4 Alasan Aliansi Militer Pimpinan AS di Timur Tengah Makin Mandul
loading...
A
A
A
DUBAI - Militer Amerika Serikat (AS) tidak lagi menjadi kekuatan yang diperhitungkan di Timur Tengah. Itu dikarenakan Washington memilih menggeser kekuatan militernya ke Asia untuk melawan China.
Akibatnya, mitra aliansi AS di Timur Tengah, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) sudah menunjukkan sinyal kemarahan. Mereka menganggap bahwa AS sudah mandul dan tidak mau lagi menghadapi Iran. AS kehilangan pamornya sebagai negara adidaya untuk melindungi mitra koalisinya.
Foto/Reuters
Arab Saudi semakin dekat untuk bergabung dengan blok keamanan dan ekonomi Asia yang dipimpin China. Beijing sudah diberikan status sebagai mitra dialog di Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO) kepada Riyadh.
SCO merupakan sebuah perkumpulan yang sebagian besar negara bekas Soviet. SCO mencakup Rusia dan China, serta pemain ekonomi utama lainnya seperti India dan Pakistan.
Arab Saudi juga secara signifikan memperkuat ikatan energinya dengan China dengan senilai USD3,6 miliar untuk membeli 10% Rongsheng Petrochemical China, yang akan memasok 480.000 barel per hari minyak mentah ke perusahaan tersebut.
Analis mengatakan bahwa ketika persaingan AS dengan China dan Rusia meningkat di dunia yang semakin terpolarisasi, Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya memilih untuk mendiversifikasi kemitraan global mereka. Tetapi sementara negara-negara seperti Arab Saudi mungkin semakin dekat dengan China, Beijing jauh dari menjadi saingan AS di wilayah tersebut.
“Hubungan monogami tradisional dengan AS kini telah berakhir,” kata Ali Shihabi, seorang analis dan pakar politik Saudi, dilansir CNN. “Dan kami telah menjalin hubungan yang lebih terbuka; kuat dengan AS tetapi sama kuatnya dengan China, India, Inggris, Prancis, dan lainnya.”
Shihabi mengatakan, polarisasi itu adalah alasan berbagai pihak membawa berbagai bentuk pengaruh ke meja perundingan. “Hal cerdas untuk Saudi adalah menempatkan portofolio hubungan strategis yang semuanya berkontribusi pada keamanan dan kemakmurannya dengan cara yang berbeda.”
Duta Besar Kerajaan untuk Amerika Serikat, Putri Reema binti Bandar Al Saud, bahwa peninjauan kembali hubungan AS-Saudi adalah “hal yang positif.” “Saudi ini bukanlah kerajaan seperti lima tahun yang lalu, bukan kerajaan seperti 10 tahun yang lalu. Jadi, setiap analisis yang ada tidak lagi relevan,” katanya, namun menekankan bahwa aliansi dengan AS sangat luas dan kuat.
Kemudian, Vali Nasr, pakar kajian Timur Tengah di Johns Hopkins University, mengatakan AS perlu memikirkan kembali kebijakan Timur Tengahnya karena telah didasarkan pada konsep yang sangat berbeda dari Arab Saudi.
Akibatnya, mitra aliansi AS di Timur Tengah, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) sudah menunjukkan sinyal kemarahan. Mereka menganggap bahwa AS sudah mandul dan tidak mau lagi menghadapi Iran. AS kehilangan pamornya sebagai negara adidaya untuk melindungi mitra koalisinya.
Berikut adalah 4 alasan utama kenapa militer AS mulai mandul di Timur Tengah.
1. Saudi Makin Mesra dengan China
Foto/Reuters
Arab Saudi semakin dekat untuk bergabung dengan blok keamanan dan ekonomi Asia yang dipimpin China. Beijing sudah diberikan status sebagai mitra dialog di Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO) kepada Riyadh.
SCO merupakan sebuah perkumpulan yang sebagian besar negara bekas Soviet. SCO mencakup Rusia dan China, serta pemain ekonomi utama lainnya seperti India dan Pakistan.
Arab Saudi juga secara signifikan memperkuat ikatan energinya dengan China dengan senilai USD3,6 miliar untuk membeli 10% Rongsheng Petrochemical China, yang akan memasok 480.000 barel per hari minyak mentah ke perusahaan tersebut.
Analis mengatakan bahwa ketika persaingan AS dengan China dan Rusia meningkat di dunia yang semakin terpolarisasi, Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya memilih untuk mendiversifikasi kemitraan global mereka. Tetapi sementara negara-negara seperti Arab Saudi mungkin semakin dekat dengan China, Beijing jauh dari menjadi saingan AS di wilayah tersebut.
“Hubungan monogami tradisional dengan AS kini telah berakhir,” kata Ali Shihabi, seorang analis dan pakar politik Saudi, dilansir CNN. “Dan kami telah menjalin hubungan yang lebih terbuka; kuat dengan AS tetapi sama kuatnya dengan China, India, Inggris, Prancis, dan lainnya.”
Shihabi mengatakan, polarisasi itu adalah alasan berbagai pihak membawa berbagai bentuk pengaruh ke meja perundingan. “Hal cerdas untuk Saudi adalah menempatkan portofolio hubungan strategis yang semuanya berkontribusi pada keamanan dan kemakmurannya dengan cara yang berbeda.”
Duta Besar Kerajaan untuk Amerika Serikat, Putri Reema binti Bandar Al Saud, bahwa peninjauan kembali hubungan AS-Saudi adalah “hal yang positif.” “Saudi ini bukanlah kerajaan seperti lima tahun yang lalu, bukan kerajaan seperti 10 tahun yang lalu. Jadi, setiap analisis yang ada tidak lagi relevan,” katanya, namun menekankan bahwa aliansi dengan AS sangat luas dan kuat.
Kemudian, Vali Nasr, pakar kajian Timur Tengah di Johns Hopkins University, mengatakan AS perlu memikirkan kembali kebijakan Timur Tengahnya karena telah didasarkan pada konsep yang sangat berbeda dari Arab Saudi.