Perang Ukraina Bakal Jadi Pertempuran Depleted Uranium AS-Inggris vs Rusia
loading...
A
A
A
KYIV - Perang di Ukraina akan segera memasuki babak baru yang mengerikan, yakni pertempuran persenjataan depleted uranium (uranium terdeplesi) milik Amerika Serikat (AS) dan Inggris dengan Rusia.
Perkembangan ini muncul setelah Amerika Serikat (AS) mengisyaratkan akan memasok amunisi depleted uranium (DU) ke Ukraina seperti halnya yang sudah dijanjikan oleh Inggris.
Sebagai respons, Rusia pun siap menggunakan amunisi serupa dalam perangnya di Ukraina.
The Wall Street Journal (WSJ) telah melaporkan bahwa pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah secara aktif mempertimbangkan kemungkinan pengiriman amunisi DU ke Ukraina selama beberapa bulan. Washington masih mempertimbangkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Perwakilan dari pemerintah Biden mengeklaim bahwa saat ini tidak ada hambatan yang signifikan untuk memasok amunisi semacam itu ke Kyiv.
Laporan WSJ juga menyatakan bahwa terutama karena keefektifannya yang lebih besar, Pentagon bersikeras akan mengirim amunisi DU.
Para pejabat AS berpendapat bahwa transfer amunisi DU yang sangat mematikan akan membantu upaya kontraofensif Ukraina dan memungkinkannya memperoleh keuntungan yang signifikan di wilayah selatan dan timur.
Lantaran pertempuran sebagian besar terjadi di darat, amunisi DU akan memberi pasukan Kyiv keunggulan dalam pertempuran tank.
Namun, menurut beberapa klaim yang dibuat oleh pakar militer Rusia, kendaraan lapis baja Moskow, termasuk tank T-14 Armata, menyertakan sistem proteksi aktif dan lapis baja komposit yang di-upgrade—yang dimaksudkan untuk mengurangi ancaman yang ditimbulkan oleh senjata anti-tank, terutama yang menggunakan amunisi DU.
Pada bulan Maret 2023, Kementerian Pertahanan Inggris mengonfirmasi akan memberi Ukraina amunisi penembus lapis baja yang mengandung DU, yang pada dasarnya dikembangkan oleh AS selama Perang Dingin untuk menghancurkan tank Soviet dan dapat ditembakkan oleh tank Challenger-2 Inggris.
Namun, pengumuman itu memicu pembalasan sengit dari Kremlin.
Menyusul pengumuman bahwa amunisi DU dapat segera digunakan Ukraina untuk melawan pasukan dan tank Rusia, Moskow mengancam akan meningkatkan serangan terhadap Ukraina.
Setelah keputusan AS baru-baru ini, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa Moskow juga akan menggunakan senjata DU jika diperlukan.
“Kami memiliki banyak amunisi seperti itu, dengan DU, dan jika mereka [Angkatan Bersenjata Ukraina] menggunakannya, kami juga berhak menggunakan amunisi yang sama,” kata Putin.
Namun, ini bisa mendatangkan malapetaka karena sifat berbahaya dari amunisi DU.
Depleted uranium adalah produk sampingan dari proses pengayaan uranium, yang diperlukan untuk membuat senjata nuklir.
Pengumuman AS dan Rusia telah memicu diskusi intens di kalangan militer dan pengamat kebijakan yang sebagian besar mengecam langkah tersebut.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya oleh spesialis nuklir dan peneliti kebijakan Edward Geist dari RAND Corporation, sebagaimana dikutip EurAsian Times, Kamis (15/6/2023), amunisi semacam itu memiliki karakteristik radioaktif tertentu tetapi tidak cukup untuk menghasilkan reaksi nuklir seperti senjata nuklir.
Meskipun demikian, DU sangat padat, lebih dari timbal, membuatnya sangat diinginkan sebagai proyektil meskipun jauh lebih lemah daripada uranium yang diperkaya dan tidak mampu memicu reaksi nuklir.
Namun, penggunaannya sangat berbahaya karena dapat menyebabkan efek yang sangat beracun bagi penduduk sipil juga.
Program Lingkungan PBB mengatakan bahwa "toksisitas kimiawi" logam adalah masalah terbesar dari penggunaan senjata semacam itu, dan dapat menyebabkan iritasi kulit, gagal ginjal, dan meningkatkan risiko kanker.
Selain itu, amunisi DU dianggap sebagai bahaya kesehatan radiasi ketika terhirup sebagai debu atau pecahan peluru, sehingga penggunaannya menjadi lebih berbahaya.
Sederhananya, seperti yang dijelaskan oleh Harvard International Review: “Depleted uranium dapat menimbulkan risiko bagi tentara dan penduduk sipil setempat. Ketika amunisi yang terbuat dari depleted uranium menyerang target, uranium tersebut berubah menjadi debu yang dihirup oleh tentara di dekat lokasi ledakan. Angin kemudian membawa debu ke daerah sekitarnya, mencemari air dan pertanian setempat.”
Ini mengingatkan momen saat Amerika Serikat dan pasukan sekutunya diduga menjatuhkan senjata DU dan fosfor putih di Irak saat invasi tahun 2003, mendatangkan malapetaka dan menyebabkan kehancuran yang tidak dapat diurungkan selama beberapa tahun mendatang.
Pada tahun 2003, aliansi pimpinan Amerika Serikat melancarkan invasi besar-besaran ke Republik Irak. Fase invasi melibatkan pasukan dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Polandia dan dimulai pada 19 Maret 2003, dengan pengeboman udara, dengan operasi darat menyusul setelahnya.
