1.000 Dokter ingin Meninggalkan Israel karena Perombakan Peradilan
loading...
A
A
A
TEL AVIV - Lebih dari 1.000 dokter Israel berencana meninggalkan negara Yahudi itu dan bekerja di luar negeri setelah disahkannya undang-undang reformasi peradilan.
Perkembangan ini dilaporkan Asosiasi Medis Israel pada Selasa (25/7/2023).
"Sebagian besar dokter tahu bahwa mereka tidak akan dapat memenuhi sumpah mereka kepada pasien di bawah rezim yang tidak menerima peran nalar," ungkap Hagai Levine, ketua Asosiasi Kesehatan Masyarakat Israel, dilansir AP.
Dia menambahkan, "Perombakan ini akan merusak kesehatan masyarakat dan sistem perawatan kesehatan di Israel."
Dia mencatat sudah lebih dari 1.000 anggota telah meminta dipindahkan ke luar negeri sejak undang-undang tersebut disahkan.
Pada Senin, 'hukum kewajaran' mengesahkan pembacaan kedua dan ketiga oleh mayoritas 64 dari 120 anggota Knesset, meskipun ada tentangan lokal yang meluas dan protes selama 29 pekan.
Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut membatasi kekuasaan Mahkamah Agung untuk membatalkan keputusan pemerintah dan pengangkatan menteri yang dianggap 'tidak masuk akal'.
Beberapa pihak menuduh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang telah lama menjabat mendorong Israel ke arah otokrasi.
Sementara itu, serikat pekerja terbesar Israel, Histadrut, yang mewakili sekitar 800.000 pekerja, mengatakan pada Selasa bahwa mereka akan rapat dalam beberapa hari mendatang untuk merencanakan pemogokan umum nasional sebagai tanggapan atas pengesahan RUU tersebut.
Perkembangan ini dilaporkan Asosiasi Medis Israel pada Selasa (25/7/2023).
"Sebagian besar dokter tahu bahwa mereka tidak akan dapat memenuhi sumpah mereka kepada pasien di bawah rezim yang tidak menerima peran nalar," ungkap Hagai Levine, ketua Asosiasi Kesehatan Masyarakat Israel, dilansir AP.
Dia menambahkan, "Perombakan ini akan merusak kesehatan masyarakat dan sistem perawatan kesehatan di Israel."
Dia mencatat sudah lebih dari 1.000 anggota telah meminta dipindahkan ke luar negeri sejak undang-undang tersebut disahkan.
Pada Senin, 'hukum kewajaran' mengesahkan pembacaan kedua dan ketiga oleh mayoritas 64 dari 120 anggota Knesset, meskipun ada tentangan lokal yang meluas dan protes selama 29 pekan.
Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut membatasi kekuasaan Mahkamah Agung untuk membatalkan keputusan pemerintah dan pengangkatan menteri yang dianggap 'tidak masuk akal'.
Beberapa pihak menuduh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang telah lama menjabat mendorong Israel ke arah otokrasi.
Sementara itu, serikat pekerja terbesar Israel, Histadrut, yang mewakili sekitar 800.000 pekerja, mengatakan pada Selasa bahwa mereka akan rapat dalam beberapa hari mendatang untuk merencanakan pemogokan umum nasional sebagai tanggapan atas pengesahan RUU tersebut.
(sya)