Jurnalis TV Georgia Hendak Dihabisi karena Menghina Putin
Kamis, 18 Juni 2020 - 11:21 WIB
TBILISI - Seorang jurnalis stasiun televisi (TV) Georgia jadi target pembunuhan oleh pembunuh bayaran. Dia hendak dihabisi karena menghina Presiden Rusia Vladimir Putin selama siaran langsung tahun lalu.
Namun, dinas rahasia Georgia berhasil menggagalkan upaya pembunuhan terhadap jurnalis bernama Giorgi Gabunia tersebut.
Perdana Menteri Georgia Giorgi Gakharia mengonfirmasi keberhasilan dinas rahasia dalam menggagalkan aksi pembunuh bayaran.
"Dinas rahasia Georgia telah menggagalkan kejahatan yang sangat serius," katanya kepada wartawan, seperti dikutip dari The Guardian, Kamis (18/6/2020). (Baca: Hina Putin saat Live, Penyiar TV Georgia Picu Kemarahan )
Komentar perdana menteri itu menanggapi tuduhan direktur stasiun Mtvari TV, Nika Gvaramia, yang pro-oposisi bahwa pembunuh bayaran Rusia telah dikirim ke Georgia untuk membunuh Giorgi Gabunia setelah penghinaannya terhadap Presiden Rusia.
Gvaramia, mengutip sumber anonim, mengatakan seorang pria Rusia bernama Vasambeg Bokov telah dikirim ke negara pecahan Soviet itu untuk melakukan pembunuhan. Menurut sumbernya, pembunuhan itu diperintahkan oleh pemimpin Republik Chechnya Rusia, Ramzan Kadyrov, yang merupakan sekutu Putin.
Dinas keamanan negara Georgia mengumumkan pada Senin lalu bahwa pihaknya telah menahan seorang warga negara Rusia, VB, karena menggunakan dokumen identifikasi palsu. "Penangkapan itu dilakukan dalam kerangka penyelidikan rencana pembunuhan," bunyi pernyataan dinas tersebut.
Kementerian Luar Negeri Georgia pada hari Rabu mengatakan;"Merencanakan untuk membunuh seorang jurnalis sama sekali tidak dapat diterima".
Penghinaan Gabunia terhadap Putin dalam bahasa Rusia pada Juli tahun lalu memicu kemarahan di Moskow. Berbicara dalam bahasa Rusia di stasiun televisi Rustavi 2 di Georgia, dia menyebut Putin "penjajah kotor". Dia juga menghina Ibu presiden Rusia dengan bahasa kasar selama siaran langsung. "Oh, Ibu Anda sudah mati...Biarkan dia terbakar di neraka bersama Anda dan ayah Anda," kata Gabunia kala itu. (Baca: Meski Dihina, Putin Tak Mau Jatuhkan Sanksi pada Georgia )
Juru bicara Kremlin, Dmitri Peskov, menyebut tuduhan rencana pembunuhan itu tidak masuk akal. Sedangkan Kadyrov membantah klaim bahwa dirinya yang memerintahkan pembunuhan tersebut.
"Percayalah, jika seseorang bertindak atas perintah saya, dia akan menyelesaikannya, dan jika sebuah misi harus diselesaikan dengan tenang, tidak ada yang tidak akan mempelajarinya," katanya dalam sebuah posting di saluran Telegram.
Dia mengatakan bahwa jurnalis itu harus berlutut dan meminta maaf."Atau, saya ulangi bahwa dia akan tetap menjadi musuh saya," ujarnya.
Rusia dan Georgia telah lama berselisih tentang upaya Tbilisi untuk menjalin hubungan lebih dekat dengan Uni Eropa dan NATO. NATO pernah melancarkan perang singkat namun berdarah pada Agustus 2008 di wilayah separatis Georgia pro-Moskow di Ossetia Selatan dan Abkhazia. Di dua wilayah itulah pasukan Rusia dituduh menduduki petak-petak wilayah Georgia dan membom sasaran militer dan sipil. Rusia menarik diri dari Georgia setelah gencatan senjata yang dimediasi Uni Eropa.