Padahal tim inspeksi PBB yang dipimpin oleh Hans Blix telah menyatakan sebelum invasi bahwa pihaknya tidak menemukan bukti keberadaan senjata pemusnah massal (WMD) seperti yang dituduhkan Presiden AS George W Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair sebagai dalih invasi.
Perkembangan ini muncul setelah Amerika Serikat (AS) mengisyaratkan akan memasok amunisi depleted uranium (DU) ke Ukraina seperti halnya yang sudah dijanjikan oleh Inggris.
Sebagai respons, Rusia pun siap menggunakan amunisi serupa dalam perangnya di Ukraina.
The Wall Street Journal (WSJ) telah melaporkan bahwa pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah secara aktif mempertimbangkan kemungkinan pengiriman amunisi DU ke Ukraina selama beberapa bulan. Washington masih mempertimbangkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Perwakilan dari pemerintah Biden mengeklaim bahwa saat ini tidak ada hambatan yang signifikan untuk memasok amunisi semacam itu ke Kyiv.
Laporan WSJ juga menyatakan bahwa terutama karena keefektifannya yang lebih besar, Pentagon bersikeras akan mengirim amunisi DU.
Para pejabat AS berpendapat bahwa transfer amunisi DU yang sangat mematikan akan membantu upaya kontraofensif Ukraina dan memungkinkannya memperoleh keuntungan yang signifikan di wilayah selatan dan timur.
Lantaran pertempuran sebagian besar terjadi di darat, amunisi DU akan memberi pasukan Kyiv keunggulan dalam pertempuran tank.
Namun, menurut beberapa klaim yang dibuat oleh pakar militer Rusia, kendaraan lapis baja Moskow, termasuk tank T-14 Armata, menyertakan sistem proteksi aktif dan lapis baja komposit yang di-upgrade—yang dimaksudkan untuk mengurangi ancaman yang ditimbulkan oleh senjata anti-tank, terutama yang menggunakan amunisi DU.
Pada bulan Maret 2023, Kementerian Pertahanan Inggris mengonfirmasi akan memberi Ukraina amunisi penembus lapis baja yang mengandung DU, yang pada dasarnya dikembangkan oleh AS selama Perang Dingin untuk menghancurkan tank Soviet dan dapat ditembakkan oleh tank Challenger-2 Inggris.
Namun, pengumuman itu memicu pembalasan sengit dari Kremlin.
Menyusul pengumuman bahwa amunisi DU dapat segera digunakan Ukraina untuk melawan pasukan dan tank Rusia, Moskow mengancam akan meningkatkan serangan terhadap Ukraina.
Setelah keputusan AS baru-baru ini, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa Moskow juga akan menggunakan senjata DU jika diperlukan.
“Kami memiliki banyak amunisi seperti itu, dengan DU, dan jika mereka [Angkatan Bersenjata Ukraina] menggunakannya, kami juga berhak menggunakan amunisi yang sama,” kata Putin.
Namun, ini bisa mendatangkan malapetaka karena sifat berbahaya dari amunisi DU.
Depleted uranium adalah produk sampingan dari proses pengayaan uranium, yang diperlukan untuk membuat senjata nuklir.
Pengumuman AS dan Rusia telah memicu diskusi intens di kalangan militer dan pengamat kebijakan yang sebagian besar mengecam langkah tersebut.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya oleh spesialis nuklir dan peneliti kebijakan Edward Geist dari RAND Corporation, sebagaimana dikutip EurAsian Times, Kamis (15/6/2023), amunisi semacam itu memiliki karakteristik radioaktif tertentu tetapi tidak cukup untuk menghasilkan reaksi nuklir seperti senjata nuklir.
Meskipun demikian, DU sangat padat, lebih dari timbal, membuatnya sangat diinginkan sebagai proyektil meskipun jauh lebih lemah daripada uranium yang diperkaya dan tidak mampu memicu reaksi nuklir.
Namun, penggunaannya sangat berbahaya karena dapat menyebabkan efek yang sangat beracun bagi penduduk sipil juga.
Program Lingkungan PBB mengatakan bahwa "toksisitas kimiawi" logam adalah masalah terbesar dari penggunaan senjata semacam itu, dan dapat menyebabkan iritasi kulit, gagal ginjal, dan meningkatkan risiko kanker.
Selain itu, amunisi DU dianggap sebagai bahaya kesehatan radiasi ketika terhirup sebagai debu atau pecahan peluru, sehingga penggunaannya menjadi lebih berbahaya.
Sederhananya, seperti yang dijelaskan oleh Harvard International Review: “Depleted uranium dapat menimbulkan risiko bagi tentara dan penduduk sipil setempat. Ketika amunisi yang terbuat dari depleted uranium menyerang target, uranium tersebut berubah menjadi debu yang dihirup oleh tentara di dekat lokasi ledakan. Angin kemudian membawa debu ke daerah sekitarnya, mencemari air dan pertanian setempat.”
Ini mengingatkan momen saat Amerika Serikat dan pasukan sekutunya diduga menjatuhkan senjata DU dan fosfor putih di Irak saat invasi tahun 2003, mendatangkan malapetaka dan menyebabkan kehancuran yang tidak dapat diurungkan selama beberapa tahun mendatang.
Pada tahun 2003, aliansi pimpinan Amerika Serikat melancarkan invasi besar-besaran ke Republik Irak. Fase invasi melibatkan pasukan dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Polandia dan dimulai pada 19 Maret 2003, dengan pengeboman udara, dengan operasi darat menyusul setelahnya.
Padahal tim inspeksi PBB yang dipimpin oleh Hans Blix telah menyatakan sebelum invasi bahwa pihaknya tidak menemukan bukti keberadaan senjata pemusnah massal (WMD) seperti yang dituduhkan Presiden AS George W Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair sebagai dalih invasi.
(mas)