dengan 1 juta anak-anak di dalamnya.
EFE menyebut sekolah-sekolah itu dapat dikatakan sebagai "kamp detensi”. Sekolah semacam itu dilaporkan telah dibangun dengan tujuan memaksakan asimilasi generasi muda Tibet ke budaya Han.
Laporan terbaru mengindikasikan bagaimana proses sinifikasi ini telah mendapat banyak penguatan di bawah kekuasaan Presiden Xi Jinping. Dalam salah satu pernyataan publiknya, Xi Jinping sempat menyerukan mengenai "peningkatan sinifikasi Tibet”. Pernyataan tersebut memicu kecaman luas dari seluruh dunia.
PKC disebut-sebut sedang menjalankan kampanye "re-edukasi patriotik" di Tibet di lokasi-lokasi yang dapat dibilang mirip dengan kamp konsentrasi. Di kamp seperti itu, warga Tibet ditahan, dan dipaksa menjalankan propaganda pro-pemerintah, dan bahkan dilaporkan juga mengalami penyiksaan.
Dalam sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan Rand Europe Research Institute, dikemukakan bahwa Beijing telah memperluas penggunaan pusat penahanan dengan keamanan tinggi sebagai alat represi di Tibet.
Laporan tersebut mengungkapkan rancangan jahat dari strategi “pemeliharaan stabilitas” China di mana orang-orang Tibet yang tidak bersalah ditahan, dihukum, dan dianiaya, bahkan untuk protes tanpa kekerasan kecil atau karena mengungkapkan perbedaan pendapat. Laporan tersebut mencatat bahwa ada lebih dari 79 pusat penahanan yang tersebar di hampir semua kota dan desa di Tibet.
Strategi utama sebagai bagian dari proses sinifikasi PKC adalah tetap menggabungkan hampir semua wilayah di Tibet di bawah cengkeramannya sendiri. Rencana suksesi Dalai Lama ke-14 juga merupakan bagian integral dari strategi ini.
Dengan dapat memasang calonnya sendiri sebagai Dalai Lama berikutnya, China bertujuan mendapatkan beberapa poin dalam perang persepsi dan memperkuat legitimasinya. Laporan terbaru yang diterbitkan oleh Jaringan Tibet Internasional dan Pusat Keadilan Tibet menyoroti temuan dari dua dokumen penting internal PKC yang menguraikan tentang persiapan ekstensif China untuk era pasca-Dalai Lama.
Rancangan China untuk sinifikasi Tibet menimbulkan keprihatinan bagi seluruh dunia. Sebagai kekuatan baru yang menampilkan agenda ekspansionis dan agresif baik di ranah domestik maupun internasional, tindakan China di Tibet adalah pengingat bagi dunia tentang apa yang akan terjadi jika tindakan agresif China tidak dihentikan.
Menyerukan China atas kebijakan represifnya di Tibet tidak hanya berkaitan dengan masa depan jutaan warga Tibet, tetapi juga untuk menghalangi langkah agresi yang sedang dibangun China, baik terhadap Uighur, Taiwan, atau bahkan India.
Pemerintah China sejauh ini belum berkomentar atas laporan terbaru tentang sinifikasi di Tibet.
Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi telah dijadikan alasan oleh China dalam memindahkan warga etnis Han dalam jumlah besar ke Tibet.
Namun, agenda di balik langkah ini diduga adalah membuat etnis Han bermukim di sana, dan dengan begitu mengubah demografi Tibet yang akan memfasilitasi proses sinifikasi.
Sinifikasi adalah proses di mana China memberlakukan budayanya, seperti bahasa dan gaya hidup, secara khusus etnis Han, terhadap masyarakat non-Han.
Pola ini dapat dilihat tidak hanya di kalangan masyarakat Tibet, tapi juga grup minoritas lain di China seperti Uighur.
Beijing secara konsisten telah menggabungkan strategi merelokasi Han di Tibet dengan elemen supresi dan koersi. Masyarakat Tibet, seperti dikutip kantor berita EFE, menganggap proses sinifikasi tersebut tak lain dan tak bukan sebagai genosida kultural.
Bukan fenomena baru, sinifikasi sudah ada sejak era Mao Zedong. Sejak 1950-an, Republik Rakyat China sudah mulai mengisi sejumlah wilayah jarang penduduk dengan membawa masyarakat dari area-area urban di sisi timur.
Xiafang atau "Gerakan Naik ke Pegunungan dan Turun ke Pedesaan” adalah sebuah gerakan mobilisasi masif yang digagas Partai Komunis China dengan tujuan "mengintegrasikan" etnis minoritas dengan kelompok masyarakat mainstream China. Gerakan ini juga bertujuan untuk membantu meningkatkan sektor pertumbuhan ekonomi China.
