Hubungan Retak, Mohammed bin Salman Ancam Blokade UEA Lebih Buruk dari Qatar
loading...
A
A
A
RIYADH - Hubungan Kerajaan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) diam-diam telah retak selama beberapa bulan terakhir. Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman (MBS) telah mengancam akan memblokade tetangga Teluk-nya itu lebih buruk daripada yang pernah dilakukan terhadap Qatar.
Mengutip laporan The Wall Street Journal (WSJ), Kamis (20/7/2023), hubungan Pangeran MBS dengan Presiden UEA Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan—dikenal sebagai MBZ—retak karena perbedaan kebijakan regional dan batasan OPEC.
Dalam pengarahan off-the-record pada bulan Desember lalu, Putra Mahkota Mohammed bin Salman mengatakan kepada wartawan bahwa dia telah mengirim daftar tuntutan ke Abu Dhabi, dan memperingatkan bahwa Arab Saudi akan mengambil tindakan hukuman terhadap sekutu regionalnya itu jika UEA terus melemahkan kerajaan di kawasan regional.
“Ini akan lebih buruk dari apa yang saya lakukan dengan Qatar,” katanya sebagaimana ditirukan oleh orang-orang yang menghadiri pertemuan tersebut.
Pada 2017, Riyadh memimpin embargo diplomatik terhadap Doha, yang diperkuat oleh blokade ekonomi, selama lebih dari tiga tahun, dengan dukungan Abu Dhabi dan Bahrain. Hubungan antara Arab Saudi dan Qatar baru dipulihkan pada tahun 2021.
Menurut sumber WSJ, Pangeran MBS dan MBZ telah terkunci dalam perebutan kekuasaan saat mereka bersaing untuk mendapatkan dominasi di wilayah Teluk Persia, dan belum berbicara selama lebih dari enam bulan.
Mohammed bin Salman mengatakan kepada wartawan Saudi dalam pengarahan; "UEA telah “menikam kami dari belakang”. "Mereka akan melihat apa yang bisa saya lakukan," ujarnya.
Keretakan ini mencerminkan persaingan yang lebih luas untuk mendapatkan pengaruh geopolitik dan ekonomi di Timur Tengah dan pasar minyak global, yang diperparah oleh berkurangnya keterlibatan Amerika Serikat di wilayah tersebut.
Kedua negara juga terlibat dalam penjangkauan ke Rusia dan China.
Ketegangan yang meningkat telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pejabat AS, yang khawatir persaingan itu dapat menghalangi upaya untuk membentuk aliansi keamanan terpadu melawan Iran, menyelesaikan perang di Yaman, dan memperluas hubungan diplomatik Israel dengan negara-negara Muslim.
Riyadh dan Abu Dhabi memiliki kepentingan yang berbeda di Yaman dan Sudan, sementara tekanan Saudi untuk menaikkan harga minyak dunia telah menimbulkan gesekan dengan UEA.
Di Suriah, Arab Saudi menjadi pusat perhatian dengan mengatur kembalinya rezim Presiden Bashar al-Assad ke Liga Arab, upaya diplomatik yang telah lama didorong oleh UEA.
Sementara itu, pemulihan hubungan diplomatik Arab Saudi dengan Iran awal tahun ini juga mengejutkan UEA.
Dorongan Arab Saudi untuk mendiversifikasi ekonominya dan mengurangi ketergantungan pada minyak juga membuatnya bersaing langsung dengan UEA.
Putra Mahkota Mohammed bin Salman bertujuan untuk menarik perusahaan untuk memindahkan kantor pusat regional mereka ke Riyadh, meluncurkan pusat teknologi, dan membangun pusat wisata dan logistik, menantang posisi Dubai sebagai pusat komersial Timur Tengah dan model bisnis yang dipelihara dengan hati-hati.
Perselisihan antara kedua pemimpin meluas ke pertemuan OPEC pada bulan Oktober, ketika UEA menuduh Arab Saudi memaksanya untuk menyetujui pengurangan produksi minyak.
Emirat menyatakan kesiapan untuk menarik diri dari OPEC, yang mencerminkan rasa frustrasi mereka dengan dominasi Saudi dalam organisasi tersebut.
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah melakukan upaya untuk mendamaikan kedua belah pihak, mengadakan pertemuan pada bulan Mei antara Mohammed bin Salman dan Sheikh Tahnoun bin Zayed—adik laki-laki Presiden MBZ yang juga Penasihat Keamanan Nasional UEA.
Pemimpin Saudi mengatakan kepada Tahnoun bahwa UEA tidak boleh mengganggu gencatan senjata yang dipimpin Saudi di Yaman, dan menjanjikan konsesi ke Abu Dhabi.
Namun, menurut sumber WSJ, Putra Mahkota Mohammed bin Salman kemudian mengatakan kepada para penasihatnya untuk tidak mengubah kebijakan apa pun terhadap UEA.
