3 Militer di Negara di Asia Tenggara Ini Sangat Berpengaruh dalam Politik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kenapa militer masih mendapatkan posisi di beberapa negara di Asia Tenggara? Itu tidak lepas bahwa militer dianggap sebagai pelindung negara dan tentara disebut dengan prajurit rakyat. Militer bukan hanya sebagai pelindung negara, tetapi juga pelindung masyarakat.
Pandangan seperti masih melekat sebagian warga di Thailand dan Myanmar. Banyak pendukung menganggap bahwa militer kerap menyelamatkan negara dari politikus yang jahat.
Kekuatan militer yang masih mendominasi di beberapa negara Asia Tenggara menjadi keuntungan bagi China dan Rusia untuk menebar pengaruh geopolitik. Itu berkebalikan dengan negara Barat yang tidak suka dengan intervensi militer terhadap politik.
Berikut 3 negara di Asia di mana militer masih melakukan intervensi politik dan memiliki pengaruh sangat kuat.
Baca Juga: Kekuatan Dahsyat Topan Mocha Sapu Bersih Pesisir Bangladesh dan Myanmar
1. Thailand
Foto/Reuters
Thailand mengalami dua kali kudeta militer dalam 15 tahun terakhir, yakni pada 2006 dan 2014. Kedua kudeta tersebut menggulingkan pemerintahan dari dinasti politik Shinawatra.
Sebagian masyarakat Thailand berpandangan bahwa meskipun kudeta militer terjadi, tapi stabilitas politik dan perekonomian tetap normal. Itulah yang menjadikan sebagian kelompok di Thailand tak mempermasalahkan politik diintervensi oleh militer.
2. Kamboja
Foto/Reuters
Rumor bahwa Perdana Menteri (PM) Hun Sen berencana menyerahkan sukses kekuasaan kepada putra tertuanya Hun Manet. Hun Sen menyatakan akan mengundurkan diri pada Juli 2023 mendatang. Hun Manet saat ini adalah pemimpin de facto militer sejak 2018.
Selama beberapa dekade, militer Kamboja merupakan sayap kekuasaan dari Partai Rakyat Kamboja yang berkuasa sejak 1979 setelah tergulingnya rezim Khmer Merah. Tapi, pemimpin militer tidak memegang jabatan politik. Namun, politisasi militer sangat kental di Kamboja.
3. Myanmar
Foto/Reuters
Liga untuk Demokrasi (NLD) berkuasa sejak 2016, tetapi digulingkan militer pada 2021. Itu menutup peluang berkembangnya demokrasinya di di Myanmar.
Bukan hanya politik, militer Myanmar juga menjalankan bisnis dan konglomerasi di berbagai sektor ekonomi. Misalnya, Myanmar Economic Holdings Limited yang dijalankan militer menguasai ekspor sumber daya alam. Sedangkan Viettel Group milik militer menguasai industri telekomunikasi.
Pandangan seperti masih melekat sebagian warga di Thailand dan Myanmar. Banyak pendukung menganggap bahwa militer kerap menyelamatkan negara dari politikus yang jahat.
Kekuatan militer yang masih mendominasi di beberapa negara Asia Tenggara menjadi keuntungan bagi China dan Rusia untuk menebar pengaruh geopolitik. Itu berkebalikan dengan negara Barat yang tidak suka dengan intervensi militer terhadap politik.
Berikut 3 negara di Asia di mana militer masih melakukan intervensi politik dan memiliki pengaruh sangat kuat.
Baca Juga: Kekuatan Dahsyat Topan Mocha Sapu Bersih Pesisir Bangladesh dan Myanmar
1. Thailand
Foto/Reuters
Thailand mengalami dua kali kudeta militer dalam 15 tahun terakhir, yakni pada 2006 dan 2014. Kedua kudeta tersebut menggulingkan pemerintahan dari dinasti politik Shinawatra.
Sebagian masyarakat Thailand berpandangan bahwa meskipun kudeta militer terjadi, tapi stabilitas politik dan perekonomian tetap normal. Itulah yang menjadikan sebagian kelompok di Thailand tak mempermasalahkan politik diintervensi oleh militer.
2. Kamboja
Foto/Reuters
Rumor bahwa Perdana Menteri (PM) Hun Sen berencana menyerahkan sukses kekuasaan kepada putra tertuanya Hun Manet. Hun Sen menyatakan akan mengundurkan diri pada Juli 2023 mendatang. Hun Manet saat ini adalah pemimpin de facto militer sejak 2018.
Selama beberapa dekade, militer Kamboja merupakan sayap kekuasaan dari Partai Rakyat Kamboja yang berkuasa sejak 1979 setelah tergulingnya rezim Khmer Merah. Tapi, pemimpin militer tidak memegang jabatan politik. Namun, politisasi militer sangat kental di Kamboja.
3. Myanmar
Foto/Reuters
Liga untuk Demokrasi (NLD) berkuasa sejak 2016, tetapi digulingkan militer pada 2021. Itu menutup peluang berkembangnya demokrasinya di di Myanmar.
Bukan hanya politik, militer Myanmar juga menjalankan bisnis dan konglomerasi di berbagai sektor ekonomi. Misalnya, Myanmar Economic Holdings Limited yang dijalankan militer menguasai ekspor sumber daya alam. Sedangkan Viettel Group milik militer menguasai industri telekomunikasi.
(ahm)