Tujuan China ini diduga untuk mengambil sumber daya mineral dan energi dari kawasan-kawasan barat seperti Tibet, dan kemudian menggunakannya untuk sektor industri serta manufaktur di sejumlah provinsi di wilayah tengah demi mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Di akhir abad ke-20, Kebijakan Pertumbuhan Wilayah Barat China diterapkan, di mana China ingin mendorong integrasi sosial ekonomi di kawasan-kawasan barat meliputi Tibet.
Sebagai bagian dari kebijakan, China berusaha merelokasi lebih dari 58.000 petani Han ke Tibet di bawah Proyek Pengurangan Kemiskinan Wilayah Barat.
China melanjutkan kebijakan supresi dan intervensi di bidang spiritual dan budaya Buddha Tibet. Represi China sering menargetkan pemuka agama Tibet, sebuah fenomena yang bahkan sudah terjadi sebelum Revolusi Budaya Mao Zedong.
China menerapkan larangan ketat seputar foto Dalai Lama, dan melarang selebrasi festival-festival di Tibet. China juga berusaha untuk mengintervensi wewenang menominasikan Dalai lama berikutnya, mencoba mengganti sosok tersebut dengan pilihan sendiri yang nantinya akan cenderung mendukung Partai Komunis China (PKC).
Dalam mendorong sinifikasi di Tibet, China terus “menyerang” bahasa Tibet dan mencoba memaksakan bahasa Mandarin sebagai medium pembelajaran di kawasan. Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya mengatakan; “Kebijakan ini mengikis kemampuan anak-anak dalam berbahasa Tibet, dan juga memaksa mereka mengonsumsi ideologi politik dan ide-ide yang bertentangan dengan apa yang diajarkan orang tua dan komunitas mereka."
Sementara dalam laporan EFE baru-baru ini disebutkan ada begitu banyak sekolah tipe boarding school di Tibet, dengan 1 juta anak-anak di dalamnya.
EFE menyebut sekolah-sekolah itu dapat dikatakan sebagai "kamp detensi”. Sekolah semacam itu dilaporkan telah dibangun dengan tujuan memaksakan asimilasi generasi muda Tibet ke budaya Han.
Laporan terbaru mengindikasikan bagaimana proses sinifikasi ini telah mendapat banyak penguatan di bawah kekuasaan Presiden Xi Jinping. Dalam salah satu pernyataan publiknya, Xi Jinping sempat menyerukan mengenai "peningkatan sinifikasi Tibet”. Pernyataan tersebut memicu kecaman luas dari seluruh dunia.
PKC disebut-sebut sedang menjalankan kampanye "re-edukasi patriotik" di Tibet di lokasi-lokasi yang dapat dibilang mirip dengan kamp konsentrasi. Di kamp seperti itu, warga Tibet ditahan, dan dipaksa menjalankan propaganda pro-pemerintah, dan bahkan dilaporkan juga mengalami penyiksaan.
Dalam sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan Rand Europe Research Institute, dikemukakan bahwa Beijing telah memperluas penggunaan pusat penahanan dengan keamanan tinggi sebagai alat represi di Tibet.
Laporan tersebut mengungkapkan rancangan jahat dari strategi “pemeliharaan stabilitas” China di mana orang-orang Tibet yang tidak bersalah ditahan, dihukum, dan dianiaya, bahkan untuk protes tanpa kekerasan kecil atau karena mengungkapkan perbedaan pendapat. Laporan tersebut mencatat bahwa ada lebih dari 79 pusat penahanan yang tersebar di hampir semua kota dan desa di Tibet.
Strategi utama sebagai bagian dari proses sinifikasi PKC adalah tetap menggabungkan hampir semua wilayah di Tibet di bawah cengkeramannya sendiri. Rencana suksesi Dalai Lama ke-14 juga merupakan bagian integral dari strategi ini.
Dengan dapat memasang calonnya sendiri sebagai Dalai Lama berikutnya, China bertujuan mendapatkan beberapa poin dalam perang persepsi dan memperkuat legitimasinya. Laporan terbaru yang diterbitkan oleh Jaringan Tibet Internasional dan Pusat Keadilan Tibet menyoroti temuan dari dua dokumen penting internal PKC yang menguraikan tentang persiapan ekstensif China untuk era pasca-Dalai Lama.
Rancangan China untuk sinifikasi Tibet menimbulkan keprihatinan bagi seluruh dunia. Sebagai kekuatan baru yang menampilkan agenda ekspansionis dan agresif baik di ranah domestik maupun internasional, tindakan China di Tibet adalah pengingat bagi dunia tentang apa yang akan terjadi jika tindakan agresif China tidak dihentikan.
Menyerukan China atas kebijakan represifnya di Tibet tidak hanya berkaitan dengan masa depan jutaan warga Tibet, tetapi juga untuk menghalangi langkah agresi yang sedang dibangun China, baik terhadap Uighur, Taiwan, atau bahkan India.
Pemerintah China sejauh ini belum berkomentar atas laporan terbaru tentang sinifikasi di Tibet.
(mas)