Dulu Lawan Sekarang Kawan, Ini Sejarah Perang Chechnya dan Rusia
Selasa, 02 Agustus 2022 - 20:46 WIB
JAKARTA - Chechnya merupakan sebuah wilayah otonomi khusus di barat daya Rusia , atau tepatnya berada di sisi utara Pegunungan Kaukasus Besar.
Wilayah ini berbatasan langsung dengan republik Dagestan di timur dan tenggara, serta Georgia di bagian baratnya.
Saat ini, Chechnya dikenal sebagai wilayah yang mendukung penuh pemerintah Presiden Rusia Vlaidmir Putin. Bahkan, saat Kremlin melancarkan invasi Ukraina, wilayah tersebut turut mengirim pasukan untuk membantu Rusia.
Selain itu, pemimpin Chechnya Ramzan Kadyrov juga dikenal sebagai loyalis Vladimir Putin.
Padahal, dulunya Chechnya dan Rusia pernah berkonflik. Dikutip dari DW, sekitar tahun 1944 pemimpin Uni Soviet Josef Stalin menuduh orang-orang Chechnya membantu Jerman selama Perang Dunia II.
Stalin pun akhirnya mengasingkan warga Chechnya. Kejamnya, rezim Stalin juga membunuh sekitar sepertiga dari populasi Chechnya saat perjalanan ke Kazakhstan.
Setelah keruntuhan Uni Soviet tahun 1991, Federasi Rusia dalam kondisi buruk. Presiden terpilih Boris Yeltsin bekerja keras untuk meredam aspirasi nasionalistik di antara rakyatnya.
Namun, pada akhir tahun 1991, Ukraina, Belarus, Georgia, Moldova, Latvia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan, dan beberapa wilayah lain mendeklarasikan kemerdekaannya. Dalam hal ini, Chechnya melakukan hal serupa.
Militan Chechnya yang dipimpin mantan jenderal angkatan udara Soviet; Dzokhar Dudayev, melakukan kudeta terhadap pemerintah yang bersekutu dengan Uni Soviet. Setelahnya, dia terpilih menjadi pemimpin Chechnya. Namun, Boris Yeltsin menolaknya.
Tak berselang lama, Chechnya justru dilanda perang saudara antara pro-Dudayev dan kontra-Dudayev. Dalam hal ini, faksi kontra-Dudayev meminta bantuan Moskow.
Setelah terlibat konflik, Boris Yeltsin memberi ultimatum agar semua faksi yang bertikai meletakan senjatanya. Dudayev menolak ultimatum tersebut. Pada akhirnya, Rusia melanjutkan pengeboman dan menyasar militer Chechnya.
Dalam perang tersebut, korban jiwa berjatuhan, tak terkecuali warga sipil termasuk anak-anak. Boris Yeltsin terus melanjutkan serangannya. Sampai pada akhirnya, Dudayev terbunuh pada 21 April 1996. Namun, para separatis segera menunjuk penggantinya.
Akhirnya, pada tanggal 31 Agustus 1996, penasihat keamanan nasional Rusia Alexander Lebed dan kepala staf militer Chechnya Aslan Maskhadov menyusun dan menandatangani Kesepakatan Khasavyurt. Isinya adalah seruan penarikan militer bersama dari Grozny dan penarikan semua pasukan Rusia di Chechnya pada tanggal 31 Desember 1996.
Perwakilan dari pemerintah masing-masing menandatangani perjanjian lebih lanjut selama beberapa bulan ke depan. Setelahnya, pada 12 Mei 1997, Yeltsin dan Presiden Chechnya yang baru terpilih Aslan Maskhadov menandatangani perjanjian yang mengakui otonomi Chechnya.
Akan tetapi, sekali lagi Chechnya terlibat konflik internal. Bahkan pada 1999, pasukan Chechnya menyerang Republik Dagestan untuk mendukung kelompok separatis muslim. Hal ini lantas membuat Rusia kembali menginvasi Chechnya atas perintah Vladimir Putin yang saat itu sudah menjadi Presiden Rusia.
Kali ini, pasukan Rusia sudah lebih kuat. Mereka bisa dengan cepat memenangkan pertempuran dan membawa Chechnya kembali menjadi bagian Moskow. Setelah kembali, Chechnya beroperasi di bawah hukum Rusia dan Vladimir Putin menunjuk Ramzan Kadyrov sebagai pemimpin Chechnya.
