2 Anak Muda yang Menjadi Miliarder karena Kembangkan Bisnis AI
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan menjadi kesempatan bagi orang menjadi miliarder. Dengan mengandalkan koding dan melihat peluang, anak muda di berbagai dunia bisa mengumpulkan pundi-pundi kekayaan dengan lebih mudah.
Peluang menjadi miliarder dari AI terbuka lebar karena industri di berbagai sektor kini sudah semakin terbuka menggunakannya. Apalagi, semakin banyak orang menggunakan AI untuk mendukung dan menyukseskan berbagai kegiatan dan aktivitasnya.
Berikut adalah 2 anak muda yang berhasil memanfaatkan AI sehingga mereka bisa menjadi miliarder.
1. Shunsaku Sagami
Foto/Techstory
Sagami, pendiri dan CEO M&A Research Institute Holdings, memiliki kekayaan senilai USD950 juta. Dia mendirikan sebuah firma broker pada 2018 untuk membantu menemukan antara investor dan perusahaan kecil di Jepang yang ingin dijual. Kebanyakan perusahaan kecil di Jepang umumnya tutup karena tidak ada penerus.
Sagami menggunakan AI untuk membantu menyelesaikan permasalahan di masyarakat dengan populasi yang terus menua di Jepang. Sejak debutnya di Bursa Saham Tokyo pada Juni 2022, saham M&A Research Institute terus meningkat tajam. Pada tahun 2023 saja sudah meningkat 47%. Sagami yang berusia 32 tahun memiliki 72% saham pada perusahaan tersebut.
Pada April 2023, 620.000 perusahaan menguntungkan berisiko tutup karena tidak ada penerus. Kepada Bloomberg dalam wawancara terbaru, Sagami mengatakan dirinya menemukan inspirasi untuk memulai bisnis tersebut dari kakeknya yang terpaksa menutup bisnis agen properti pada 1980-an ketika pensiun karena dia tak mampu menemukan penerusnya. “Di kantor kakek, ada lisensi bagi agen properti yang dipajang di dinding. Ketika itu tutup, maka lisensi itu dibuang dan itu sangat menyedihkan,” katanya.
M&A Research Institute, kini mempekerjakan lebih dari 160 orang, fokus untuk menjual perusahaan dengan nilai penjualan USD3,7 juta per tahun. Dengan menggunakan AI dan data yang layak, perusahaan yang hendak dijual bisa membangun kesepakatan selama 49 hari hingga 6 bulan. Kesepakatan itu penjualan bisa mencapai satu tahun tergantung dengan kesepakatan.
M&A Research Institute tidak akan meminta upah hingga transaksi penjualan tersebut. Tapi, M&A Research Institute meminta 5% dari transaksi jika sukses. Itu menyebabkan M&A Research Institute mampu mengumpulkan dana hingga 10 juta yen. Hingga Maret 2023, terdapat 62 kesepakatan dan itu meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun lalu.
Itu bukan pertama kali bisnis bagi Sagami. Lulusan sarjana biologi dan pertania dari Universitas Kobe, awalnya dia adalah pengembang software dan pernah bekerja sebagai staf pemasaran. Dia pernah mendirikan Alpaca, perusahaan fashion perempuan pada 2017, dan dijual kepada perusahaan public relation. Dia belajar bahwa proses kesepakatan tidak efisien, akhirnya dia membuat sistem dengan algoritma AI untuk menyederhanakan aliran bisnis.
2. Alexandr Wang
Foto/bizjournals
Setelah tumbuh dengan bayang-bayang program senjata nuklir Amerika Serikat (AS), Wang ternyata dropped out dari MIT pada usia 19 tahun. Dia memilih mendirikan Scale AI. Kini bisnisnya membantu Angkatan Udara AS, militer, GM dan Felxport untuk mengungkap data potensial mereka.
Wang tumbuh besar di Los Alamos National Lab, New Mexico, lokasi rahasia di mana AS mengembangkan bom atom untuk Perang Dunia II. Orang tuanya merupakan fisikawan yang bekerja untuk mengembangkan senjata nuklir untuk militer. Sama seperti ayahnya, Wang juga bekerja untuk proyek militer senilai USD350 juta. Padahal, perusahaannya baru berusia enam tahun dan dia masih berusia 25 tahun.
Teknologi yang dikembangkan Wang mampu menganalisis citra satelit lebih cepat dibandingkan analisis manusia. Itu bisa menemukan seberapa besar kerusakan akibat bom Rusia di Ukraina.
Bukan hanya militer, Scale AI juga bekerja sama dengan lebih dari 300 perusahaan, seperti General Motors dan Flexport, untuk menyelesaikan jutaan data. “Setiap industri memiliki banyak data,” kata Wang. “Tujuan kita membantu menemukan potensi data dengan bantuan AI,” paparnya.
Pendapatan Scale AI kini mencapai USD7,3 miliar. Wang memiliki 15% saham pada Scale AI dengan nilai USD1 miliar. “Saya mengatakan kepada orang tua bahwa saya melakukan hal baik pada liburan musim panas. Saya pun tak kembali ke sekolah,” tuturnya mengenang ketika izin keluar dari kampus.
Saat kecil, Wang menjadi anak yang jago matematika dan koding. Pada usia 6 tahun, dia sudah menjuarai kompetisi matematika tingkat nasional. Pada usia 17 tahun, dia sudah bekerja di Quora.
Peluang menjadi miliarder dari AI terbuka lebar karena industri di berbagai sektor kini sudah semakin terbuka menggunakannya. Apalagi, semakin banyak orang menggunakan AI untuk mendukung dan menyukseskan berbagai kegiatan dan aktivitasnya.
Berikut adalah 2 anak muda yang berhasil memanfaatkan AI sehingga mereka bisa menjadi miliarder.
1. Shunsaku Sagami
Foto/Techstory
Sagami, pendiri dan CEO M&A Research Institute Holdings, memiliki kekayaan senilai USD950 juta. Dia mendirikan sebuah firma broker pada 2018 untuk membantu menemukan antara investor dan perusahaan kecil di Jepang yang ingin dijual. Kebanyakan perusahaan kecil di Jepang umumnya tutup karena tidak ada penerus.
Sagami menggunakan AI untuk membantu menyelesaikan permasalahan di masyarakat dengan populasi yang terus menua di Jepang. Sejak debutnya di Bursa Saham Tokyo pada Juni 2022, saham M&A Research Institute terus meningkat tajam. Pada tahun 2023 saja sudah meningkat 47%. Sagami yang berusia 32 tahun memiliki 72% saham pada perusahaan tersebut.
Pada April 2023, 620.000 perusahaan menguntungkan berisiko tutup karena tidak ada penerus. Kepada Bloomberg dalam wawancara terbaru, Sagami mengatakan dirinya menemukan inspirasi untuk memulai bisnis tersebut dari kakeknya yang terpaksa menutup bisnis agen properti pada 1980-an ketika pensiun karena dia tak mampu menemukan penerusnya. “Di kantor kakek, ada lisensi bagi agen properti yang dipajang di dinding. Ketika itu tutup, maka lisensi itu dibuang dan itu sangat menyedihkan,” katanya.
M&A Research Institute, kini mempekerjakan lebih dari 160 orang, fokus untuk menjual perusahaan dengan nilai penjualan USD3,7 juta per tahun. Dengan menggunakan AI dan data yang layak, perusahaan yang hendak dijual bisa membangun kesepakatan selama 49 hari hingga 6 bulan. Kesepakatan itu penjualan bisa mencapai satu tahun tergantung dengan kesepakatan.
M&A Research Institute tidak akan meminta upah hingga transaksi penjualan tersebut. Tapi, M&A Research Institute meminta 5% dari transaksi jika sukses. Itu menyebabkan M&A Research Institute mampu mengumpulkan dana hingga 10 juta yen. Hingga Maret 2023, terdapat 62 kesepakatan dan itu meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun lalu.
Itu bukan pertama kali bisnis bagi Sagami. Lulusan sarjana biologi dan pertania dari Universitas Kobe, awalnya dia adalah pengembang software dan pernah bekerja sebagai staf pemasaran. Dia pernah mendirikan Alpaca, perusahaan fashion perempuan pada 2017, dan dijual kepada perusahaan public relation. Dia belajar bahwa proses kesepakatan tidak efisien, akhirnya dia membuat sistem dengan algoritma AI untuk menyederhanakan aliran bisnis.
2. Alexandr Wang
Foto/bizjournals
Setelah tumbuh dengan bayang-bayang program senjata nuklir Amerika Serikat (AS), Wang ternyata dropped out dari MIT pada usia 19 tahun. Dia memilih mendirikan Scale AI. Kini bisnisnya membantu Angkatan Udara AS, militer, GM dan Felxport untuk mengungkap data potensial mereka.
Wang tumbuh besar di Los Alamos National Lab, New Mexico, lokasi rahasia di mana AS mengembangkan bom atom untuk Perang Dunia II. Orang tuanya merupakan fisikawan yang bekerja untuk mengembangkan senjata nuklir untuk militer. Sama seperti ayahnya, Wang juga bekerja untuk proyek militer senilai USD350 juta. Padahal, perusahaannya baru berusia enam tahun dan dia masih berusia 25 tahun.
Teknologi yang dikembangkan Wang mampu menganalisis citra satelit lebih cepat dibandingkan analisis manusia. Itu bisa menemukan seberapa besar kerusakan akibat bom Rusia di Ukraina.
Bukan hanya militer, Scale AI juga bekerja sama dengan lebih dari 300 perusahaan, seperti General Motors dan Flexport, untuk menyelesaikan jutaan data. “Setiap industri memiliki banyak data,” kata Wang. “Tujuan kita membantu menemukan potensi data dengan bantuan AI,” paparnya.
Pendapatan Scale AI kini mencapai USD7,3 miliar. Wang memiliki 15% saham pada Scale AI dengan nilai USD1 miliar. “Saya mengatakan kepada orang tua bahwa saya melakukan hal baik pada liburan musim panas. Saya pun tak kembali ke sekolah,” tuturnya mengenang ketika izin keluar dari kampus.
Saat kecil, Wang menjadi anak yang jago matematika dan koding. Pada usia 6 tahun, dia sudah menjuarai kompetisi matematika tingkat nasional. Pada usia 17 tahun, dia sudah bekerja di Quora.
(ahm)