Putin Siagakan Senjata Nuklir karena Frustrasi Invasi ke Ukraina Tak Mulus

Senin, 28 Februari 2022 - 13:55 WIB
Presiden Vladimir Putin memerintahkan pasukan nuklir Rusia dalam siaga tinggi. Para pakar menilai itu sebagai bentuk frustrasi Putin karena invasi Rusia ke Ukraina tak berjalan mulus. Foto/Sergey Guneev/Kremlin via REUTERS
KIEV - Presiden Vladimir Putin telah memerintahkan kepala pertahanan Rusia untuk menempatkan pasukan nuklir dalam siaga tinggi. Para ahli menilai langkah itu sebagai gertakan karena frustrasi akibat invasi ke Ukraina yang tak berjalan mulus.

Kekuatan Barat termasuk Amerika Serikat dan NATO memprotes keras perintah Putin yang disiarkan televisi. Dalam pidatonya, orang nomor satu Rusia itu memerintahkan agar pasukan pencegah nuklir negara ditempatkan ke dalam mode layanan tempur khusus.

PBB menyebut gagasan penggunaan senjata nuklir "tak terbayangkan".

Sedangkan pemerintah Ukraina mengatakan pihaknya melihat langkah itu sebagai upaya intimidasi ketika delegasi dari kedua negara bersiap untuk bertemu guna pembicaraan eksplorasi.





"Sama seperti di NATO, sebagian dari senjata nuklir Rusia berada dalam kesiapan konstan dan dapat diluncurkan dalam waktu 10 menit," kata Marc Finaud, pakar proliferasi nuklir di Pusat Kebijakan Keamanan Jenewa.

“Entah hulu ledaknya sudah terpasang di rudal, atau bomnya sudah ada di atas pesawat pengebom dan kapal selam," jelasnya.

Dalam sebuah artikel hari Jumat untuk Bulletin of the Atomic Scientists, pakar Hans Kristensen dan Matt Korda menulis bahwa Rusia menyimpan hampir 1.600 hulu ledak yang telah dikerahkan.

“Karena pasukan strategis Rusia selalu waspada, pertanyaan sebenarnya adalah apakah [Putin] telah mengerahkan lebih banyak kapal selam atau mempersenjatai para [pesawat] pengebom,” tulis Kristensen di Twitter pada hari Minggu.

Mengapa Naik Level Siaga?

Sebagian besar analis menyatakan bahwa mengacungkan opsi nuklir adalah langkah putus asa akibat kemunduran militer Rusia sejak menyerang Ukraina pekan lalu.

“Rusia frustrasi menghadapi perlawanan Ukraina,” kata David Khalfa dari Jean Jaures Foundation yang berbasis di Paris, sebuah lembaga think-tank berhaluan kiri.

"Alih-alih kemenangan cepat dengan serangan lapis baja yang mengeklaim sebagian besar wilayah, Moskow sekarang menghadapi perang gerilya perkotaan, dengan kemungkinan besar korban di antara tentara Rusia," ujarnya.

Eliot A Cohen dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington, DC, mengatakan para pemimpin militer Rusia mengharapkan kampanye militer yang lebih mudah.

“Fakta bahwa mereka tidak memiliki superioritas udara sekarang empat hari setelah ini, itu cukup mengungkap,” kata Cohen.

“Anda mulai melihat kelemahan di medan perang. Fakta bahwa mereka belum mampu menduduki kota dan mempertahankannya, itu memberitahu Anda sesuatu.”

Mengapa Putin Mengumumkan Secara Terbuka?

Dengan bantuan Barat yang mengalir ke Ukraina dan sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada Rusia dan elite-nya, deklarasi publik Putin dapat menjadi upaya untuk memecah belah musuh-musuhnya.

"Pemimpin Rusia adalah seorang penjudi dan pengambil risiko,” kata Cohen. "Apa yang dia coba lakukan adalah melatih kita semua secara psikologis."

Khalfa setuju dengan argumen Cohen bahwa sisi psikologis sangat penting, di mana Putin berkeinginan untuk mencegah Barat melangkah lebih jauh dengan sanksi ekonomi.

“Semua orang berkumpul di belakang bendera Ukraina, dan dia memiliki keinginan untuk membuat irisan antara pemerintah aliansi [NATO] dan opini publik di negara-negara Barat,” katanya.

Tetapi Khalfa juga mengatakan: "Menurut pendapat semua orang yang telah bertemu Putin, dia mengisolasi dirinya sendiri, terkunci dalam logika paranoid, strateginya tidak mungkin untuk dibaca.”

Menjatuhkan Doktrin Rusia?

Ancaman penggunaan senjata nuklir Putin semakin membingungkan karena berangkat dari doktrin pencegahan nuklir Rusia yang sudah mapan.

Pada tahun 2020, Putin menyetujui “prinsip-prinsip dasar” dengan empat kasus ketika Moskow dapat menggunakan senjata nuklir.

Itu adalah ketika rudal balistik ditembakkan ke wilayah Rusia atau sekutunya, ketika musuh menggunakan senjata nuklir, serangan terhadap situs senjata nuklir Rusia, atau serangan yang mengancam keberadaan negara Rusia.

Tak satu pun dari kriteria tersebut telah terpenuhi dalam konflik saat ini.

Terlebih lagi, Rusia bergabung dengan empat anggota tetap Dewan Keamanan PBB pada Januari dalam menandatangani dokumen yang menegaskan bahwa “perang nuklir tidak dapat dimenangkan dan tidak boleh diperjuangkan”.

"Salvo verbal terbaru Putin menunjukkan ambiguitas, bahkan mungkin kemunafikan, dari jenis deklarasi ini," kata Finaud, seperti dikutip AFP, Senin (28/2/2022).

“Jika kita menerapkan doktrin [pernyataan bersama] akan ada upaya besar-besaran untuk perlucutan senjata. Padahal kita melihat bahwa relatif sedikit yang telah dilakukan pada arah itu.”

"Untuk saat ini, masih ada risiko yang sangat tinggi untuk tergelincir atau salah tafsir atau bahkan manipulasi yang disengaja yang dapat memicu pertukaran nuklir," imbuh dia.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(min)
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More