"Saya tidak mempercayai mereka lagi," katanya seperti dikutip dari sumber WSJ.
Mengutip laporan The Wall Street Journal (WSJ), Kamis (20/7/2023), hubungan Pangeran MBS dengan Presiden UEA Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan—dikenal sebagai MBZ—retak karena perbedaan kebijakan regional dan batasan OPEC.
Dalam pengarahan off-the-record pada bulan Desember lalu, Putra Mahkota Mohammed bin Salman mengatakan kepada wartawan bahwa dia telah mengirim daftar tuntutan ke Abu Dhabi, dan memperingatkan bahwa Arab Saudi akan mengambil tindakan hukuman terhadap sekutu regionalnya itu jika UEA terus melemahkan kerajaan di kawasan regional.
“Ini akan lebih buruk dari apa yang saya lakukan dengan Qatar,” katanya sebagaimana ditirukan oleh orang-orang yang menghadiri pertemuan tersebut.
Pada 2017, Riyadh memimpin embargo diplomatik terhadap Doha, yang diperkuat oleh blokade ekonomi, selama lebih dari tiga tahun, dengan dukungan Abu Dhabi dan Bahrain. Hubungan antara Arab Saudi dan Qatar baru dipulihkan pada tahun 2021.
Menurut sumber WSJ, Pangeran MBS dan MBZ telah terkunci dalam perebutan kekuasaan saat mereka bersaing untuk mendapatkan dominasi di wilayah Teluk Persia, dan belum berbicara selama lebih dari enam bulan.
Mohammed bin Salman mengatakan kepada wartawan Saudi dalam pengarahan; "UEA telah “menikam kami dari belakang”. "Mereka akan melihat apa yang bisa saya lakukan," ujarnya.
Keretakan ini mencerminkan persaingan yang lebih luas untuk mendapatkan pengaruh geopolitik dan ekonomi di Timur Tengah dan pasar minyak global, yang diperparah oleh berkurangnya keterlibatan Amerika Serikat di wilayah tersebut.
Kedua negara juga terlibat dalam penjangkauan ke Rusia dan China.
Ketegangan yang meningkat telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pejabat AS, yang khawatir persaingan itu dapat menghalangi upaya untuk membentuk aliansi keamanan terpadu melawan Iran, menyelesaikan perang di Yaman, dan memperluas hubungan diplomatik Israel dengan negara-negara Muslim.
Riyadh dan Abu Dhabi memiliki kepentingan yang berbeda di Yaman dan Sudan, sementara tekanan Saudi untuk menaikkan harga minyak dunia telah menimbulkan gesekan dengan UEA.
Di Suriah, Arab Saudi menjadi pusat perhatian dengan mengatur kembalinya rezim Presiden Bashar al-Assad ke Liga Arab, upaya diplomatik yang telah lama didorong oleh UEA.
Sementara itu, pemulihan hubungan diplomatik Arab Saudi dengan Iran awal tahun ini juga mengejutkan UEA.
Dorongan Arab Saudi untuk mendiversifikasi ekonominya dan mengurangi ketergantungan pada minyak juga membuatnya bersaing langsung dengan UEA.
Putra Mahkota Mohammed bin Salman bertujuan untuk menarik perusahaan untuk memindahkan kantor pusat regional mereka ke Riyadh, meluncurkan pusat teknologi, dan membangun pusat wisata dan logistik, menantang posisi Dubai sebagai pusat komersial Timur Tengah dan model bisnis yang dipelihara dengan hati-hati.
Perselisihan antara kedua pemimpin meluas ke pertemuan OPEC pada bulan Oktober, ketika UEA menuduh Arab Saudi memaksanya untuk menyetujui pengurangan produksi minyak.
Emirat menyatakan kesiapan untuk menarik diri dari OPEC, yang mencerminkan rasa frustrasi mereka dengan dominasi Saudi dalam organisasi tersebut.
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah melakukan upaya untuk mendamaikan kedua belah pihak, mengadakan pertemuan pada bulan Mei antara Mohammed bin Salman dan Sheikh Tahnoun bin Zayed—adik laki-laki Presiden MBZ yang juga Penasihat Keamanan Nasional UEA.
Pemimpin Saudi mengatakan kepada Tahnoun bahwa UEA tidak boleh mengganggu gencatan senjata yang dipimpin Saudi di Yaman, dan menjanjikan konsesi ke Abu Dhabi.
Namun, menurut sumber WSJ, Putra Mahkota Mohammed bin Salman kemudian mengatakan kepada para penasihatnya untuk tidak mengubah kebijakan apa pun terhadap UEA.
"Saya tidak mempercayai mereka lagi," katanya seperti dikutip dari sumber WSJ.
(mas)