Setelah perang, Moskow mengakui kedua wilayah separatis sebagai negara merdeka dan menempatkan pangkalan militer permanen di sana. Sedangkan Georgia bereaksi dengan memutuskan hubungan diplomatik dengan Rusia. (Simak juga video: Unair Surabaya, BIN, dan BNPB Klaim Temukan Vaksin Covid-19 )
Namun, dinas rahasia Georgia berhasil menggagalkan upaya pembunuhan terhadap jurnalis bernama Giorgi Gabunia tersebut.
Perdana Menteri Georgia Giorgi Gakharia mengonfirmasi keberhasilan dinas rahasia dalam menggagalkan aksi pembunuh bayaran.
"Dinas rahasia Georgia telah menggagalkan kejahatan yang sangat serius," katanya kepada wartawan, seperti dikutip dari The Guardian, Kamis (18/6/2020). (Baca: Hina Putin saat Live, Penyiar TV Georgia Picu Kemarahan )
Komentar perdana menteri itu menanggapi tuduhan direktur stasiun Mtvari TV, Nika Gvaramia, yang pro-oposisi bahwa pembunuh bayaran Rusia telah dikirim ke Georgia untuk membunuh Giorgi Gabunia setelah penghinaannya terhadap Presiden Rusia.
Gvaramia, mengutip sumber anonim, mengatakan seorang pria Rusia bernama Vasambeg Bokov telah dikirim ke negara pecahan Soviet itu untuk melakukan pembunuhan. Menurut sumbernya, pembunuhan itu diperintahkan oleh pemimpin Republik Chechnya Rusia, Ramzan Kadyrov, yang merupakan sekutu Putin.
Dinas keamanan negara Georgia mengumumkan pada Senin lalu bahwa pihaknya telah menahan seorang warga negara Rusia, VB, karena menggunakan dokumen identifikasi palsu. "Penangkapan itu dilakukan dalam kerangka penyelidikan rencana pembunuhan," bunyi pernyataan dinas tersebut.
Kementerian Luar Negeri Georgia pada hari Rabu mengatakan;"Merencanakan untuk membunuh seorang jurnalis sama sekali tidak dapat diterima".
Penghinaan Gabunia terhadap Putin dalam bahasa Rusia pada Juli tahun lalu memicu kemarahan di Moskow. Berbicara dalam bahasa Rusia di stasiun televisi Rustavi 2 di Georgia, dia menyebut Putin "penjajah kotor". Dia juga menghina Ibu presiden Rusia dengan bahasa kasar selama siaran langsung. "Oh, Ibu Anda sudah mati...Biarkan dia terbakar di neraka bersama Anda dan ayah Anda," kata Gabunia kala itu. (Baca: Meski Dihina, Putin Tak Mau Jatuhkan Sanksi pada Georgia )
Juru bicara Kremlin, Dmitri Peskov, menyebut tuduhan rencana pembunuhan itu tidak masuk akal. Sedangkan Kadyrov membantah klaim bahwa dirinya yang memerintahkan pembunuhan tersebut.
"Percayalah, jika seseorang bertindak atas perintah saya, dia akan menyelesaikannya, dan jika sebuah misi harus diselesaikan dengan tenang, tidak ada yang tidak akan mempelajarinya," katanya dalam sebuah posting di saluran Telegram.
Dia mengatakan bahwa jurnalis itu harus berlutut dan meminta maaf."Atau, saya ulangi bahwa dia akan tetap menjadi musuh saya," ujarnya.
Rusia dan Georgia telah lama berselisih tentang upaya Tbilisi untuk menjalin hubungan lebih dekat dengan Uni Eropa dan NATO. NATO pernah melancarkan perang singkat namun berdarah pada Agustus 2008 di wilayah separatis Georgia pro-Moskow di Ossetia Selatan dan Abkhazia. Di dua wilayah itulah pasukan Rusia dituduh menduduki petak-petak wilayah Georgia dan membom sasaran militer dan sipil. Rusia menarik diri dari Georgia setelah gencatan senjata yang dimediasi Uni Eropa.
Setelah perang, Moskow mengakui kedua wilayah separatis sebagai negara merdeka dan menempatkan pangkalan militer permanen di sana. Sedangkan Georgia bereaksi dengan memutuskan hubungan diplomatik dengan Rusia. (Simak juga video: Unair Surabaya, BIN, dan BNPB Klaim Temukan Vaksin Covid-19 )
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda