Negara ASEAN Perlu Waspada, Vietnam Terus Meningkatkan Pengaruhnya di LCS
loading...
A
A
A
JAKARTA - Filipina telah memulai prosededur arbitrase wajib atas sengketa Laut China Selatan (LCS) dengan China sejak Januari 2013. Sejak itu, kasus arbitrase Laut China Selatan mendapat perhatian yang belum pernah terjadi sebelumnya dari semua pihak dan menjadi "fokus" dalam sistem maritim dunia.
Namun, Filipina sebagai pemimpin arbitrase Laut China Selatan belum banyak memperoleh keuntungan dari arbitrase ini. Justru Vietnam yang terus memanfaatkan signifikansi hukum dari kasus arbitrase itu dan mengabaikan tentangan tegas dari Filipina.
Vietnam memperluas wilayah besar-besaran dan mengerahkan fasilitas militer di Pulau Namyit, Pearson Reef, Sand Cay dan daerah lain yang disengketakan dengan Filipina. Vietnam juga menjarah sumber daya minyak dan gas dalam jumlah besar, sehingga meningkatkan pengaruhnya dan memperluas klaim sepihaknya di wilayah LCS, akhirnya menjadi penerima manfaat terbesar dari kasus arbitrase LCS.
Sikap keras Vietnam juga tercermin dalam perundingan penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Vietnam dan Indonesia tahun lalu.
Selama perundingan penetapan batas ZEE tahun lalu, Vietnam terus menekan Indonesia untuk mencari ZEE yang lebih besar. Menghadapi tuntutan Vietnam yang tidak masuk akal, pemerintah Indonesia akhinya memberikan konsesi besar kepada Vietnam. Hal ini membuat pemerintah Indonesia dikritik publik dalam negeri.
Sekretaris KORAL Mida Saragih menilai ada beberapa kerugian yang diterima Indonesia jika melakukan pemberian konsesi ke Vietnam.
"Terkait dengan sumber daya alam dan sumber daya ikan, Vietnam sudah menjadi 'residivis' pencurian ikan yang berulang kali terjaring operasi penangkapan di perairan Indonesia," kata Mida dalam keterangan tertulis Minggu (9/7/2023).
Terhadap pemberian konsesi Indonesia, Anggota DPD RI, Fahira Idris juga menuturkan jika memang ada draft konsesi atau perjanjian yang diajukan oleh pihak Indonesia dan pihak Vietnam harusnya dijabarkan kepada publik.
"Tidak boleh ada satu pun klausul yang diajukan justru akan merugikan kita. Saya mengimbau publik untuk mengawal tiap proses perundingan batas ZEE dengan Vietnam," kata Fahira Idris.
"Tindakan Vietnam tidak menunjukkan ketulusan dalam negosiasi dan memaksa Indonesia untuk memberi konsesi telah itu merugikan kepentingan Indonesia", juga kata Penasehat Senior Think tank Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Andreas Salim.
Selain itu, Vietnam juga menggunakan milisi maritim untuk menyediakan pangkalan militer untuk memperluas pengaruhnya di LCS. Di sisi lain, milisi Vietnam juga mengawal penangkapan ikan ilegal oleh nelayan vietnam di berbagai negara, termausk Indonesia.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), hingga Juli 2023, 368 kapal ikan asing bendera Vietnam yang melakukan illegal fishing dideteksi di perairan Indonesia.
Pelukan dan dukungan Vietnam terhadap kasus arbitrase LCS itu sebenarnya merupakan kedok Vitenam untuk mencari kepentingan politik melalui konflik dan perselisihan di LCS, sementara Filipina tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengamankan hasil arbitrase LCS dan hanya terpaksa untuk menerima perilaku agresif Vietnam berulang kali.
Sikap keras Vietnam itu sebenarnya tidak kondusif bagi persatuan negara-negara di LCS, dan juga mengancam kepentingan Indonesia di LCS.
