Bela Riyadh, Turki Sebut AS Menindas Arab Saudi soal Minyak
Sabtu, 22 Oktober 2022 - 02:35 WIB
ANKARA - Turki menuduh Amerika Serikat (AS) telah menindas sekutunya, Arab Saudi , setelah Riyadh bersama OPEC+ memutuskan akan memangkas produksi minyak besar-besaran November nanti. Ankara membela Riyadh terkait kebijakan minyak tersebut.
Washington marah atas keputusan OPEC+ memangkas produksi minyak hingga 2 juta barel per hari mulai November karena akan memicu kenaikan harga bahan bakar minyak global, termasuk di Amerika.
Washington telah melakukan lobi ke Riyadh untuk meningkatkan produksi minyak, namun lobi tersebut gagal.
Presiden AS Joe Bidenkemudian mengancam Arab Saudi dengan mengatakan pada pekan lalu bahwa "akan ada konsekuensi" untuk hubungan Washington dan Riyadh setelah langkah OPEC+.
Para Senator Amerika juga mengancam Riyadh, termasuk mengusulkan kepada pemerintah Biden untuk menghentikan penjualan senjata kepada Arab Saudi dan menarik seluruh pasukan dan perlatan militer Washington dari kerajaan.
"Jelas bahwa kami tidak mendapatkan sebanyak yang kami butuhkan," kata Chris Murphy, salah satu Senator AS.
"Kami ingin tahu bahwa ketika chip turun, ketika ada krisis global, bahwa Saudi akan memilih kami daripada Rusia. Ya—mereka tidak. Mereka memilih Rusia. Mereka memilih untuk mendukung Rusia, mendorong menaikkan harga minyak, yang berpotensi memecah koalisi Ukraina kita. Dan harus ada konsekuensi untuk itu," kata Murphy.
“Kami menjual senjata dalam jumlah besar ke Saudi. Saya pikir kami perlu memikirkan kembali penjualan itu,” ujarnya.
"Saya pikir kita perlu mencabut pengecualian yang telah kita berikan kepada kartel OPEC+ ini dari kewajiban penetapan harga AS. Saya pikir kita perlu melihat kehadiran pasukan kita di Timur Tengah dan Arab Saudi," imbuh dia.
Turki menilai tindakan Amerika tidak bisa dibenarkan.
“Kami melihat ada negara yang mengancam Arab Saudi, terutama baru-baru ini. Penindasan ini tidak benar,” kata Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu pada konferensi pers di Turki selatan pada hari Jumat, yang dilansir Al Jazeera, Sabtu (22/10/2022).
“Kami pikir tidak tepat bagi AS untuk menggunakannya sebagai elemen tekanan terhadap Arab Saudi atau negara lain dengan cara ini," lanjut diplomat top Turki tersebut.
AS, yang terus menekan Arab Saudi untuk membatalkan keputusan OPEC+ dan meningkatkan produksi minyak, menuduh Riyadh memihak pada Rusia. Alasannya langkah OPEC+ akan semakin menguntungkan Moskow yang sedang membiayai perangnya di Ukraina.
Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan keputusan OPEC+ murni ekonomi dan diambil dengan suara bulat oleh negara-negara anggotanya.
Kerajaan Arab Saudi juga membantah tuduhan Amerika bahwa Riyadh memihak Rusia atas invasinya ke Ukraina yang didukung Barat.
Kerajaan bersikeras bahwa mereka telah mempertahankan “posisi berprinsip” dalam mendukung hukum internasional.
Menteri Pertahanan Arab Saudi Pangeran Khalid bin Salman baru-baru ini mengatakan dia “terkejut” dengan tuduhan bahwa kerajaan berpihak pada Rusia dalam perangnya dengan Ukraina.
Ancaman AS juga membuat pangeran Arab Saudi lainnya,Saud al-Shaalan, geram. Melalui video, dia balas mengancam Barat dengan "proyek jihad dan mati syahid".
Pangeran Saud adalah sepupu Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman.
Dalam sebuah video yang sudah menyebar di media sosial, cucu almarhum Raja Abdulaziz itu mengeluarkan ancaman kekerasan terhadap Barat.
"Siapa pun yang menantang keberadaan kerajaan ini, kita semua adalah proyek jihad dan syahid," kata Pangeran Saud dalam bahasa Inggris dan Prancis.
Menurut advokat hak asasi manusia (HAM) Arab Saudi, Abdullah Alaoudh, Pangeran Saud al-Shaalan juga merupakan pemimpin suku di kerajaan tersebut.
