Malaysia Marah dengan Video Al Jazeera soal Penangkapan Massal Migran
Selasa, 07 Juli 2020 - 14:08 WIB
KUALA LUMPUR - Pemerintah Malaysia marah dengan tayangan program berita Al Jazeera yang menyuguhkan film dokumenter tentang penangkapan massal para migran tak berdokumen.
Kuala Lumpur menyebut video itu tidak benar dan merupakan upaya untuk menodai citra Malaysia. Polisi setempat resmi membuka penyelidikan video yang disiarkan media yang berbasis di Qatar tersebut.
"Locked up in Malaysia's Lockdown," bunyi judul film dokumenter yang diproduksi oleh program berita 101 East stasiun televisi tersebut. Video dokumenter itu berfokus pada nasib ribuan migran tidak berdokumen yang ditahan selama penggerebekan yang dilakukan di daerah yang dikunci (lockdown) ketat untuk mencegah penyebaran virus corona baru (Covid-19).
Film dokumenter tersebut disiarkan minggu lalu. Para pejabat Malaysia bereaksi marah, yang beberapa di antaranya mengecam laporan itu sebagai informasi tidak akurat, menyesatkan dan tidak adil.
Menteri Pertahanan Ismail Sabri Yaakob meminta Al Jazeera untuk meminta maaf kepada warga Malaysia. Dia mengatakan tuduhan rasisme dan diskriminasi terhadap migran tidak berdokumen adalah tidak benar. (Baca: Malaysia Tahan 1.368 Migran Tanpa Dokumen di Wilayah Lockdown )
Namun, pihak berwenang setempat sebelumnya membela diri atas penangkapan yang diperlukan untuk menegakkan hukum dan mencegah penyebaran pandemi Covid-19.
Polisi membuka penyelidikan atas film dokumenter Al Jazeera setelah ada pengaduan dari Departemen Imigrasi Malaysia. Demikian disampaikan Wakil Direktur Departemen Investigasi Kriminal Polisi, Mior Faridalathrash Wahid, kepada Reuters dalam sebuah pesan singkat, Selasa (7/7/2020).
Pihak Al Jazeera belum bersedia menanggapi permintaan komentar yang diajukan melalui email.
Penyelidikan polisi ini adalah yang terbaru dari serangkaian tindakan keras terhadap wartawan dan aktivis baru-baru ini yang disebut kelompok-kelompok hak asasi manusia bertujuan untuk membungkam perbedaan pendapat oleh pemerintah.
Pada bulan Mei, seorang jurnalis dari South China Morning Post yang berbasis di Hong Kong diinterogasi oleh polisi atas laporannya tentang penangkapan migran.
Pekan lalu, Pengadilan Federal Malaysia mengizinkan jaksa untuk terus maju dengan proses hukum terhadap portal berita Malaysiakini atas tuduhan penghinaan terkait komentar yang di-posting oleh para pembaca media itu.
Pihak Malaysiakini membantah telah berbuat salah, dengan mengatakan pihaknya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas komentar para pembaca.
Kuala Lumpur menyebut video itu tidak benar dan merupakan upaya untuk menodai citra Malaysia. Polisi setempat resmi membuka penyelidikan video yang disiarkan media yang berbasis di Qatar tersebut.
"Locked up in Malaysia's Lockdown," bunyi judul film dokumenter yang diproduksi oleh program berita 101 East stasiun televisi tersebut. Video dokumenter itu berfokus pada nasib ribuan migran tidak berdokumen yang ditahan selama penggerebekan yang dilakukan di daerah yang dikunci (lockdown) ketat untuk mencegah penyebaran virus corona baru (Covid-19).
Film dokumenter tersebut disiarkan minggu lalu. Para pejabat Malaysia bereaksi marah, yang beberapa di antaranya mengecam laporan itu sebagai informasi tidak akurat, menyesatkan dan tidak adil.
Menteri Pertahanan Ismail Sabri Yaakob meminta Al Jazeera untuk meminta maaf kepada warga Malaysia. Dia mengatakan tuduhan rasisme dan diskriminasi terhadap migran tidak berdokumen adalah tidak benar. (Baca: Malaysia Tahan 1.368 Migran Tanpa Dokumen di Wilayah Lockdown )
Namun, pihak berwenang setempat sebelumnya membela diri atas penangkapan yang diperlukan untuk menegakkan hukum dan mencegah penyebaran pandemi Covid-19.
Polisi membuka penyelidikan atas film dokumenter Al Jazeera setelah ada pengaduan dari Departemen Imigrasi Malaysia. Demikian disampaikan Wakil Direktur Departemen Investigasi Kriminal Polisi, Mior Faridalathrash Wahid, kepada Reuters dalam sebuah pesan singkat, Selasa (7/7/2020).
Pihak Al Jazeera belum bersedia menanggapi permintaan komentar yang diajukan melalui email.
Penyelidikan polisi ini adalah yang terbaru dari serangkaian tindakan keras terhadap wartawan dan aktivis baru-baru ini yang disebut kelompok-kelompok hak asasi manusia bertujuan untuk membungkam perbedaan pendapat oleh pemerintah.
Pada bulan Mei, seorang jurnalis dari South China Morning Post yang berbasis di Hong Kong diinterogasi oleh polisi atas laporannya tentang penangkapan migran.
Pekan lalu, Pengadilan Federal Malaysia mengizinkan jaksa untuk terus maju dengan proses hukum terhadap portal berita Malaysiakini atas tuduhan penghinaan terkait komentar yang di-posting oleh para pembaca media itu.
Pihak Malaysiakini membantah telah berbuat salah, dengan mengatakan pihaknya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas komentar para pembaca.
(min)
tulis komentar anda