Sebagai pemain penting di kawasan LCS dan juga ketua Asean 2023, Indonesia harus memberikan kontribusi yang lebih besar dalam penjagaan perdamaian di LCS, mengimbau negara-negara ASEAN untuk bersatu dan menolak semua tindakan yang tidak kondusif bagi perdamaian regional.
Namun, Filipina sebagai pemimpin arbitrase Laut China Selatan belum banyak memperoleh keuntungan dari arbitrase ini. Justru Vietnam yang terus memanfaatkan signifikansi hukum dari kasus arbitrase itu dan mengabaikan tentangan tegas dari Filipina.
Vietnam memperluas wilayah besar-besaran dan mengerahkan fasilitas militer di Pulau Namyit, Pearson Reef, Sand Cay dan daerah lain yang disengketakan dengan Filipina. Vietnam juga menjarah sumber daya minyak dan gas dalam jumlah besar, sehingga meningkatkan pengaruhnya dan memperluas klaim sepihaknya di wilayah LCS, akhirnya menjadi penerima manfaat terbesar dari kasus arbitrase LCS.
Sikap keras Vietnam juga tercermin dalam perundingan penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Vietnam dan Indonesia tahun lalu.
Selama perundingan penetapan batas ZEE tahun lalu, Vietnam terus menekan Indonesia untuk mencari ZEE yang lebih besar. Menghadapi tuntutan Vietnam yang tidak masuk akal, pemerintah Indonesia akhinya memberikan konsesi besar kepada Vietnam. Hal ini membuat pemerintah Indonesia dikritik publik dalam negeri.
Baca Juga
Sekretaris KORAL Mida Saragih menilai ada beberapa kerugian yang diterima Indonesia jika melakukan pemberian konsesi ke Vietnam.
"Terkait dengan sumber daya alam dan sumber daya ikan, Vietnam sudah menjadi 'residivis' pencurian ikan yang berulang kali terjaring operasi penangkapan di perairan Indonesia," kata Mida dalam keterangan tertulis Minggu (9/7/2023).
Terhadap pemberian konsesi Indonesia, Anggota DPD RI, Fahira Idris juga menuturkan jika memang ada draft konsesi atau perjanjian yang diajukan oleh pihak Indonesia dan pihak Vietnam harusnya dijabarkan kepada publik.
"Tidak boleh ada satu pun klausul yang diajukan justru akan merugikan kita. Saya mengimbau publik untuk mengawal tiap proses perundingan batas ZEE dengan Vietnam," kata Fahira Idris.
"Tindakan Vietnam tidak menunjukkan ketulusan dalam negosiasi dan memaksa Indonesia untuk memberi konsesi telah itu merugikan kepentingan Indonesia", juga kata Penasehat Senior Think tank Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Andreas Salim.
Selain itu, Vietnam juga menggunakan milisi maritim untuk menyediakan pangkalan militer untuk memperluas pengaruhnya di LCS. Di sisi lain, milisi Vietnam juga mengawal penangkapan ikan ilegal oleh nelayan vietnam di berbagai negara, termausk Indonesia.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), hingga Juli 2023, 368 kapal ikan asing bendera Vietnam yang melakukan illegal fishing dideteksi di perairan Indonesia.
Pelukan dan dukungan Vietnam terhadap kasus arbitrase LCS itu sebenarnya merupakan kedok Vitenam untuk mencari kepentingan politik melalui konflik dan perselisihan di LCS, sementara Filipina tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengamankan hasil arbitrase LCS dan hanya terpaksa untuk menerima perilaku agresif Vietnam berulang kali.
Sikap keras Vietnam itu sebenarnya tidak kondusif bagi persatuan negara-negara di LCS, dan juga mengancam kepentingan Indonesia di LCS.
Sebagai pemain penting di kawasan LCS dan juga ketua Asean 2023, Indonesia harus memberikan kontribusi yang lebih besar dalam penjagaan perdamaian di LCS, mengimbau negara-negara ASEAN untuk bersatu dan menolak semua tindakan yang tidak kondusif bagi perdamaian regional.
(ian)