Intervensi Pangeran Saud datang ketika hubungan antara AS dan Arab Saudi telah mencapai titik nadir.
Washington marah atas keputusan OPEC+ memangkas produksi minyak hingga 2 juta barel per hari mulai November karena akan memicu kenaikan harga bahan bakar minyak global, termasuk di Amerika.
Washington telah melakukan lobi ke Riyadh untuk meningkatkan produksi minyak, namun lobi tersebut gagal.
Presiden AS Joe Bidenkemudian mengancam Arab Saudi dengan mengatakan pada pekan lalu bahwa "akan ada konsekuensi" untuk hubungan Washington dan Riyadh setelah langkah OPEC+.
Para Senator Amerika juga mengancam Riyadh, termasuk mengusulkan kepada pemerintah Biden untuk menghentikan penjualan senjata kepada Arab Saudi dan menarik seluruh pasukan dan perlatan militer Washington dari kerajaan.
"Jelas bahwa kami tidak mendapatkan sebanyak yang kami butuhkan," kata Chris Murphy, salah satu Senator AS.
"Kami ingin tahu bahwa ketika chip turun, ketika ada krisis global, bahwa Saudi akan memilih kami daripada Rusia. Ya—mereka tidak. Mereka memilih Rusia. Mereka memilih untuk mendukung Rusia, mendorong menaikkan harga minyak, yang berpotensi memecah koalisi Ukraina kita. Dan harus ada konsekuensi untuk itu," kata Murphy.
“Kami menjual senjata dalam jumlah besar ke Saudi. Saya pikir kami perlu memikirkan kembali penjualan itu,” ujarnya.
"Saya pikir kita perlu mencabut pengecualian yang telah kita berikan kepada kartel OPEC+ ini dari kewajiban penetapan harga AS. Saya pikir kita perlu melihat kehadiran pasukan kita di Timur Tengah dan Arab Saudi," imbuh dia.
Turki menilai tindakan Amerika tidak bisa dibenarkan.
“Kami melihat ada negara yang mengancam Arab Saudi, terutama baru-baru ini. Penindasan ini tidak benar,” kata Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu pada konferensi pers di Turki selatan pada hari Jumat, yang dilansir Al Jazeera, Sabtu (22/10/2022).
“Kami pikir tidak tepat bagi AS untuk menggunakannya sebagai elemen tekanan terhadap Arab Saudi atau negara lain dengan cara ini," lanjut diplomat top Turki tersebut.
AS, yang terus menekan Arab Saudi untuk membatalkan keputusan OPEC+ dan meningkatkan produksi minyak, menuduh Riyadh memihak pada Rusia. Alasannya langkah OPEC+ akan semakin menguntungkan Moskow yang sedang membiayai perangnya di Ukraina.
Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan keputusan OPEC+ murni ekonomi dan diambil dengan suara bulat oleh negara-negara anggotanya.
Kerajaan Arab Saudi juga membantah tuduhan Amerika bahwa Riyadh memihak Rusia atas invasinya ke Ukraina yang didukung Barat.
Kerajaan bersikeras bahwa mereka telah mempertahankan “posisi berprinsip” dalam mendukung hukum internasional.
Menteri Pertahanan Arab Saudi Pangeran Khalid bin Salman baru-baru ini mengatakan dia “terkejut” dengan tuduhan bahwa kerajaan berpihak pada Rusia dalam perangnya dengan Ukraina.
Ancaman AS juga membuat pangeran Arab Saudi lainnya,Saud al-Shaalan, geram. Melalui video, dia balas mengancam Barat dengan "proyek jihad dan mati syahid".
Pangeran Saud adalah sepupu Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman.
Dalam sebuah video yang sudah menyebar di media sosial, cucu almarhum Raja Abdulaziz itu mengeluarkan ancaman kekerasan terhadap Barat.
"Siapa pun yang menantang keberadaan kerajaan ini, kita semua adalah proyek jihad dan syahid," kata Pangeran Saud dalam bahasa Inggris dan Prancis.
Menurut advokat hak asasi manusia (HAM) Arab Saudi, Abdullah Alaoudh, Pangeran Saud al-Shaalan juga merupakan pemimpin suku di kerajaan tersebut.
Intervensi Pangeran Saud datang ketika hubungan antara AS dan Arab Saudi telah mencapai titik nadir.
(min)
tulis komentar anda