Wilayah ini berbatasan langsung dengan republik Dagestan di timur dan tenggara, serta Georgia di bagian baratnya.
Saat ini, Chechnya dikenal sebagai wilayah yang mendukung penuh pemerintah Presiden Rusia Vlaidmir Putin. Bahkan, saat Kremlin melancarkan invasi Ukraina, wilayah tersebut turut mengirim pasukan untuk membantu Rusia.
Selain itu, pemimpin Chechnya Ramzan Kadyrov juga dikenal sebagai loyalis Vladimir Putin.
Padahal, dulunya Chechnya dan Rusia pernah berkonflik. Dikutip dari DW, sekitar tahun 1944 pemimpin Uni Soviet Josef Stalin menuduh orang-orang Chechnya membantu Jerman selama Perang Dunia II.
Stalin pun akhirnya mengasingkan warga Chechnya. Kejamnya, rezim Stalin juga membunuh sekitar sepertiga dari populasi Chechnya saat perjalanan ke Kazakhstan.
Setelah keruntuhan Uni Soviet tahun 1991, Federasi Rusia dalam kondisi buruk. Presiden terpilih Boris Yeltsin bekerja keras untuk meredam aspirasi nasionalistik di antara rakyatnya.
Namun, pada akhir tahun 1991, Ukraina, Belarus, Georgia, Moldova, Latvia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan, dan beberapa wilayah lain mendeklarasikan kemerdekaannya. Dalam hal ini, Chechnya melakukan hal serupa.
Militan Chechnya yang dipimpin mantan jenderal angkatan udara Soviet; Dzokhar Dudayev, melakukan kudeta terhadap pemerintah yang bersekutu dengan Uni Soviet. Setelahnya, dia terpilih menjadi pemimpin Chechnya. Namun, Boris Yeltsin menolaknya.
Tak berselang lama, Chechnya justru dilanda perang saudara antara pro-Dudayev dan kontra-Dudayev. Dalam hal ini, faksi kontra-Dudayev meminta bantuan Moskow.
Setelah terlibat konflik, Boris Yeltsin memberi ultimatum agar semua faksi yang bertikai meletakan senjatanya. Dudayev menolak ultimatum tersebut. Pada akhirnya, Rusia melanjutkan pengeboman dan menyasar militer Chechnya.
Dalam perang tersebut, korban jiwa berjatuhan, tak terkecuali warga sipil termasuk anak-anak. Boris Yeltsin terus melanjutkan serangannya. Sampai pada akhirnya, Dudayev terbunuh pada 21 April 1996. Namun, para separatis segera menunjuk penggantinya.
Akhirnya, pada tanggal 31 Agustus 1996, penasihat keamanan nasional Rusia Alexander Lebed dan kepala staf militer Chechnya Aslan Maskhadov menyusun dan menandatangani Kesepakatan Khasavyurt. Isinya adalah seruan penarikan militer bersama dari Grozny dan penarikan semua pasukan Rusia di Chechnya pada tanggal 31 Desember 1996.
Perwakilan dari pemerintah masing-masing menandatangani perjanjian lebih lanjut selama beberapa bulan ke depan. Setelahnya, pada 12 Mei 1997, Yeltsin dan Presiden Chechnya yang baru terpilih Aslan Maskhadov menandatangani perjanjian yang mengakui otonomi Chechnya.
Akan tetapi, sekali lagi Chechnya terlibat konflik internal. Bahkan pada 1999, pasukan Chechnya menyerang Republik Dagestan untuk mendukung kelompok separatis muslim. Hal ini lantas membuat Rusia kembali menginvasi Chechnya atas perintah Vladimir Putin yang saat itu sudah menjadi Presiden Rusia.
Kali ini, pasukan Rusia sudah lebih kuat. Mereka bisa dengan cepat memenangkan pertempuran dan membawa Chechnya kembali menjadi bagian Moskow. Setelah kembali, Chechnya beroperasi di bawah hukum Rusia dan Vladimir Putin menunjuk Ramzan Kadyrov sebagai pemimpin Chechnya.
(min)
tulis komentar anda